Kamis, 02 September 2010

Mengejar Matahari di Pulau Tidung (2)


Pulau Tidung ternyata pulau yang berpenghuni sangat padat. Termasuk dalam kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Penduduknya sangat ramah, mungkin sudah dibekali oleh Pemerintah Daerah untuk bersikap ramah pada wisatawan dan sadar sebagai destinasi baru wisata yang menjanjikan kesejahteraan bagi penduduknya. Oh ya, banyak kucing yang berkeliaran di Pulau Tidung.


Setelah makan siang, kira-kira jam satu siang, acara pertama kami adalah snorkeling ke Pulau Karang Beras, sejam perjalanan dari Tidung. Panas Mentari sangat menyengat, namun tak menyurutkan semangat kami untuk berangkat. Tak lupa melindungi wajah, tangan dan kaki dengan Sunblock untuk melindungi dari sengatan sinar UV (Ultra Violet). Di rumah pak Bustanil kami dibagikan masing-masing satu pelampung dan peralatan snorkeling. (Sewa peralatan snorkeling sebesar Rp. 35.000/orang/hari). Pelampung berwarna hijau muda dan jingga itu membuat kami tampil lebih keren, so pasti kami langsung bergaya minta di foto. Kami berjalan menuju pantai dimana sudah bersandar perahu motor yang akan membawa kami ke pulau Karang Beras. Perairan dimana perahu motor bersandar sangat jernih bak kaca. Dasar sungai yang berupa pasir dan batu-batuan putih kelihatan indah dipandang mata. Sebagian dari kami naik di bagian depan perahu motor, sebagian lagi di bagian belakang. Perahu melaju ke tengah laut. Sambil membayangkan seolah-olah sedang naik perahu di danau Tiberias bersama my JC. 


Satu jam kemudian laju perahu dikurangi. Bayang-bayang pulau di kejauhan semakin mendekat. Di bawah sinar mentari yang menyengat, air laut justru berdandan dan bersolek menampakkan gradasi warna yang berbeda. Hijau muda, biru muda, biru tua dengan latar belakang pulau-pulau yang berderet-deret. Pantas saja disebut kepulauan seribu karena pulaunya memang banyak. Sungguh kaya Indonesia ini dengan pulau-pulaunya yang eksotis. Pulau terdekat yang kecil itu, kata mas yang mengantar kami bernama Pulau Karang Beras Kecil, pulau ini tidak berpenghuni. Sedang yang besar agak jauhan sedikit Pulau Karang Beras Besar, pulau itu sudah dikelola oleh pihak swasta sebagai resort kalau mau bersandar dikenai biaya. Agak jauhan, ada Pulau Air dan pulau-pulau lain yang tidak kami ingat lagi namanya.



Mesin kapal tiba-tiba dimatikan dan kapal motor pun berhenti. Kami bertanya-tanya apakah di sini tempat snorkelingnya? Dan mas nakhoda kapal motor mengangguk, menyetujui. Mula-mula kami ragu untuk terjun ke laut, karena panas banget cing! Kira-kira jam 2 siang. Tapi melihat mas “co nakhoda” terjun, diikuti  Eka yang juga terjun bebas ke laut, membuat rekan-rekan tak ragu lagi mempersiapkan diri untuk terjun pula. Sebagian dari kami memakai pelampung tetapi Eka dan Yulita tidak memakai karena kalau pakai pelampung tidak bisa menyelam ke dalam air. Kami memakai peralatan snorkeling berupa kacamata, cerobong pernafasan mulud serta sepatu yang mirip ekor ikan. Ci Pris, Niken dan Venny tidak ikut terjun ber-snorkeling-ria. Ci pris tidak bisa berenang, kalau Niken dan Venny mungkin takut kulitnya yang putih menjadi hitam he... Jeburrrrr... satu per satu kami terjun ke laut dan menyelam. Wow alangkah indahnya pemandangan laut di bawah air. Ternyata Tuhan, tidak hanya membuat Taman di darat saja tetapi juga di bawah air, ada taman yang tak kalah indahnya dengan yang di darat. Terumbu karang tersusun dan tertata rapi, ditemani ikan-ikan warna-warni yang berkeliaran dan berenang secara bebas. Sayang kami tidak membawa roti untuk menarik ikan-ikan datang. Mata kami memuaskan pandangan untuk mengejar ikan-ikan yang berenang di antara terumbu karang. Air laut yang sangat asin mengganggu perburuan kami karena selalu menempel di dalam mulud dan asinnya luar biasa. Ah... air laut yang asin membuat manusia tidak bisa berlama-lama di dalam air laut tetapi di dalam air laut itulah hidup ribuan bahkan mungkin jutaan jenis ikan. Mahabesar Tuhan yang menciptakannya.


