Jumat, 02 Juli 2010

Lembur Pancawati, Ekowisata Dengan Menerapkan Kaidah Community Based Tourism (CBT)


Lembur Pancawati adalah tempat aktivitas outbound, Tamasya Desa dan Pelatihan Outdoor Activities bagi yang ingin menyelenggarakan pelatihan, seminar atau retret. Tempat yang asri dengan pemandangan alam yang mempesona, balai pengenalan alam dan lingkungan demikian mereka memperkenalkan dirinya.

Lembur Pancawati terletak di kaki Gunung Pangrango hanya 1,5 jam dari Jakarta jika tidak macet. Keluar dari tol Ciawi arahkan mobil Anda menuju Sukabumi, kira-kira 4,5 Kilo perjalanan tibalah Anda di Pasar Cikereteg. Dari pasar ini belok ke kiri, masih masuk ke dalam kira-kira 4 kilo dari jalan besar. Tapi jangan khawatir jalan masuknya mulus walau harus melalui jalanan yang naik turun.

Penginapan di Lembur Pancawati menggunakan bahan-bahan dari alam, pilar-pilar penyangganya terbuat dari bambu dan kayu yang kuat dan kokoh, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, layaknya rumah-rumah di kampung jaman dulu. Masing-masing penginapan memiliki eksotisme dan pemandangan alam pedesaan yang jarang ditemui di kota-kota besar. Ingin pemandangan sawah dengan dangau-dangau di pinggirnya ada. Ingin mendengar gemericik air sepanjang malam tersedia, atau dari balik kamar ingin melihat pemandangan lembah dan gunung tinggal melongok dari balik jendela. Sungguh tempat yang tak bakal ditemui di Jakarta.

Jika malam kesenyapan menyergap, sepi, hening, rasanya damai seperti di surga. Suara jangkrik dan binatang-binatang penggerek saling bersahutan berlomba menyanyi dengan nyanyian paling indah, katak pun melompat-lompat dan sesekali bersuara mengajak sang kekasih bercengkerama di pematang sawah. Alunan seruling bambu dari lagu sunda yang diperdengarkan dari pondok yang mendayu-dayu, meliuk-liuk merogoh sukma membawa kita melayang ke negeri di awan.

Di dekat ruang makan ada menara pandang kira-kira berukuran 3x4 meter dengan empat tempat duduk menghadap ke lembah, diapit tujuh pohon yang besar dan rindang. Lantainya terbuat dari lembaran batang bambu yang diikat dan pagar bambu yang melingkar sebagai pengaman. Dari menara pandang ini arahkan mata ke lembah, di sana ada hamparan hijau sawah dan perkebunan, ada turun deras air terjun, bening air sungai dan danau buatan. Dari tempat duduk ini akan muncul inspirasi yang jika anda tuangkan akan menjadi barisan kata-kata, jika dirangkai akan menjadi seribu puisi yang indah untuk dibaca orang.

Jejak embun pagi dan jejak langkah yang masih basah membawamu menuruni tangga ke lembah. Ada ratusan tangga yang akan membimbingmu melihat lebih dekat apa yang tadi bisa dilihat dari atas. Kolam renang dari mata air, berperahu di danau air terjun sambil bermain di goa mata air, berendam di air sungai yang bening bak kaca. Anda tak mungkin bisa menolak dan pasti terbujuk oleh rayuan sungai untuk bercengkerama dan menceburkan diri, byur. Dan kesegaran langsung menyerap ke pori-pori membawa keceriaan seluruh badan.

Banyak serangga, itulah yang menjadi keluhan orang-orang kota. Serangga adalah sahabat-sahabat alam, mereka hidup karena habitatnya memang di situ, hidup di komunitas dan ekosistemnya. Manusialah yang kadang tidak bisa bersahabat dan menyesuaikan diri dengan alam dan ekosistem yang mendukungnya. Mereka ingin hidup dengan alam tapi tidak dengan serangga-serangga, tidak dengan tikus-tikusnya, tidak dengan laba-labanya. Mereka sudah terusir dari kota-kota besar, haruskah mereka juga dibasmi dan dimusuhi di habitatnya yang asli? Harusnya kita bersyukur dengan alam yang masih asri berikut dengan binatang-binatang pendukungnya, mereka memiliki hak untuk hidup seperti ciptaan yang lain. Janganlah kita memusuhinya! Hanya karena mereka kecil, kotor dan menjijikkan. Cobalah membuat paradigma baru dalam melihat alam dan segala ekosistemnya.

Di tempat inilah Penyegaran Pelayan GKI Delima dilaksanakan. (J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar