Kamis, 19 Mei 2011

“Matah Ati” Opera Van Java yang Sesungguhnya


Matah Ati, adalah seni pertunjukan Keraton Mangkunegaran Solo yang ‘menggegerkan’ panggung Esplanade di Singapore bulan Oktober 2010 yang lalu. Seni tradisi drama Jawa yang dialognya memakai tembang atau nyanyian yang disebut Langendriyan, diciptakan oleh Mangkoenagoro IV dari Puri Mangkunegaran, Surakarta. Matah Ati, hadir sebagai seni pertunjukan yang bercita rasa tinggi dan modern. Menggabungkan seni tradisi dan kontemporer tanpa kehilangan esensi tradisinya. Inilah Opera Van Java yang sesungguhnya.

Dengan memperhatikan aspek koreografi, detail warna dan desain kostum, detail aksesoris sebagai pelengkap kostum, detail musik gamelan dan panggung serta tata lampu dengan melibatkan ahli-ahli di bidangnya masing-masing, menjadikan pertunjukan ini megah dan spektakuler.

Alunan suara sinden yang bersimpuh mengantarkan tembang, menjadi pembuka pertunjukan. Dia duduk di sisi kanan panggung dengan dupa mengepul, membuat suasana menjadi magis dan tintrim. Sinden itu bercerita melalui tembangnya tentang seorang gadis cantik yang hidup di desa, Rubiah namanya. Gadis itu sedang berdialog dengan dirinya sendiri tentang mimpi dan angan-angannya untuk menjadi puteri ningrat.

Musik gamelan mengalun riang, anak laki-laki dan perempuan desa dimana Rubiah tinggal, riang gembira bernyanyi sambil menari. Suasana yang mengekpresikan bagaimana anak-anak di Jawa di masa lalu bermain dengan permainan sambil menyanyikan tembang dolanan antara lain: soyang-soyang, cublak-cublak suweng, jamuran yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan bagai paduan suara, indah di dengar di gendang telinga. Apalagi ditingkahi gerak-gerak rancak dan energik dari para penari, membuat kaki ikut bergoyang-goyang mengikuti suara gamelan.

Karena situasi politik dan kondisi kerajaan yang kurang kondusif, Raden Mas Said atau sering disebut Pangeran Samber Nyowo, menyingkir ke desa Matah. Di desa itu sang pangeran tertarik dengan salah satu gadis, Rubiah. Bukan hanya sang pangeran yang tertarik pada Rubiah, pemuda yang bernama Bagus, juga mengungkapkan isi hatinya, sayang hati Rubiah sudah tertambat di hati sang pangeran.

Sebagai seorang Pangeran, Raden Mas Said selalu melakukan tapa brata untuk meminta petunjuk pada Sang Dewata. Dalam semadinya, dia digoda oleh bidadari-bidadari cantik yang mengibas-ngibaskan selendang kain batik. Godaan itu tak menggoyahkan semadinya. Justru dalam semadinya Raden Mas Said ngrogoh sukma (sukma keluar dari badannya) dan bertemu dengan gadis desa itu, lalu menari dan terbang di angkasa. Adegan keduanya terbang di angkasa sungguh artistik dan menggetarkan. Dengan pakaian putih dan lampu temaram lalu padam dan menghilang dari pandangan meninggalkan bekas yang mendalam dihati penontonya.

Tiji Tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh (mati satu, mati semua; mulia satu, mulia semua) itulah sumpah dan tekad yang diucapkan oleh prajurit-prajurit yang dipimpin oleh Raden Mas Said untuk melawan Belanda yang sudah memecah kehidupan Keraton. Namun sayang, jumlah pasukan Belanda lebih banyak. Raden Mas Said mundur dari peperangan, untuk mengatur strategi. Adegan peperangan pun digarap secara spektakuler, dalam perang Raden Mas Said dibantu oleh para petani yang memakai caping coklat kekuningan, adegan ketika para petani melemparkan capingnya sungguh menakjubkan.

Guna menghibur masyarakat dan para prajurit di desa Matah diadakan pertunjukan wayang dengan lakon “Kamajaya-Kamaratih” kisah yang melambangkan cinta sejati. setting panggung kembali menghadirkan tontonan yang mengundang imajinasi, artistik banget. Lengkap dengan penonton yang tidur di sekitar panggung (ah.... jadi inget waktu kecil suka nonton wayang dan tertidur di sembarang tempat). Di antara orang yang tertidur itu adalah Rubiah yang tubuhnya bercahaya. Raden Mas Said menghampiri dan meninggalkan tanda ikat kepalanya di bagian tubuh yang bercahaya. Sebagai suatu perlambang bahwa Raden Mas Said menyampaikan ketertarikan terhadap si gadis.

