Kamis, 02 September 2010

Mengejar Matahari di Pulau Tidung (1)

Pulau Tidung, sudah menjadi pembicaraan dan tempat kunjungan wisata baru bagi mereka yang cinta laut. Letaknya pun tidak jauh dari Jakarta, hanya sepelempar batu. Keindahan lautnya tak terkira. Warna Airnya masih memiliki perpaduan tiga warna: putih bening bak kaca di pinggiran, agak ke tengah berwarna hijau muda dan lebih ke tengah lagi biru tosca.

Tidak jauh dari Jakarta, karena Pulau Tidung hanya memakan waktu 2–3 jam naik kapal dari dermaga Muara Angke.

Perencanaan ke Pulau Tidung sudah kami rancang jauh-jauh hari dengan rekan-rekan Guru-guru Sekolah Minggu (GSM) GKI Delima. Rencana pertama, kami akan ke menara pandang di lereng Merapi di Jogja, untuk melihat keindahan Gunung Merapi yang aktif mengeluarkan lahar panasnya. Rencana ini terpaksa batal karena memakan biaya yang lumayan besar. Langsung saya mengusulkan ke Pulau Tidung dan disetujui oleh rekan-rekan. Padahal kami buta mengenai Pulau Tidung kecuali mengenal lewat tayangan Jalan-jalan di stasiun televisi. Semua rekan-rekan mulai berburu cerita dan pengalaman kepada teman-temannya yang sudah pernah ke Pulau Tidung dan browsing lewat internet. Karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing, rapat dan keputusan-keputusan di informasikan melalui email dan dimatangkan di pertemuan hari Minggu.

Kami memilih tepat hari kemerdekaan RI, Selasa, 17 Agustus 2010 sebagai hari keberangkatan dan semua kompak mengambil cuti satu hari di hari Rabunya. Jam empat pagi, kami sudah saling berkomunikasi melalui sms atau saling mengebel untuk membangunkan rekan-rekan, terlebih terhadap rekan yang susah untuk dibangunkan seperti Mbak Yem (Maryam), kami kompak untuk mengebel sama-sama. Ternyata teman-teman tepat waktu datang di GKI Delima. Pagi jam 5.15, tiga taksi biru pun meluncur ke Muara Angke.

Kenapa sepagi itu kami harus berangkat? Padahal menurut informasi kapal berangkat jam 7.30. Dari cerita teman-teman yang pernah ke Pulau Tidung, jika tidak pagi-pagi datang, maka kami tidak akan kebagian tempat duduk karena kapal sudah dipenuhi rombongan lain yang juga akan ke sana. Sehingga harus berebut tempat duduk, siapa cepat dia dapat.

Taksi yang kami tumpangi memasuki pasar lelang ikan Muara Angke yang kumuh dan bau ikan nya sangat menyengat hidung. Taksi berhenti di penghujung pasar, tepat di pom bensin Muara Angke. Di belakang pom bensin inilah kapal-kapal bersandar melayani rute ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Jangan segan untuk bertanya karena jika salah naik kapal, anda bisa-bisa terbawa ke pulau lain.

Rombongan kami berjumlah 16 orang terdiri dari 3 cowok (Saya, Eka, Gunawan) dan 13 cewek (Tante Anna, Tante Eny, ci Pris, Yulita, Sherry, Nita, Myra, Maryam, Fariana, Lussi, Niken, Geget, Venny). Bayangin 3 malaikat tampan harus melindungi 13 bidadari cantik, sungguh jumlah yang tidak seimbang. Tapi kami lebih percaya dan bersandar kepada Pelindung yang tidak kelihatan untuk menyertai perjalanan kami.

Setelah bertanya kepada orang di sekitar dermaga, kami ditunjukkan sebuah kapal yang akan menuju ke pulau Tidung, tersembunyi diantara kapal yang akan berangkat ke pulau lain. Untuk naik ke kapal, kami harus melalui kapal yang akan segera berangkat tersebut. Kapalnya tidak terlalu besar. Terdiri dari 2 dak, atas dan bawah. Dan kami memilih yang di atas. Tak ada kursi, tempat duduknya lesehan dengan alas terpal plastik. Tapi tak ada yang mengeluh karena kami sudah dibekali harus tetap bersyukur apapun kondisinya. Justru rasa syukur itulah yang membuat kami tetap bahagia dan ceria. Masing-masing malah asyik dengan dunianya. Yang narsis, mengambil kamera dan jepret sana sini sambil bergaya. Atau memotret matahari pagi yang samar-samar mulai menampakkan bias sinarnya.