Puas snorkeling, kami kembali naik ke kapal motor. Karena penasaran dengan pulau kecil di dekat kami bersnorkeling, kami pun singgah. Pulau Karang Beras kecil tidak terlalu luas, mungkin hanya setengah lapangan bola. Tapi perairan di sekitarnya sungguh menakjubkan. Pasirnya putih bersih, air putih bening bak kaca di pinggiran membuat kaki kami yang tenggelam di kedalaman pun kelihatan, agak ke tengah berwarna hijau muda dan lebih ke tengah lagi biru tosca. Sungguh perpaduan warna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hanya sayang pulau ini tidak terawat. Diantara pohon-pohon cemara yang tumbuh di seputar pulau, tumbuh rumput-rumputan liar tak beraturan, membuat kami takut masuk ke dalamnya. Pulau ini juga menjadi tempat persinggahan sampah berupa kayu-kayu yang terdampar. Tapi dari pulau kecil yang ditumbuhi rumput liar ini kita bisa melihat keindahan laut yang tiada tara. 


Setelah puas bisa menjelajah Pulau Karang Beras kecil, kami pun kembali ke Pulau Tidung. Masih membekas kenangan indah bersama teman-teman ketika harus berfoto dengan meloncat sama-sama ke udara, berkali-kali dan harus diulang-ulang. Untung Fotografer Gunawan dan Venny dengan sabar mengikuti permintaan kami. Makasih ya Gun, Makasih ya Ven he...


Jam menunjukkan pukul 16.00. Setelah mengembalikan peralatan snorkeling. Acara selanjutnya adalah memburu matahari terbenam dan bersepeda ria ke Jembatan Cinta. (Jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil). Masing-masing dari kami mendapatkan satu sepeda. (sewa sepeda Rp 15,000,-/orang/hari ). Sayang Ci Pris sudah lupa menggunakan sepeda, Fariana tidak bisa naik sepeda. Terpaksa pemandu kami memboncengkan ci Pris, sementara saya memboncengkan Fariana. Maryam mengekor jauh di belakang, karena masih kagok menggunakan sepeda. Sepeda-sepeda di Pulau Tidung kebanyakan tidak ada remnya atau ada rem tapi ga pakem. Jalan-jalannya terbuat dari corn-block dan  banyak sekali polisi tidurnya, itu yang sering menyulitkan kami jika bersimpangan jalan dengan sepeda motor, karena jalannya sempit dan rem sepedanya tidak pakem, kami harus memakai kaki sebagai rem.


Kira-kira lima belas menit kami bersepeda dari penginapan ke Jembatan Cinta. Setelah memarkir sepeda, kami berjalan menuju ke Jembatan Cinta. Kami melewati gubuk-gubuk tempat jualan kelapa muda, sayang lagi puasa jadi ga bisa minum kelapa muda. Wow... alangkah indahnya! Jembatan ini terbuat dari kayu membentang sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Di kanan-kiri jembatan terlihat birunya laut yang dangkal dengan terumbu karang yang indah. Mula-mula kami naik ke jembatan yang terbuat dari besi. Nah... dari Jembatan besi ini, biasanya digunakan untuk atraksi terjun bebas oleh anak-anak kampung sekitar dan diikuti wisatawan yang ingin mencoba sensasinya. Daripada terjun bebas dari apartemen atau mal, mending terjun bebasnya di sini saja lebih mengasyikkan. 


