Kamis, 26 Agustus 2010

Siau Ling, Derita Cinta Si Peniup Seruling


Siau Ling, sebuah naskah drama musikal yang ditulis oleh Remy Silado. Saya mengenal tokoh-tokoh dalam naskah drama tersebut saat menonton Festival Teater se Jakarta Barat. Kebetulan salah satu peserta Teater Legiun memainkan drama tersebut dengan sangat bagus. Kelompok Teater yang berdiri tahun 2005 yang digawangi oleh Ibas Aragi dan anggotanya kebanyakan pemuda dan remaja gereja.

Sebenarnya sebuah cerita biasa yang sering kita dengar dan lihat macam Siti Nurbaya, perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua terhadap gadisnya yang masih bau kencur karena mengincar harta dan tahta yang dimiliki seorang Adipati yang sudah bau tanah. Atau cerita macam Romeo and Juliet, kasih kedua sejoli yang jatuh cinta tapi tak kesampaian.

Gadis bau kencur itu bernama Lay Kun (diperankan oleh Kesthi), baru berumur 14 tahun, putri tunggal dari keluarga Tan Kim Seng (David) bertempat tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Sedang Adipati yang hendak memperistri Lay Kun, bernama Wilotikto (Laurence) berusia 71 tahun, berkedudukan di Tuban, Jawa Timur.

Adipati Wilotikto digambarkan sebagai seorang yang doyan kawin, diusianya yang sudah kepala tujuh masih memiliki birahi yang menggebu, istrinya tak tanggung-tanggung berjumlah 50 orang, hanya sangat disayangkan kehidupan keluarga Wilotikto tidak lengkap dikarenakan kelima puluh istrinya tidak satupun yang memberi keturunan. Itulah yang menyebabkan Wilotikto memburu gadis-gadis agar bisa mendapatkan keturunan.

Tanpa sepengetahuan Wilotikto sebenarnya salah satu dari istrinya yang ke-25 Renggoning (Rini), memiliki seorang anak Laki-laki yang diberi nama Samik (Hendry). Entah disebabkan oleh apa, Renggoning menyimpan dendam kepada suaminya. Mungkin karena sering ditinggal untuk mencari istri-istri yang baru sehingga istri lama ditinggalkan dan dilupakan.

Rencana untuk meminang Lay Kun pun didengar oleh Renggoning. Dibantu oleh Pringgoloyo (Alvin) yang pandai menjilat. Rencana pun disusun yakni dengan mengumpankan anak semata wayangnya Samik untuk mendahului ke Semarang, menyambangi rumah Lay Kun. Di depan rumahnya Samik menebarkan rayuan dengan puisi-puisi indahnya:
Katakan Lay Kun dirimu siapa
Apa kau dari bintang angkasa
Atau jelmaan para dewata
Namamu terukir dalam atma

Lay Kun, Lay Kun, Jelita dari Utara
Hatimu bakal berlabuh pada siapa
Bila besok hari datang kumbang dua
Membawa persembahan segudang cinta

Samik sebenarnya hanya iseng menebar rayuan di rumah Lay Kun tapi umpan yang ditabur ternyata dimakan oleh Lay Kun yang terkesan dan menyimpan kata-kata Indah Samik. Apa lacur, dari iseng ternyata Samik benar-benar jatuh cinta kepada Lay Kun, gayung pun bersambut. Tetapi orangtua Lay Kun, Tan Kim Seng menentang percintaan anaknya karena sudah terlanjur dijodohkan dengan Adipati Wilotikto.

Persaingan terselubung merebut cinta Lay Kun antara Ayah dan Anak tak terelakkan lagi. Tapi harta dan tahta tentu saja lebih berkuasa. Lay Kun harus tunduk pada kekuasaan orangtuanya. Bagai seekor domba dibawa ke pembantaian, Lay Kun menemui calon pendamping hidupnya. Alangkah kagetnya ketika melihat calon pendampingnya adalah laki-laki tua bangka yang pantas disebut kakeknya. Lay Kun, pingsan dengan suksesnya dihadapan para tamu dan keluarganya. Hanya dengan tiupan suara Siau Ling (suling/seruling) yang dapat menyadarkan Lay Kun dari tidur panjangnya.

Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Pringgoloyo dan teman-temannya untuk menyulap Samik menjadi pangeran penyelamat sang putri yang sedang tidur terlelap. Disamping seruling, Samik juga dibekali badik oleh Daeng Bajika (Herman Davila), sebagai senjata jika terjadi situasi darurat. Dan benar, Lay Kun tersadar begitu mendengar tiupan seruling Samik. Hanya sayang kebahagiaan mereka hanya sesaat karena ayahnya mengetahui penyamaran Samik. Tan Kim Seng menyeret dan membelenggu Samik untuk dihadapkan kepada Adipati Wilotikto.

Alangkah terhinanya Adipati Wilotikto mengetahui calon istrinya berselingkuh dengan anak ingusan, kekuasaannya merasa di injak-injak. Dengan badik terhunus, Adipati membunuh Samik. Banjir darah di pesta perkawinan tak terhindarkan. Mengetahui anaknya dibunuh ayahnya sendiri, Renggoning istri Wilwotikto mencabut badik yang menancap di badan anaknya dan membunuh Adipati Wilotikto. Menjelang ajal, Wilotikto baru tahu kalau dia telah membunuh anaknya sendiri. Pengikut-pengikutnya yang selama ini juga memendam dendam karena selalu dilecehkan mempercepat kematian Adipati dengan mencabut badik dan menancapkan ke tubuhnya. Adipati Wilotikto tewas bersimbah darah. Simbol kerakusan dan kezaliman dalam kekuasaan itu pun tumbang.

Melalui Siau Ling, kita bisa belajar betapa seringkali kekuasaan membutakan orang yang sedang berkuasa untuk berbuat sewenang-wenang. Melalui Siau Ling pula kita bisa belajar keragaman akan memperkuat persatuan, pembauran/akulturasi budaya tak bisa terhindarkan dan belajarlah untuk saling mengharagai antara satu dengan lainnya tanpa memandang Suku, Ras dan Agamanya. Dalam beberapa dialog dalam drama ini Remy Silado menyelipkan Firman Tuhan yang indah tanpa kita sebagai penonton merasa dikhotbahi. (J)

7 komentar:

  1. So sweet...keren banget, cuma baca aja dah terasa greget2 yg .... duh susah diungkapkan antara keren, mengharu biru, dasyat, luar biasa ada Firman Tuhan...
    Apalagi klo nonton langsung ya, bisa bawa ember neh buat t4 air mata hehe...

    BalasHapus
  2. He... makasih Nin, emang ceritanya bagus banget! dialog antara Samik dan Lay Kun puitis-puitis. Trus banyak Firman Tuhan yang disampaikan tanpa penonton sadar, kalau itu Firman Tuhan kecuali kita-kita yang tahu he...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Terima kasih atas komentar baik terhadap naskah ini. Saya sendiri sebagai sutradara pementasan ini merasa tertantang untuk memberikan yang lebih. Kisah seperti ini memang banyak, tinggal bagaimana grup mensiasatinya agar menjadi pementasan yang enak dinikmati. Aroma budaya amat kental dalam naskah ini, karena itu saya mencoba untuk menampilkan asesori budaya dengan "agak ngotot", terlihat dari tampilan kostum & setting panggung & properti pementasan, ditambah "kegenitan" permainan siluet. Pesan-pesan rohani yang terbungkus rapih dalam kemasan dialog puitis juga menjadi pilihan saya untuk dipertahankan, ditengah-tengah dialog yang amat panjang & harus saya revisi berulang-ulang. Kiranya "benang merah" kisah ini bisa jadi peringatan terhadap kita semua, terutama untuk para pemimpin bangsa yang banyak melencengkan hati nuraninya.

    BalasHapus
  5. Makasih Bang Ibas, ga nyangka blog saya dikunjungi oleh sutradara Siau Ling dan kasih komentar lagi benar-benar surprise he... dan saya juga mengagumi akting Rini yang bagus banget di lakon ini... saya benar-benar kagum dengan Teater Legiun yang memiliki personel orang-orang muda berbakat. Mudah-mudahan semakin sukses ke depannya

    BalasHapus
  6. keren euy, gaada yang dalam bentuk dialog ya bang?

    BalasHapus
  7. Teater legiun bakal pentas lagi nih. 13,14,15 juli 2018
    Jgn lupa nonton ya
    Di GBB ' Cinta di 80an' @

    BalasHapus