Prediksi kami ternyata meleset, kapal tidak penuh seperti kami duga. Tidak ada berebut tempat duduk, mungkin karena bukan long weekend. Tapi jika anda pergi hari Sabtu atau Minggu suasana kapal yang penuh akan anda rasakan. Uh... ada dua cewek bule yang naik ke kapal, Asyiiik.... dia juga akan ke Tidung. Dititipkan keberangkatannya pada rombongan kami. Dalam hati bertanya-tanya, sudah demikian terkenalkah Pulau Tidung sehingga mengundang orang asing untuk datang mengunjunginya? Ah... entahlah mudah-mudahan demikian. Jam 7.30 suara mesin menggetarkan kapal. Sauh diangkat dan berangkatlah kapal yang kami tumpangi.

Perairan di sekitar Muara Angke sangat-sangat kotor, banyak sampah plastik yang mengapung. Itulah sebagian wajah bangsa ini yang suka membuang sampah sembarangan. Laut dianggap sebagai bejana besar tempat yang tepat untuk membuang limbah rumah tangganya. Di kapal kami berkenalan dengan dua teman Niken: Venny dan Gunawan. Begitu mengenal kami, Venny dan Gunawan langsung bisa beradaptasi dengan GSM. Itu memudahkan kami dalam berkomunikasi.

Kapal terus melaju membelah laut. GSM yang masih mengantuk langsung melanjutkan tidur dengan bersandar di besi-besi di sekitar dak kapal atau menjadikan tas-tas perbekalan sebagai bantal. Sedang saya dan rekan-rekan yang lain membuat lingkaran, membunuh waktu dengan bermain remi, sambil menikmati keindahan laut yang semakin ke tengah semakin bersih. Kapal melewati beberapa pulau. Kami menamai pulau di sebelah kiri dengan pulau ke-999, di sebelah kanan pulau ke-998 dan seterusnya. Pulau-pulau itu ada yang besar dan berpenghuni sangat padat, ada yang kecil dan kelihatannya tidak berpenghuni. Sayang tidak ada yang memberitahukan nama pulau-pulau itu dan saya sendiri tidak tahu harus bertanya kepada siapa (mungkin pulau Bidadari, Onrust dll). Oh ya, untuk naik kapal dari Muara Angke ke Pulau Tidung dikenai biaya Rp 33,000.-

Kapal berjalan sangat cepat. Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam 3 jam ternyata bisa ditempuh hanya dalam dua jam. Kapal sudah merapat di dermaga Pulau Tidung. Kami membawa tas dan perbekalan masing-masing. Turun dari kapal, kami disambut oleh tukang ojek, becak dan becak motor. Ibu Mudawaroh, istri pak Bustanil (koordinator wisata dan pemilik penginapan di pulau Tidung yang kami sewa) sudah saya bel dan dalam beberapa menit akan datang. Dengan naik motor, ibu Mudawaroh yang masih berpakaian pegawai pemerintah menyapa kami dengan ramah dan memperkenalkan dua orang laki-laki muda (namanya lupa euy) yang akan menjadi pemandu kami selama di Pulau Tidung. Mas-mas tersebut langsung menyalami kami dan membawa kami berjalan menuju penginapan, sambil membantu menjinjing tas-tas perbekalan dari rekan-rekan yang kelihatan bawaannya sangat berat. Sepuluh menit berjalan kami pun sampai di guest house. Penginapan kami cukup bersih, bercat kombinasi putih dan kuning. Terdiri dari dua pintu. Masing-masing pintu terdiri dari: ruang depan, kamar tidur dan ruang belakang yang ada kamar mandinya. Welcome drink berupa jus mangga kweni yang dingin, lumayan menyejukkan tenggorakan. (J) (bersambung ke bagian ke-2)

2 komentar:

  1. bukan ga kebagian tempat duduk di kapal, tapi kapal nanti sudah terlanjur penuh penumpang, jadi ga dapat kapal lagi :D

    pulau tidung sekarang sudah penuh sampah.... warning buat turis pulau tidung, bawa kantong plastik buat sampah, karena pulau Tidung bukan TPA


    http://www.catatan-r10.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Makasih Rio untuk pelurusan beritanya. oh ya bagus juga dihimbau tuh para turis yang pergi ke sana untuk membawa kantong plastik. memang orang Indo mah ga bisa menjaga lingkungannya. jadi bisa membaca juga neh blog km. salam kenal ya!

    BalasHapus