Kamis, 02 September 2010

Mengejar Matahari di Pulau Tidung (2)


Pulau Tidung ternyata pulau yang berpenghuni sangat padat. Termasuk dalam kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Penduduknya sangat ramah, mungkin sudah dibekali oleh Pemerintah Daerah untuk bersikap ramah pada wisatawan dan sadar sebagai destinasi baru wisata yang menjanjikan kesejahteraan bagi penduduknya. Oh ya, banyak kucing yang berkeliaran di Pulau Tidung.


Setelah makan siang, kira-kira jam satu siang, acara pertama kami adalah snorkeling ke Pulau Karang Beras, sejam perjalanan dari Tidung. Panas Mentari sangat menyengat, namun tak menyurutkan semangat kami untuk berangkat. Tak lupa melindungi wajah, tangan dan kaki dengan Sunblock untuk melindungi dari sengatan sinar UV (Ultra Violet). Di rumah pak Bustanil kami dibagikan masing-masing satu pelampung dan peralatan snorkeling. (Sewa peralatan snorkeling sebesar Rp. 35.000/orang/hari). Pelampung berwarna hijau muda dan jingga itu membuat kami tampil lebih keren, so pasti kami langsung bergaya minta di foto. Kami berjalan menuju pantai dimana sudah bersandar perahu motor yang akan membawa kami ke pulau Karang Beras. Perairan dimana perahu motor bersandar sangat jernih bak kaca. Dasar sungai yang berupa pasir dan batu-batuan putih kelihatan indah dipandang mata. Sebagian dari kami naik di bagian depan perahu motor, sebagian lagi di bagian belakang. Perahu melaju ke tengah laut. Sambil membayangkan seolah-olah sedang naik perahu di danau Tiberias bersama my JC. 


Satu jam kemudian laju perahu dikurangi. Bayang-bayang pulau di kejauhan semakin mendekat. Di bawah sinar mentari yang menyengat, air laut justru berdandan dan bersolek menampakkan gradasi warna yang berbeda. Hijau muda, biru muda, biru tua dengan latar belakang pulau-pulau yang berderet-deret. Pantas saja disebut kepulauan seribu karena pulaunya memang banyak. Sungguh kaya Indonesia ini dengan pulau-pulaunya yang eksotis. Pulau terdekat yang kecil itu, kata mas yang mengantar kami bernama Pulau Karang Beras Kecil, pulau ini tidak berpenghuni. Sedang yang besar agak jauhan sedikit Pulau Karang Beras Besar, pulau itu sudah dikelola oleh pihak swasta sebagai resort kalau mau bersandar dikenai biaya. Agak jauhan, ada Pulau Air dan pulau-pulau lain yang tidak kami ingat lagi namanya.



Mesin kapal tiba-tiba dimatikan dan kapal motor pun berhenti. Kami bertanya-tanya apakah di sini tempat snorkelingnya? Dan mas nakhoda kapal motor mengangguk, menyetujui. Mula-mula kami ragu untuk terjun ke laut, karena panas banget cing! Kira-kira jam 2 siang. Tapi melihat mas “co nakhoda” terjun, diikuti  Eka yang juga terjun bebas ke laut, membuat rekan-rekan tak ragu lagi mempersiapkan diri untuk terjun pula. Sebagian dari kami memakai pelampung tetapi Eka dan Yulita tidak memakai karena kalau pakai pelampung tidak bisa menyelam ke dalam air. Kami memakai peralatan snorkeling berupa kacamata, cerobong pernafasan mulud serta sepatu yang mirip ekor ikan. Ci Pris, Niken dan Venny tidak ikut terjun ber-snorkeling-ria. Ci pris tidak bisa berenang, kalau Niken dan Venny mungkin takut kulitnya yang putih menjadi hitam he... Jeburrrrr... satu per satu kami terjun ke laut dan menyelam. Wow alangkah indahnya pemandangan laut di bawah air. Ternyata Tuhan, tidak hanya membuat Taman di darat saja tetapi juga di bawah air, ada taman yang tak kalah indahnya dengan yang di darat. Terumbu karang tersusun dan tertata rapi, ditemani ikan-ikan warna-warni yang berkeliaran dan berenang secara bebas. Sayang kami tidak membawa roti untuk menarik ikan-ikan datang. Mata kami memuaskan pandangan untuk mengejar ikan-ikan yang berenang di antara terumbu karang. Air laut yang sangat asin mengganggu perburuan kami karena selalu menempel di dalam mulud dan asinnya luar biasa. Ah... air laut yang asin membuat manusia tidak bisa berlama-lama di dalam air laut tetapi di dalam air laut itulah hidup ribuan bahkan mungkin jutaan jenis ikan. Mahabesar Tuhan yang menciptakannya.


Puas snorkeling, kami kembali naik ke kapal motor. Karena penasaran dengan pulau kecil di dekat kami bersnorkeling, kami pun singgah. Pulau Karang Beras kecil tidak terlalu luas, mungkin hanya setengah lapangan bola. Tapi perairan di sekitarnya sungguh menakjubkan. Pasirnya putih bersih, air putih bening bak kaca di pinggiran membuat kaki kami yang tenggelam di kedalaman pun kelihatan, agak ke tengah berwarna hijau muda dan lebih ke tengah lagi biru tosca. Sungguh perpaduan warna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hanya sayang pulau ini tidak terawat. Diantara pohon-pohon cemara yang tumbuh di seputar pulau, tumbuh rumput-rumputan liar tak beraturan, membuat kami takut masuk ke dalamnya. Pulau ini juga menjadi tempat persinggahan sampah berupa kayu-kayu yang terdampar. Tapi dari pulau kecil yang ditumbuhi rumput liar ini kita bisa melihat keindahan laut yang tiada tara. 


Setelah puas bisa menjelajah Pulau Karang Beras kecil, kami pun kembali ke Pulau Tidung. Masih membekas kenangan indah bersama teman-teman ketika harus berfoto dengan meloncat sama-sama ke udara, berkali-kali dan harus diulang-ulang. Untung Fotografer Gunawan dan Venny dengan sabar mengikuti permintaan kami. Makasih ya Gun, Makasih ya Ven he...


Jam menunjukkan pukul 16.00. Setelah mengembalikan peralatan snorkeling. Acara selanjutnya adalah memburu matahari terbenam dan bersepeda ria ke Jembatan Cinta. (Jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil). Masing-masing dari kami mendapatkan satu sepeda. (sewa sepeda Rp 15,000,-/orang/hari ). Sayang Ci Pris sudah lupa menggunakan sepeda, Fariana tidak bisa naik sepeda. Terpaksa pemandu kami memboncengkan ci Pris, sementara saya memboncengkan Fariana. Maryam mengekor jauh di belakang, karena masih kagok menggunakan sepeda. Sepeda-sepeda di Pulau Tidung kebanyakan tidak ada remnya atau ada rem tapi ga pakem. Jalan-jalannya terbuat dari corn-block dan  banyak sekali polisi tidurnya, itu yang sering menyulitkan kami jika bersimpangan jalan dengan sepeda motor, karena jalannya sempit dan rem sepedanya tidak pakem, kami harus memakai kaki sebagai rem.


Kira-kira lima belas menit kami bersepeda dari penginapan ke Jembatan Cinta. Setelah memarkir sepeda, kami berjalan menuju ke Jembatan Cinta. Kami melewati gubuk-gubuk tempat jualan kelapa muda, sayang lagi puasa jadi ga bisa minum kelapa muda. Wow... alangkah indahnya! Jembatan ini terbuat dari kayu membentang sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Di kanan-kiri jembatan terlihat birunya laut yang dangkal dengan terumbu karang yang indah. Mula-mula kami naik ke jembatan yang terbuat dari besi. Nah... dari Jembatan besi ini, biasanya digunakan untuk atraksi terjun bebas oleh anak-anak kampung sekitar dan diikuti wisatawan yang ingin mencoba sensasinya. Daripada terjun bebas dari apartemen atau mal, mending terjun bebasnya di sini saja lebih mengasyikkan. 


Dari Jembatan ini pula kita bisa melihat Pulau Tidung Kecil yang nampak hijau oleh pepohonan, jembatan terbuat dari kayu itu membentang lurus, lalu berkelok bagai seekor naga yang sedang berenang membelah lautan. Anda harus hati-hati sewaktu berjalan, karena jembatan terbuat dari kayu ini sudah banyak yang keropos oleh air laut yang asin. Kira-kira 1,200 an langkah (menurut Tante Anna yang menghitung langkah-langkahnya ketika menyeberangi jembatan) sampailah kami di Pulau Tidung Kecil. Karena kami sampai ketika senja sudah menyapa, jadi tidak bisa berkeliling pulau. Kata mas yang mengantar, biasanya ada tradisi menanam mangrove (Bakau) untuk menyelamatkan Pulau Tidung Kecil dari abrasi laut. Benar, jangan sampai pemanasan global menenggelamkan pulau-pulau kecil yang indah itu. Di ufuk barat, Matahari sudah nampak lelah dan segera masuk ke peraduannya. Momen-momen seperti ini tidak boleh dilewatkan dan mulailah kami berburu matahari terbenam (Sunset) dari segala sudut pulau untuk mengabadikannya.


Lelah sudah kami seharian berkeliling, setelah mandi dan makan malam. Masing-masing dari kami, ada yang menonton televisi sambil melepas lelah dengan bermain remi. Tak jauh dari penginapan kami ada surau/masjid sedang melaksanakan sholat Taraweh dilanjutkan dengan tadarus sepanjang malam.

Setengah sepuluh malam kami di bawa ke pantai dekat dengan kecamatan. Acara malam ini, barbeque di tepi pantai. Suasana malam itu sunyi, sepi hanya debur ombak yang terdengar. Kami tiduran di tepi pantai dengan alas tikar sambil memandang bulan setengah, serta bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Sungguh suasana yang sangat damai. Air kelapa muda menambah segar dan hidangan ikan yang lezat dan gurih menggugah selera. Kami menikmati suasana malam yang sungguh sangat indah untuk dikenang dan diceritakan.



Malam semakin merambat dan kami terlena dalam mimpi masing-masing. Sungguh capek tapi menyenangkan. Rasanya baru sebentar terlelap dalam tidur, kami dikejutkan oleh suara tabuhan beduk berkeliling sambil teriak sahuuur... sahuuurrr... sahuuurrr... sahuurrrr... Jiah sudah menjelang pagi rupanya.


Pagi buta, kami kembali mengayuh sepeda-sepeda kami mengejar matahari terbit (Sunrise), hanya sayang di ufuk timur awan-awan hitam menghalangi pandangan kami. Kami melihat matahari sambil dalam hati bernyanyi “Janji-Mu seperti fajar pagi hari, yang tiada pernah terlambat bersinar...”


Tour kedua yang kami laksanakan berjalan sukses. Makasih teman-teman yang sudah kompak dan berbagi kebahagiaan dan kegembiraan bersama. Lain kali kita atur kembali tour ketiga ya he.... 


Jam 07.30 kami meninggalkan Pulau Tidung dengan meninggalkan sejuta kenangan yang tidak mungkin kan terlupakan. Love u Tidung! (J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar