Kamis, 23 Juli 2009

KING – Keindahan Gambar dan Kesederhanaan Cerita

KING, bisa diartikan Raja atau merujuk pada legenda bulutangkis Indonesia yang memiliki King Smash – Liem Swie King. King adalah film yang membuat saya menangis sekaligus tertawa terbahak-bahak. Menangis ketika melihat dan mendengar nyanyian Indonesia Raya dinyanyikan, padahal jika menyanyikan lagu tersebut dalam upacara-upacara tidak terasa getarannya. Tetapi ketika melihat dan mendengar lagu itu dinyanyikan dengan semangat oleh orang-orang kampung saat pahlawan bulutangkis Indonesia menang, duh air mata langsung menetes.

Dibandingkan dengan film-film Indonesia yang lain, film ini sungguh berbeda. Film-film Indonesia lebih banyak memotret hantu-hantuan dan mengekploitasi sex, sementara film ini berbicara tentang dunia Olahraga. Keberanian Alenia Picture – perusahaan film milik Ary Sihasale dan Nia Zulkarnaen ini patut kita apresiasi. Ada dua film yang beredar bertemakan olahraga, yang satu bertema sepak bola – Garuda di Dadaku, dan King yang berlatarbelakang dunia Bulutangkis. Dua-duanya sudah aku tonton. Dua-duanya bagus, lucu dan mendidik.

Film ini bercerita tentang persahabatan dua anak manusia yang saling mendukung. Guntur (Rangga Raditya) dan Raden (Lucky Martin). Guntur dan Raden tinggal di desa sampit di lembah gunung Ijen di Banyuwangi.

Pak Tejo (Mamiek Prakoso), ayah Guntur memiliki obsesi, anaknya Guntur, memiliki prestasi bulutangkis seperti idolanya Liem Swie King. Namun obsesi itu jauh panggang dari api, Guntur hanyalah pemain desa dan dalam setiap pertandingan selalu kalah dengan jagoan kampung lain yang usianya jauh lebih tua, Kang Raino (Aryo Wahab). Setiap kali kalah dalam pertandingan, Guntur mendapat hukuman dari ayahnya scotjump 50 kali dan berlari mengelilingi desa itu 50 kali juga.

Suatu kali Kepala Desa membawa piala besar ke kampung itu untuk diperebutkan, bagi orang desa, mendapatkan piala adalah kebanggaan yang tak terhingga, tak terkecuali Guntur dan Raden. Dalam pikiran mereka yang polos, mereka membayangkan bahwa dalam piala itu terdapat uang yang banyak “Kamu lihat foto Liem Swie King di rumahmu sedang memegang piala sambil tersenyum lebar, itu karena dia senang. Di dalam piala itu ada duitnya.” Raden mencekoki Guntur dengan kata-kata yang membuai “Motor itu dibeli pakai duit yang dalam piala itu.” Ketika melihat foto poster Liem Swie King sedang duduk di atas motor.

Keinginan untuk mendapatkan duit yang ada di dalam piala membuat adrenalin Guntur terpacu, untuk pertama kalinya Guntur menang dalam lomba antar SD yang diadakan pak Lurah dan meraih piala. Sayang, apa yang dikatakan Raden tidak nyata. Piala itu kosong tidak ada duitnya. Pupus sudah impian Guntur memiliki raket yang bagus, duit di dalam piala dia incar karena harapannya yang besar memiliki raket yang bagus. Dia tak berdaya dan membuang piala yang sudah diraihnya. Ditambah masalah baru dengan putusnya senar raket Kang Raino yang dipinjamkan untuk bertanding. Di sini timbul kelucuan-kelucuan yang membuat tertawa, dikarenakan ulah Raden dan Guntur yang akan mengganti senar yang putus dengan senar gitar dan senar yang dipakai untuk mengikat balon.

Omelan ayahnya membuat dia tersentak “Nggak menang nggak papa, Tur, tapi kamu jadi anak yang nggak ngrepotin orang lain. Kamu nggak ambil apa yang bukan hakmu, kamu nggak nyakitin sesamamu, dan kamu nggak nyalahin orang lain saat kamu nggak menang. Kalah dan menang itu karena diri kita sendiri, bukan karena orang lain.”

Melalui usaha yang tak kenal lelah dari sahabatnya Raden, akhirnya Guntur diterima di klub Banyu Tumangkis, dari klub inilah akhirnya Guntur mengikuti seleksi untuk diterima dan mendapatkan beasiswa dari Klub Djarum Kudus. Di sinilah dia bertemu dengan idolanya sekaligus idola ayahnya Liem Swie King.

Cerita yang sangat simpel tapi digarap dengan keindahan gambar yang memikat. Ary Sihasale berhasil menggambarkan alam pedesaan nan indah di kaki gunung Ijen layaknya lokasi di film-film Twilight. Ary juga mampu membungkus cerita sederhana itu dengan bungkus humor dan permainan dari pemain-pemain baru yang patut diacungi jempol khususnya Lucky Martin yang berlakon sebagai Raden dan Asrul Dahlan yang berperan sebagai orang minang yang bernama Bang Bujang. Permainan Rangga Raditya juga cukup bagus hanya sayang sebagai pemain yang berlakon menjadi orang Jawa Timur, aksen medhok Jawanya kurang kelihatan. Maklum Rangga Raditya adalah murid Sekolah Atlet Ragunan yang memang pemain Bulu Tangkis. Sebagai sutradara pendatang baru Ary patut diacungi jempol. Ayo Ry buat film yang bagus lagi ya? (J)

Jumat, 03 Juli 2009

A Wonderful World – Keajaiban Dunia, Di Mata Dua Seniman Perancis

Akhirnya bisa menulis di blog lagi. Banyak kegiatan yang terlewatkan untuk di tulis. Salah satunya pertunjukan seni yang bertajuk Teater Komedi dibawakan oleh dua seniman Perancis, Philepe Martz dan Bernie Collins yang tergabung dalam BP Zoom. Pertunjukan dalam rangka Printemps Français ini, berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta pada Jumat, 19 Juni 2009 yang lalu.

Pertunjukan terinspirasi oleh teater gerak dan tradisi badut, yang menghibur karena perpaduan antara gerakan, ekspresi dan humor yang membawa kita kepada mimpi masa kecil.

Tak ada kesan mewah, bahkan kesederhanaan yang muncul. Mereka membawa kan Teater Komedi tersebut dengan alat peraga kardus, balon, mainan pesawat-pesawatan dari kertas dan sling yang lentur untuk menarik dan menahan tubuh ketika berjumpalitan di udara. Alat peraga yang sering kita jumpai itu menjadi bahan berekspresi yang menarik. Bahkan anak kecil pun bisa tertawa bebas tersihir menyaksikan pertunjukan tersebut. Ini berarti pertunjukan yang minim dialog itu berhasil.


Di panggung ada dua buah kardus besar bekas pembungkus kulkas tergeletak di panggung, ketika panggung pelan-pelan terang disiram cahaya. tiba-tiba kardus itu bergerak-gerak dan dari bagian atasnya yang terbuka muncul sebuah balon besar warna biru terikat tali menerobos keluar. Diikuti keluarnya sesosok pria berkacamata (Bernie Collins). Kardus satunya, keluar sesosok pria tinggi memakai pakaian dan topi ala badut (Philipe Martz).
Kardus dan balon itu dipakai seolah-olah sebagai balon udara. Dua lelaki dan dua kardus itu pun mengudara beriringan. Berkeliling dunia, melewati Paris dan New York. (Disimbulkan dengan patung-patung miniatur Menara Eiffel dan Patung Liberty yang keliatan sangat kecil). Mereka berdua bersukacita dan meminta di foto satu dengan yang lain dengan latar belakang Menara Eiffel dan Patung Liberty.


Kesuksesan berkeliling dunia itu dirayakan dengan sebotol sampanye. Tetapi inilah awal dari bencana petualangan mereka, sebab ketika botol dibuka, gabus penutup sampanye itu justru mengenai balon yang dinaiki oleh temannya sehingga melayanglah balon udara itu dan menghunjam ke tanah.
“Oiii saya di sini,” teriak Bernie pada Philipe dalam bahasa Indonesia. “Oii.. dia di sana,” balas Philipe berteriak. “Tolonggg!!! Eh, turunn!!” pinta Bernie. “Tidak mau!!” Philipe menjawab. Gerr… penonton langsung terpingkal mendengar dialog dalam bahasa Indonesia yang patah-patah itu.


Pada babak kedua, mereka berdua bermain-main dengan pesawat-pesawatan dari kertas. Bernie nampak fasih menerbangkan pesawat-pesawatan dari kertas tersebut sedangkan Philipe tidak. Dengan gaya yang kocak Bernie mengajari Philipe bagaimana menerbangkan pesawat-pesawatan tersebut. Bahkan saking asyiknya bermain, Bernie nekat memanjat pagar pembatas balkon di GKJ, berdiri dan ancang-ancang menerbangkan pesawatnya. Sementara penonton hanya bisa menghela nafas ngeri. Yah seperti kita waktu kecil yang begitu senang menerbangkan pesawat-pesawatan dari tempat yang tinggi agar pesawat tersebut terbang jauh melayang dari tempat kita berdiri.


Bapak ketiga, Bernie dan Philipe, mengikat tubuhnya dicantel sling mirip permainan trampolin yang bisa memantulkan tubuh ke atas-kebawah , ancang-ancang dan hups… Mereka terbang, melayang-layang dalam cahaya biru yang temaram menutup pertunjukan. Itulah dunia yang indah, dunia mimpi manusia yang ingin bisa terbang.


Didirikan sejak 1942, BP ZOOM tampil dengan keajaiban seni sirkus hingga ke seluruh penjuru dunia. Mereka telah berpartisipasi dalam berbagai festival seperti “Festival d’Avignon” serta “London Mime Festival” dan telah meraih kesuksesan dimana-mana. Jadi berbahagialah saya yang bisa menikmati pertunjukan tersebut di Indonesia. (J)