Senin, 21 Maret 2011

Teater Boneka “Mauvaise Graine”: Petualangan Empat Musim Si Bebek Kecil


Perancis adalah negara di Eropa yang sering mementaskan karya-karya seninya di Indonesia. Film-filmnya setahun sekali hadir dalam Festival Film Perancis dan seni kontemporer hadir dalam tajuk Printemps Francais.

Salah satu seni yang hadir di Indonesia adalah Teater Boneka dari Kelompok Compagnie à yang menampilkan “Mauvaise Graine” sebuah cerita yang terinspirasi dari The Ugly Duckling karya H. Christian Andersen. Memadukan humor dengan kekejaman dan menggabungkan atraksi badut dan teater obyek.

Di Panggung nampak sebuah rumah gubuk, menyerupai kandang dengan jendela kecil di sebelah kirinya. Pagi menjelang, terdengar hiruk pikuk, gaduh suara binatang-binatang dari kandang. Suara ayam, ditimpa suara kambing, sapi, kuda dan binatang-binatang lain. Dua orang muncul dari gubuk, seorang perempuan (Dorothèe Saysombat) dan seorang laki-laki (Scott Taylor, pemain sekaligus ilustrator musik akordion) membawa dua buah balon. Lalu meletakkan balon itu di sisi kanan gubuk. Dengan kapur lalu menulis di salah satu papan di gubuk itu “Musim Panas”. Dari musim ke musim itulah cerita petualangan bebek kecil dimulai.

Perempuan itu kembali keluar dari gubuk, dengan pakaian ala bebek, paruh besar di mulut, memakai sepatu seperti kaki bebek. Perut membuncit berjalan tertatih-tatih sambil memegang perutnya yang membesar, sedang hamil (loh kok bebek hamil sih), wanita itu berperan sebagai induk bebek. Menenteng enam anak-anak bebek berwarna putih nan cantik dan yang dikandungnya adalah anak bungsu.

Induk bebek itu mengejan beberapa kali dan keluarlah telur besar. Tak dibutuhkan waktu lama cangkang-cangkang telur meretas dan keluarlah bebek kecil yang berwarna dekil kecoklat-coklatan, tidak putih seperti saudara-saudaranya yang lain. Sang induk gelisah dan heran melihat keanehan pada anaknya yang berbeda dengan enam anaknya yang lain. Si anak itik buruk rupa oleh sang induk dimandikan dan disikat agar bersih dan menjadi putih. Tapi usahanya sia-sia.

Karena malu mempunyai anak yang buruk dan jelek, untuk menghilangkan jejak, si bebek buruk rupa oleh sang induk ditawarkan ke sana ke mari, dijual, tapi usaha sang induk sia-sia tak ada yang mau membeli. Putus asa si bebek buruk rupa pun dimasukkan ke tong sampah.

Adegan kemudian berganti ke musim gugur. Kali ini Dorothèe membawa satu kotak koper yang berisi bermacam-macam boneka, dia memainkan Puppet Show (Panggung Boneka). Di musim gugur, nampak seekor bebek berpetualang menaiki mobil ke beberapa negara, dengan kreatif Dorothee memainkan adegan naik mobil ini dengan pohon-pohon yang berseliweran. Kemana gerangan si bebek kecil itu berpetualang dari replika-replika kecil yang muncul kita dapat mengetahui si bebek sudah pergi ke patung Liberty di Amerika Serikat, ke menara Pisa Italia, ke Eiffel Perancis dan terakhir bertarung dengan Barongsai hingga pingsan di Cina. Adegan bertarung dengan barongsai sungguh lucu dan menggelitik urat tawa.

Musim Dingin, petualangan seekor bebek dan dua ekor burung yang akan menyeberang ke perbatasan, entah di perbatasan negara mana. Di panggung nampak pagar kawat berduri dengan lampu senter yang selalu menyorot ke sekeliling pagar tersebut. Dorothee berperan sebagai tentara yang berjaga di perbatasan. Dua ekor burung mengendap-endap diperbatasan hendak menyeberang. Bersembunyi, jika lampu menyorot ke pagar. Sang bebek mengawasi dari jauh-jauh, ketakutan. Ketika dirasa waktu tepat dua ekor burung bergegas menyeberang. Dor... dor... dua suara tembakan menghentikan upaya dua ekor burung tersebut. Baru sadar dua tembakan itu berasal dari balon yang dari awal di taruh di samping kanan gubuk. Sungguh kreatif dan menganggumkan. Apalagi permainan burung-burung itu hanya memakai dua buah pulpen yang digenggam. Imajinatif!

Cerita berakhir di musim Semi. Bebek kecil dekil yang dibuang ke tong sampah pada awal permainan kembali hadir. Dia nampak sedih dan putus harapan dibuang ke tempat sampah oleh sang induk. Ia nampak jalan tertunduk lesu sambil menendang-nendang koran-koran yang bertebaran di jalan, putus asa. Bebek dekil akhirnya mati merana di tumpukan koran. Suara akordion yang dimainkan Scott Taylor yang menyayat makin mengaduk-aduk emosi penonton.

Compagnie à didirikan pada bulan Desember 2003 oleh Dorothee Saysombat dan Nicolas Alline, memilih untuk fokus pada hubungan yang intens dan berharga dengan publik dengan menawarkan kreasi yang dirancang khusus untuk penonton dengan jumlah terbatas. Compagnie à hadir di Jakarta atas kerjasama dan prakarsa CCF (Centre Culturel Francais).

Pemerhati anak dan siapapun yang berkecimpung dalam dunia anak seharusnya menonton pertunjukan ini untuk mengasah kemampuan, ketrampilan dan imajinasi dalam memainkan panggung boneka. Setidaknya menambah khasanah dan menabung kreatifitas dari ahlinya. (J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar