Kamis, 15 Juli 2010

Serunya Meluncur dengan Flying Fox

A Zip Line atau di sini lebih dikenal dengan Flying Fox, saat ini menjadi permainan yang sangat popular dan disukai oleh semua kalangan, baik anak-anak, remaja, pemuda, bahkan kaum dewasa. Permainan ini hampir ada di setiap lintasan outbound, bahkan di pusat hiburan dan wisata seperti Ancol atau Taman Mini pun menyediakan sarana permainan ini. Semua berlomba-lomba membuat lintasan terpanjang untuk menambah sensasi serrr nya.

Tahukah kamu, alangkah mendebarkannya meluncur di kawat baja dari atas ketinggian tertentu lalu meluncur deras turun, hanya berpegangan pada seutas tali. Saya pernah mencoba permainan ini dua kali. Yang pertama sewaktu pergi ke Lembang, dan yang kedua sewaktu outbound di Lembur Pancawati.

Persiapan sebelum meluncur, anda diwajibkan memakai pengaman standar internasional yang dipakaikan oleh instruktur, tanpa instruktur anda tak akan bisa memakainya sendiri karena terlalu ruwet. Pertama, anda harus memakai pakaian berupa tali temali atau sering disebut Harness (Baju Zirah) , pakaian ini dipakaikan melalui kedua kaki anda hingga menjepit selangkangan, sebagian masuk melalui leher dan dikalungkan. Tali-tali di dada dihubungkan dan dikunci, tali-tali yang ada dipinggang dan di selangkangan juga dikunci seperti kalau kita memakai ikat pinggang. Kedua, anda harus memakai sarung tangan dan helm sebagai perangkat pengaman lainnya.

Setelah siap, anda akan dihubungkan dengan tali sebagai pengaman (seperti pengaman pada panjat dinding) untuk melindungi anda jika anda jatuh atau terpeleset sewaktu naik ke pohon. Di ketinggian tertentu (kurang lebih 9-10 meter dari permukaan tanah) dari pohon tersebut ada basecamp, tempat pijakan untuk meluncur, berupa papan dari kayu yang tidak terlalu lebar. Tantangan sudah dimulai saat anda mulai menaiki tangga yang tertempel di pohon. Memanjat dengan sudut 90 derajat membuat kaki gemetaran dan jantung berdebar kencang, terlebih ketika sampai di papan tempat peluncuran, untuk menempatkan pantat agar bisa duduk saja rasanya sulit sekali. Apalagi saat harus melihat ke bawah, wow tinggi sekali (sebaiknya tidak melihat ke bawah, arahkan pandangan mata jauh ke depan untuk mengurangi takut akan ketinggian).

Di tempat peluncuran sudah ada instruktur yang akan mengait-kaitkan pengaman yang sudah anda pakai dengan yang tergantung di kabel baja stainless dan katrol yang akan membawa anda meluncur ke bawah. Ada dua tali sebagai tempat pegangan tangan. Saat akan menjatuhkan kaki inilah dibutuhkan keberanian, sebab beban tubuh akan tertarik oleh gravitasi bumi. Instruktur menyuruh untuk menekuk lutut dan menghitung: satu, dua, tiga.... serrrrr...... meluncurlah anda dengan bebas disertai ekspresi teriakan ketakutan, sekaligus kepuasan karena terlepas dari beban yang sejak naik ke pohon sudah terasa berat kita pikul.

Sungguh permainan yang sangat mendebarkan untuk menguji nyali serta keberanian kita mengatasi rasa takut dan takut akan ketinggian. Pengen sekali mencoba track yang lebih panjang agar sensasinya lebih terasa. Anda ingin mencobanya juga? (J)

Senin, 12 Juli 2010

Monster Hipokrito, Monster Dengan Dua Wajah

Ada seorang teman gereja yang sms, “mau nonton Operet Bobo tidak? aku punya satu tiket nih!” tawaran yang menarik. Tetapi langsung pudar begitu terbayang harga tiket yang mahal. Teman yang satunya lagi, menemui saat akan mengajar Sekolah Minggu dan mengajak pergi, ternyata tiket gratis. Wow, langsung mengiyakan. Tak lupa menyelesaikan tugas pelayanan, baru berangkat. Itulah enaknya mempunyai teman-teman yang bekerja sebagai pelaku-pelaku seni, disamping dapat info jika ada pertunjukan, juga mendapatkan tiket gratis.

Empat orang dewasa menonton Operet Bobo?! Pasti anda akan tertawa geli, jangan apriori dulu, kami bertiga adalah pengajar anak-anak yang sedang mencari pengalaman dan ingin belajar membuat naskah drama serta mengelola pertunjukan anak-anak yang baik itu seperti apa, kalau bisa menyutradarai sekaligus. Teman yang satunya lagi adalah bapak yang anaknya menjadi penari balet di operet tersebut.

Lucunya, sewaktu antri, kami adalah manusia-manusia dewasa tanpa ditemani anak-anak kecil, sementara di kanan, kiri, depan, belakang semua bersama-sama dengan anak-anaknya. Tapi cuek saja, nah pintu masuk sudah dibuka! Kamipun berdesakan untuk masuk.

Tokoh Bobo, Coreng, Upik, Paman Gembul, Nirmala, Oki dan Sirik adalah tokoh-tokoh di Majalah Bobo, saya mengenalnya sewaktu masih imut. Saya suka membacanya karena tetangga yang berlangganan. Nah kali ini, saya bisa melihat tokoh-tokoh tersebut tidak dalam bentuk gambar melainkan dalam bentuk tokoh nyata yang dimainkan manusia.

Cerita dalam operet, dibuka dengan gerak dan lagu para Kurcaci dan kelinci di Negeri Dongeng. Mereka dihebohkan kedatangan monster buruk rupa yang bersuara aneh, bahasanya tidak dimengerti oleh bobo dan keluarga besarnya. Nirmala (Revalina S. Temat), peri yang selalu membawa tongkat dengan ujung bintang, pada saat yang sama menemukan Peri cantik Koksi (Eva Yolanda) yang meminta bantuan karena negeri Peri Kebaikan - tempat peri Koksi berasal- diserbu oleh monster Hipokrito dan ratunya.

Ratu Hipokrito, Ratu yang memiliki dua sisi wajah. Wajah yang satu memperlihatkan wajah cantik nan lemah lembut, sedangkan wajah sebaliknya adalah wajah monster yang menakutkan, berkepala hijau mirip aliens, suka tertawa berjingkrak-jingkrak (jadi ingat tarian Didik Ninik Thowok yang suka menari dua muka). Ratu Hipokrito juga mengaku-aku sebagai Ratu Agapo. Penyamaran monster-monster tersebut tidak terdeteksi oleh Nirmala dan kawan-kawan..

Penyamaran mereka terbongkar oleh Pak Tobi, tabib di negeri dongeng yang membuat ramuan untuk membebaskan peri-peri dan juga membebaskan Ratu Agapo asli yang terperangkap di dalam bunga Dandelion. (diperankan oleh Putri Indonesia Pariwisata 2009 yang sangat cantik sekali, Ayu Pratiwi). Siapa sangka peri Koksi – yang membawa mereka ke negeri kebaikan - ternyata adalah jelmaan dari pasukan monster Hipokrito. Sirik (Pipiyot) penyihir peyot yang selalu membawa sapu ternyata dalang di balik huru hara di Negeri Kebaikan. Terjadilah pertempuran antara peri-peri yang cantik dan balatentara monster Hipokrito. Mengetahui terdesak si sirik memilih untuk kabur. (Koreografi pertarungan antara monster Hipokrito dan peri-peri Negeri Kebaikan, mirip pertarungan dalam wayang orang)

Di saat pertarungan sedang berlangsung, serbuk kebaikan buatan Ratu Agapo disebar. Serbuk itu akan membuat yang jahat menjadi baik, kecuali si Sirik yang bisa terhindar dari serbuk kebaikan karena sudah kabur terlebih dulu. Ya, kita harus selalu menebarkan cinta kasih dan kebaikan kepada semua orang, sehingga mampu mengubah orang jahat bisa menjadi baik. Itulah pesan yang hendak disampaikan dari operet.

Yang menarik dari Operet ini adalah ceritanya sederhana (ya iyalah namanya juga tontonan anak-anak), setting panggung yang cantik, tata busana yang penuh gebyar dan koreografi yang rancak dan apik. Hanya sayang, kita tidak bisa membedakan Taman di Negeri Dongeng dan Taman di Negeri Kebaikan, keduanya sama. Harusnya tim dekorasi membuat pohon-pohon dengan dua muka juga, di satu sisi dicat dengan warna pohon di Negeri Dongeng, sewaktu adegan di Negeri Kebaikan tinggal memutar pohon yang sama yang sudah di cat berbeda.

Operet Bobo "Monster Hipokrito" ini disutradarai oleh Aditya Purwa Putra anak dari musisi Purwacaraka besan dari Ibu Evyana (anggota GKI Delima), suami dari Dhea mantan anak Sekolah Minggu saya. Selamat ya Dit, sudah menjadi sutradara yang sukses mementaskan Operet Hipokrito. Salute... salute...

Oh ya! makasih untuk Vera yang sudah memberi tiket gratis, makasih juga untuk ci Pris yang sudah memberi snack sewaktu saya lapar, makasih untuk pak Iwan yang telah memberi tumpangan mobil hingga sampai JHCC Senayan. (J)

Senin, 05 Juli 2010

Karang Bolong di Carita, Bagai Secuil Pandora Negeri Imajinatif Di Film Avatar



Saat menonton film Avatar, mata kita dimanjakan oleh pemandangan sangat menakjubkan dari negeri yang bernama Pandora, tempat tinggal yang indah nan asri penuh dengan pohon-pohon besar menjulang ke langit, sulur-sulur dari dahannya menjuntai, sebagai tempat yang asyik untuk bergelayutan dari satu pohon ke pohon lainnya. Dahannya yang besar-besar membuat para anak-anak suku Na'vi bisa berlarian di atasnya, tempat yang sangat menyenangkan untuk bermain. Sebuah hutan nan subur yang penuh dengan berbagai macam makhluk hidup. Pandora juga rumah bagi suku Na’vi, makhluk yang mirip manusia dengan kehidupan primitif serta memiliki kemampuan seperti manusia, hanya saja mereka bertubuh besar, berwarna biru dan memiliki ekor.

Pemandangan seperti itulah yang terekam dalam benak saya, ketika touring ke Karang Bolong di Carita.

Saya sudah sering melewati Karang Bolong di Carita, tetapi tak pernah terpikir sedikitpun untuk mampir, karena saya pikir tempatnya sempit dan tidak menarik. Karang Bolong terletak tidak jauh dari kota Serang hanya sekitar 50 Km atau 140 Km dari kota Jakarta.

Sepintas pantai Karang Bolong memang biasa saja, hanya sebuah lengkungan atau lubang besar batu karang di tepi pantai. Yang membuatnya berbeda adalah ketika mendekat dan melihat ornamen abstrak di dinding karang. Akar-akar pohon beringin yang membelit karang, bagaikan intalasi karya seniman ternama dunia. Surealis, menyeramkan sekaligus menarik, bagai tempat kaum pertapa yang ingin mendapatkan pencerahan.

Menurut mitos warga sekitar, karangbolong dulunya bernama Karang Suraga. Konon, ratusan tahun yang lalu di pantai itu hidup seorang sakti bernama Suryadilaga yang bertapa hingga akhir hayatnya. Meskipun jasadnya sudah mati, tetapi secara gaib orang sakti itu masih hidup dan bermukim di sana. Namanya mitos, boleh dipercaya, boleh tidak.

Cerita yang lebih ilmiah, Karangbolong kemungkinan terjadi akibat letusan Krakatau pada 1883. Bisa dibayangkan dasyatnya kekuatan tsunami yang terjadi akibat letusan Krakatau hingga mampu menghancurkan karang menjadi berlubang besar seperti itu.

Disamping ornamen dinding karangnya eksotis, yang menganggumkan dari Karang Bolong adalah pohon yang menyatu dengan karang. Keduanya bagai sepasang kekasih yang berpelukan tak ingin dipisahkan, sang pohon menyangga karang dengan penuh kasih sayang, sang karangpun tertidur lelap dalam pelukan sang pohon. Untuk menaiki karang dibuat tangga-tangga hingga ke puncak. Menaikinya dibutuhkan nyali karena tingginya, saat melihat ke bawah, wow! indah sekaligus menyeramkan, takut bila jatuh ke bawah. Dalam perjalanan inilah kami mencoba mengabadikan indahnya dahan-dahan yang melingkupi jalan sempit tersebut. Amazing banget. Bagai tempat para suku Na’vi yang sedang bermain-main dan berkejar-kejaran di atas pohon yang besar dan tinggi. Di atas dahannya Jake dan si jelita Neytiri sedang memadu kasih.

Masuk ke Karang Bolong, hanya membayar tiket Rp. 5000.- murah bukan! Hanya ada satu hal yang tidak menyenangkan, jalannya tidak pernah berubah, banyak berlubang sepanjang perjalanan dan harus melewati daerah industri Cilegon yang sangat tidak enak untuk di lihat pemandangannya. Gunung yang tinggal separo karena explorasi bahan tambang dan kegersangan di sana-sini. (J)

Jumat, 02 Juli 2010

Lembur Pancawati, Ekowisata Dengan Menerapkan Kaidah Community Based Tourism (CBT)


Lembur Pancawati adalah tempat aktivitas outbound, Tamasya Desa dan Pelatihan Outdoor Activities bagi yang ingin menyelenggarakan pelatihan, seminar atau retret. Tempat yang asri dengan pemandangan alam yang mempesona, balai pengenalan alam dan lingkungan demikian mereka memperkenalkan dirinya.

Lembur Pancawati terletak di kaki Gunung Pangrango hanya 1,5 jam dari Jakarta jika tidak macet. Keluar dari tol Ciawi arahkan mobil Anda menuju Sukabumi, kira-kira 4,5 Kilo perjalanan tibalah Anda di Pasar Cikereteg. Dari pasar ini belok ke kiri, masih masuk ke dalam kira-kira 4 kilo dari jalan besar. Tapi jangan khawatir jalan masuknya mulus walau harus melalui jalanan yang naik turun.

Penginapan di Lembur Pancawati menggunakan bahan-bahan dari alam, pilar-pilar penyangganya terbuat dari bambu dan kayu yang kuat dan kokoh, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, layaknya rumah-rumah di kampung jaman dulu. Masing-masing penginapan memiliki eksotisme dan pemandangan alam pedesaan yang jarang ditemui di kota-kota besar. Ingin pemandangan sawah dengan dangau-dangau di pinggirnya ada. Ingin mendengar gemericik air sepanjang malam tersedia, atau dari balik kamar ingin melihat pemandangan lembah dan gunung tinggal melongok dari balik jendela. Sungguh tempat yang tak bakal ditemui di Jakarta.

Jika malam kesenyapan menyergap, sepi, hening, rasanya damai seperti di surga. Suara jangkrik dan binatang-binatang penggerek saling bersahutan berlomba menyanyi dengan nyanyian paling indah, katak pun melompat-lompat dan sesekali bersuara mengajak sang kekasih bercengkerama di pematang sawah. Alunan seruling bambu dari lagu sunda yang diperdengarkan dari pondok yang mendayu-dayu, meliuk-liuk merogoh sukma membawa kita melayang ke negeri di awan.

Di dekat ruang makan ada menara pandang kira-kira berukuran 3x4 meter dengan empat tempat duduk menghadap ke lembah, diapit tujuh pohon yang besar dan rindang. Lantainya terbuat dari lembaran batang bambu yang diikat dan pagar bambu yang melingkar sebagai pengaman. Dari menara pandang ini arahkan mata ke lembah, di sana ada hamparan hijau sawah dan perkebunan, ada turun deras air terjun, bening air sungai dan danau buatan. Dari tempat duduk ini akan muncul inspirasi yang jika anda tuangkan akan menjadi barisan kata-kata, jika dirangkai akan menjadi seribu puisi yang indah untuk dibaca orang.

Jejak embun pagi dan jejak langkah yang masih basah membawamu menuruni tangga ke lembah. Ada ratusan tangga yang akan membimbingmu melihat lebih dekat apa yang tadi bisa dilihat dari atas. Kolam renang dari mata air, berperahu di danau air terjun sambil bermain di goa mata air, berendam di air sungai yang bening bak kaca. Anda tak mungkin bisa menolak dan pasti terbujuk oleh rayuan sungai untuk bercengkerama dan menceburkan diri, byur. Dan kesegaran langsung menyerap ke pori-pori membawa keceriaan seluruh badan.

Banyak serangga, itulah yang menjadi keluhan orang-orang kota. Serangga adalah sahabat-sahabat alam, mereka hidup karena habitatnya memang di situ, hidup di komunitas dan ekosistemnya. Manusialah yang kadang tidak bisa bersahabat dan menyesuaikan diri dengan alam dan ekosistem yang mendukungnya. Mereka ingin hidup dengan alam tapi tidak dengan serangga-serangga, tidak dengan tikus-tikusnya, tidak dengan laba-labanya. Mereka sudah terusir dari kota-kota besar, haruskah mereka juga dibasmi dan dimusuhi di habitatnya yang asli? Harusnya kita bersyukur dengan alam yang masih asri berikut dengan binatang-binatang pendukungnya, mereka memiliki hak untuk hidup seperti ciptaan yang lain. Janganlah kita memusuhinya! Hanya karena mereka kecil, kotor dan menjijikkan. Cobalah membuat paradigma baru dalam melihat alam dan segala ekosistemnya.

Di tempat inilah Penyegaran Pelayan GKI Delima dilaksanakan. (J)