Adegan kemudian berganti ke “Goro-goro” selingan pada pertunjukan wayang kulit atau wayang orang yang biasanya diisi oleh banyolan Punokawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong). Tetapi yang muncul bukan Punokawan, melainkan 3 orang simbok-simbok yang hendak pergi ke pasar, menggendong bakul di belakang sambil bersendau-gurau membicarakan masalah-masalah aktual di negeri ini. Humor-humornya segar dan menggelitik syaraf tawa. Lagi-lagi “Matah Ati” membalikkan pakem yang sudah ada bahwa tidak hanya laki-laki saja yang bisa mengeritik dan membanyol, perempuan juga bisa.

Disamping cantik, Rubiah ternyata seorang gadis yang pandai berolah kanuragan. Dia pandai memainkan berbagai macam senjata dan memanah. Tidak mengherankan dia lolos dalam tes olah kanuragan yang diadakan oleh Raden Mas Said. Rubiah pun di baiat menjadi kepala prajurit wanita dan diberi nama “Matah Ati” yang berarti gadis desa Matah yang melayani dan menyerahkan hati kepada sang pangeran.

Dalam perang selanjutnya, Raden Mas Said dibantu pasukan putri yang dipimpin Matah Ati memenangkan perang. Namun sayang banyak orang yang menjadi korban. Nyanyian/ tembang Raden Mas Said yang meratap dan menangisi rakyatnya yang menjadi korban peperangan sungguh menyayat hati, merasuk hingga ke dalam hati yang paling dalam.

Akhirnya diadakanlah pesta agung memeriahkan kemenangan dalam perang melawan Belanda, sekaligus pernikahan antara Raden Mas Said dan Matah Ati. Perkawinan antara Raden Mas Said dan Matah Ati menyajikan adegan di panggung dengan setting dan properti yang sangat megah.

Adegan pemuncak adalah ketika Raden Mas Said memadu kasih dengan Matah Ati sambil menembang “Dhuh Diajeng garwaku Matah Ati,” Matah Ati menjawab: “Dhuh Pangeran kula pasrah jiwa raga,” sambil Raden Mas Said melepaskan baju pengantinnya satu per satu. “Bakal tak bukteake katresnanku kang sejati,” ketika semua penonton menahan nafas apa yang bakal terjadi, tiba-tiba layar ditutup dan gemuruhlah tepuk tangan seluruh Teater Jakarta memberikan standing ovation.

Ah pantas saja, penonton di Esplanade Singapore sana memberi apresiasi yang tinggi pada pertunjukan ini, karena setiap adegan memberikan kejutan-kejutan yang indah dan menggetarkan jiwa. Tiket yang berjumlah dua ribu tempat duduk pun sudah habis sehari sebelum pertunjukan selama dua hari pertunjukan.

Atilah Soerjadjaya yang memiliki trah kerabat keraton Mangkunegoro sekaligus sang sutradara mengatakan bahwa dalam proses penggarapan Matah Ati, kesadaran pada detil visual menjadi sangat penting, detil musik dan dari aspek komposisi gamelan, bahkan detil pada setting panggung yang ditawarkan Jay Subiyakto dengan kemiringan 15 derajat, membuat seluruh penari bisa kelihatan dari sudut manapun dan di bagian tengah ada bagian yang bisa membuka dan menutup sebagai pintu keluar masuk para pemain. Eka Supendi salah satu dari koreografer menambahkan: “Matah Ati adalah sebuah karya yang sangat luar biasa, dengan proses yang sangat panjang melalui riset dalam membangun cerita ini,” bayangkan 2,5 tahun untuk riset sebelum pertunjukan.

Jalan yang ditempuh oleh Atilah pun patut diacungin jempol dengan mementaskan karya perdananya ini di panggung yang bergensi Esplanade Singapore. Sukses pentas di Singapore menjadi pijakan karya ini mendunia, bahkan beberapa negara sudah mengantri untuk mengundangnya. Dan menjadi promosi gratis ketika karya ini dipentaskan di Teater Jakarta, pada tanggal 13-16 Mei 2011, tiket terjual habis selama 4 hari pertunjukan.

Selamat buat seluruh tim Matah Ati, selamat berkeliling dunia mengenalkan budaya tradisi Indonesia. Ditunggu karya-karya berikutnya (J)

1 komentar:

  1. Salut..salut.....Penulis yang banyak ide.....terus tetap semangat...

    BalasHapus