Dari Jembatan ini pula kita bisa melihat Pulau Tidung Kecil yang nampak hijau oleh pepohonan, jembatan terbuat dari kayu itu membentang lurus, lalu berkelok bagai seekor naga yang sedang berenang membelah lautan. Anda harus hati-hati sewaktu berjalan, karena jembatan terbuat dari kayu ini sudah banyak yang keropos oleh air laut yang asin. Kira-kira 1,200 an langkah (menurut Tante Anna yang menghitung langkah-langkahnya ketika menyeberangi jembatan) sampailah kami di Pulau Tidung Kecil. Karena kami sampai ketika senja sudah menyapa, jadi tidak bisa berkeliling pulau. Kata mas yang mengantar, biasanya ada tradisi menanam mangrove (Bakau) untuk menyelamatkan Pulau Tidung Kecil dari abrasi laut. Benar, jangan sampai pemanasan global menenggelamkan pulau-pulau kecil yang indah itu. Di ufuk barat, Matahari sudah nampak lelah dan segera masuk ke peraduannya. Momen-momen seperti ini tidak boleh dilewatkan dan mulailah kami berburu matahari terbenam (Sunset) dari segala sudut pulau untuk mengabadikannya.


Lelah sudah kami seharian berkeliling, setelah mandi dan makan malam. Masing-masing dari kami, ada yang menonton televisi sambil melepas lelah dengan bermain remi. Tak jauh dari penginapan kami ada surau/masjid sedang melaksanakan sholat Taraweh dilanjutkan dengan tadarus sepanjang malam.

Setengah sepuluh malam kami di bawa ke pantai dekat dengan kecamatan. Acara malam ini, barbeque di tepi pantai. Suasana malam itu sunyi, sepi hanya debur ombak yang terdengar. Kami tiduran di tepi pantai dengan alas tikar sambil memandang bulan setengah, serta bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Sungguh suasana yang sangat damai. Air kelapa muda menambah segar dan hidangan ikan yang lezat dan gurih menggugah selera. Kami menikmati suasana malam yang sungguh sangat indah untuk dikenang dan diceritakan.



Malam semakin merambat dan kami terlena dalam mimpi masing-masing. Sungguh capek tapi menyenangkan. Rasanya baru sebentar terlelap dalam tidur, kami dikejutkan oleh suara tabuhan beduk berkeliling sambil teriak sahuuur... sahuuurrr... sahuuurrr... sahuurrrr... Jiah sudah menjelang pagi rupanya.


Pagi buta, kami kembali mengayuh sepeda-sepeda kami mengejar matahari terbit (Sunrise), hanya sayang di ufuk timur awan-awan hitam menghalangi pandangan kami. Kami melihat matahari sambil dalam hati bernyanyi “Janji-Mu seperti fajar pagi hari, yang tiada pernah terlambat bersinar...”


Tour kedua yang kami laksanakan berjalan sukses. Makasih teman-teman yang sudah kompak dan berbagi kebahagiaan dan kegembiraan bersama. Lain kali kita atur kembali tour ketiga ya he.... 


Jam 07.30 kami meninggalkan Pulau Tidung dengan meninggalkan sejuta kenangan yang tidak mungkin kan terlupakan. Love u Tidung! (J)

Mengejar Matahari di Pulau Tidung (1)

Pulau Tidung, sudah menjadi pembicaraan dan tempat kunjungan wisata baru bagi mereka yang cinta laut. Letaknya pun tidak jauh dari Jakarta, hanya sepelempar batu. Keindahan lautnya tak terkira. Warna Airnya masih memiliki perpaduan tiga warna: putih bening bak kaca di pinggiran, agak ke tengah berwarna hijau muda dan lebih ke tengah lagi biru tosca.

Tidak jauh dari Jakarta, karena Pulau Tidung hanya memakan waktu 2–3 jam naik kapal dari dermaga Muara Angke.

Perencanaan ke Pulau Tidung sudah kami rancang jauh-jauh hari dengan rekan-rekan Guru-guru Sekolah Minggu (GSM) GKI Delima. Rencana pertama, kami akan ke menara pandang di lereng Merapi di Jogja, untuk melihat keindahan Gunung Merapi yang aktif mengeluarkan lahar panasnya. Rencana ini terpaksa batal karena memakan biaya yang lumayan besar. Langsung saya mengusulkan ke Pulau Tidung dan disetujui oleh rekan-rekan. Padahal kami buta mengenai Pulau Tidung kecuali mengenal lewat tayangan Jalan-jalan di stasiun televisi. Semua rekan-rekan mulai berburu cerita dan pengalaman kepada teman-temannya yang sudah pernah ke Pulau Tidung dan browsing lewat internet. Karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing, rapat dan keputusan-keputusan di informasikan melalui email dan dimatangkan di pertemuan hari Minggu.

Kami memilih tepat hari kemerdekaan RI, Selasa, 17 Agustus 2010 sebagai hari keberangkatan dan semua kompak mengambil cuti satu hari di hari Rabunya. Jam empat pagi, kami sudah saling berkomunikasi melalui sms atau saling mengebel untuk membangunkan rekan-rekan, terlebih terhadap rekan yang susah untuk dibangunkan seperti Mbak Yem (Maryam), kami kompak untuk mengebel sama-sama. Ternyata teman-teman tepat waktu datang di GKI Delima. Pagi jam 5.15, tiga taksi biru pun meluncur ke Muara Angke.

Kenapa sepagi itu kami harus berangkat? Padahal menurut informasi kapal berangkat jam 7.30. Dari cerita teman-teman yang pernah ke Pulau Tidung, jika tidak pagi-pagi datang, maka kami tidak akan kebagian tempat duduk karena kapal sudah dipenuhi rombongan lain yang juga akan ke sana. Sehingga harus berebut tempat duduk, siapa cepat dia dapat.

Taksi yang kami tumpangi memasuki pasar lelang ikan Muara Angke yang kumuh dan bau ikan nya sangat menyengat hidung. Taksi berhenti di penghujung pasar, tepat di pom bensin Muara Angke. Di belakang pom bensin inilah kapal-kapal bersandar melayani rute ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Jangan segan untuk bertanya karena jika salah naik kapal, anda bisa-bisa terbawa ke pulau lain.

Rombongan kami berjumlah 16 orang terdiri dari 3 cowok (Saya, Eka, Gunawan) dan 13 cewek (Tante Anna, Tante Eny, ci Pris, Yulita, Sherry, Nita, Myra, Maryam, Fariana, Lussi, Niken, Geget, Venny). Bayangin 3 malaikat tampan harus melindungi 13 bidadari cantik, sungguh jumlah yang tidak seimbang. Tapi kami lebih percaya dan bersandar kepada Pelindung yang tidak kelihatan untuk menyertai perjalanan kami.

Setelah bertanya kepada orang di sekitar dermaga, kami ditunjukkan sebuah kapal yang akan menuju ke pulau Tidung, tersembunyi diantara kapal yang akan berangkat ke pulau lain. Untuk naik ke kapal, kami harus melalui kapal yang akan segera berangkat tersebut. Kapalnya tidak terlalu besar. Terdiri dari 2 dak, atas dan bawah. Dan kami memilih yang di atas. Tak ada kursi, tempat duduknya lesehan dengan alas terpal plastik. Tapi tak ada yang mengeluh karena kami sudah dibekali harus tetap bersyukur apapun kondisinya. Justru rasa syukur itulah yang membuat kami tetap bahagia dan ceria. Masing-masing malah asyik dengan dunianya. Yang narsis, mengambil kamera dan jepret sana sini sambil bergaya. Atau memotret matahari pagi yang samar-samar mulai menampakkan bias sinarnya.

Prediksi kami ternyata meleset, kapal tidak penuh seperti kami duga. Tidak ada berebut tempat duduk, mungkin karena bukan long weekend. Tapi jika anda pergi hari Sabtu atau Minggu suasana kapal yang penuh akan anda rasakan. Uh... ada dua cewek bule yang naik ke kapal, Asyiiik.... dia juga akan ke Tidung. Dititipkan keberangkatannya pada rombongan kami. Dalam hati bertanya-tanya, sudah demikian terkenalkah Pulau Tidung sehingga mengundang orang asing untuk datang mengunjunginya? Ah... entahlah mudah-mudahan demikian. Jam 7.30 suara mesin menggetarkan kapal. Sauh diangkat dan berangkatlah kapal yang kami tumpangi.

Perairan di sekitar Muara Angke sangat-sangat kotor, banyak sampah plastik yang mengapung. Itulah sebagian wajah bangsa ini yang suka membuang sampah sembarangan. Laut dianggap sebagai bejana besar tempat yang tepat untuk membuang limbah rumah tangganya. Di kapal kami berkenalan dengan dua teman Niken: Venny dan Gunawan. Begitu mengenal kami, Venny dan Gunawan langsung bisa beradaptasi dengan GSM. Itu memudahkan kami dalam berkomunikasi.

Kapal terus melaju membelah laut. GSM yang masih mengantuk langsung melanjutkan tidur dengan bersandar di besi-besi di sekitar dak kapal atau menjadikan tas-tas perbekalan sebagai bantal. Sedang saya dan rekan-rekan yang lain membuat lingkaran, membunuh waktu dengan bermain remi, sambil menikmati keindahan laut yang semakin ke tengah semakin bersih. Kapal melewati beberapa pulau. Kami menamai pulau di sebelah kiri dengan pulau ke-999, di sebelah kanan pulau ke-998 dan seterusnya. Pulau-pulau itu ada yang besar dan berpenghuni sangat padat, ada yang kecil dan kelihatannya tidak berpenghuni. Sayang tidak ada yang memberitahukan nama pulau-pulau itu dan saya sendiri tidak tahu harus bertanya kepada siapa (mungkin pulau Bidadari, Onrust dll). Oh ya, untuk naik kapal dari Muara Angke ke Pulau Tidung dikenai biaya Rp 33,000.-

Kapal berjalan sangat cepat. Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam 3 jam ternyata bisa ditempuh hanya dalam dua jam. Kapal sudah merapat di dermaga Pulau Tidung. Kami membawa tas dan perbekalan masing-masing. Turun dari kapal, kami disambut oleh tukang ojek, becak dan becak motor. Ibu Mudawaroh, istri pak Bustanil (koordinator wisata dan pemilik penginapan di pulau Tidung yang kami sewa) sudah saya bel dan dalam beberapa menit akan datang. Dengan naik motor, ibu Mudawaroh yang masih berpakaian pegawai pemerintah menyapa kami dengan ramah dan memperkenalkan dua orang laki-laki muda (namanya lupa euy) yang akan menjadi pemandu kami selama di Pulau Tidung. Mas-mas tersebut langsung menyalami kami dan membawa kami berjalan menuju penginapan, sambil membantu menjinjing tas-tas perbekalan dari rekan-rekan yang kelihatan bawaannya sangat berat. Sepuluh menit berjalan kami pun sampai di guest house. Penginapan kami cukup bersih, bercat kombinasi putih dan kuning. Terdiri dari dua pintu. Masing-masing pintu terdiri dari: ruang depan, kamar tidur dan ruang belakang yang ada kamar mandinya. Welcome drink berupa jus mangga kweni yang dingin, lumayan menyejukkan tenggorakan. (J) (bersambung ke bagian ke-2)

Kamis, 26 Agustus 2010

Siau Ling, Derita Cinta Si Peniup Seruling


Siau Ling, sebuah naskah drama musikal yang ditulis oleh Remy Silado. Saya mengenal tokoh-tokoh dalam naskah drama tersebut saat menonton Festival Teater se Jakarta Barat. Kebetulan salah satu peserta Teater Legiun memainkan drama tersebut dengan sangat bagus. Kelompok Teater yang berdiri tahun 2005 yang digawangi oleh Ibas Aragi dan anggotanya kebanyakan pemuda dan remaja gereja.

Sebenarnya sebuah cerita biasa yang sering kita dengar dan lihat macam Siti Nurbaya, perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua terhadap gadisnya yang masih bau kencur karena mengincar harta dan tahta yang dimiliki seorang Adipati yang sudah bau tanah. Atau cerita macam Romeo and Juliet, kasih kedua sejoli yang jatuh cinta tapi tak kesampaian.

Gadis bau kencur itu bernama Lay Kun (diperankan oleh Kesthi), baru berumur 14 tahun, putri tunggal dari keluarga Tan Kim Seng (David) bertempat tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Sedang Adipati yang hendak memperistri Lay Kun, bernama Wilotikto (Laurence) berusia 71 tahun, berkedudukan di Tuban, Jawa Timur.

Adipati Wilotikto digambarkan sebagai seorang yang doyan kawin, diusianya yang sudah kepala tujuh masih memiliki birahi yang menggebu, istrinya tak tanggung-tanggung berjumlah 50 orang, hanya sangat disayangkan kehidupan keluarga Wilotikto tidak lengkap dikarenakan kelima puluh istrinya tidak satupun yang memberi keturunan. Itulah yang menyebabkan Wilotikto memburu gadis-gadis agar bisa mendapatkan keturunan.

Tanpa sepengetahuan Wilotikto sebenarnya salah satu dari istrinya yang ke-25 Renggoning (Rini), memiliki seorang anak Laki-laki yang diberi nama Samik (Hendry). Entah disebabkan oleh apa, Renggoning menyimpan dendam kepada suaminya. Mungkin karena sering ditinggal untuk mencari istri-istri yang baru sehingga istri lama ditinggalkan dan dilupakan.

Rencana untuk meminang Lay Kun pun didengar oleh Renggoning. Dibantu oleh Pringgoloyo (Alvin) yang pandai menjilat. Rencana pun disusun yakni dengan mengumpankan anak semata wayangnya Samik untuk mendahului ke Semarang, menyambangi rumah Lay Kun. Di depan rumahnya Samik menebarkan rayuan dengan puisi-puisi indahnya:
Katakan Lay Kun dirimu siapa
Apa kau dari bintang angkasa
Atau jelmaan para dewata
Namamu terukir dalam atma

Lay Kun, Lay Kun, Jelita dari Utara
Hatimu bakal berlabuh pada siapa
Bila besok hari datang kumbang dua
Membawa persembahan segudang cinta

Samik sebenarnya hanya iseng menebar rayuan di rumah Lay Kun tapi umpan yang ditabur ternyata dimakan oleh Lay Kun yang terkesan dan menyimpan kata-kata Indah Samik. Apa lacur, dari iseng ternyata Samik benar-benar jatuh cinta kepada Lay Kun, gayung pun bersambut. Tetapi orangtua Lay Kun, Tan Kim Seng menentang percintaan anaknya karena sudah terlanjur dijodohkan dengan Adipati Wilotikto.

Persaingan terselubung merebut cinta Lay Kun antara Ayah dan Anak tak terelakkan lagi. Tapi harta dan tahta tentu saja lebih berkuasa. Lay Kun harus tunduk pada kekuasaan orangtuanya. Bagai seekor domba dibawa ke pembantaian, Lay Kun menemui calon pendamping hidupnya. Alangkah kagetnya ketika melihat calon pendampingnya adalah laki-laki tua bangka yang pantas disebut kakeknya. Lay Kun, pingsan dengan suksesnya dihadapan para tamu dan keluarganya. Hanya dengan tiupan suara Siau Ling (suling/seruling) yang dapat menyadarkan Lay Kun dari tidur panjangnya.

Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Pringgoloyo dan teman-temannya untuk menyulap Samik menjadi pangeran penyelamat sang putri yang sedang tidur terlelap. Disamping seruling, Samik juga dibekali badik oleh Daeng Bajika (Herman Davila), sebagai senjata jika terjadi situasi darurat. Dan benar, Lay Kun tersadar begitu mendengar tiupan seruling Samik. Hanya sayang kebahagiaan mereka hanya sesaat karena ayahnya mengetahui penyamaran Samik. Tan Kim Seng menyeret dan membelenggu Samik untuk dihadapkan kepada Adipati Wilotikto.

Alangkah terhinanya Adipati Wilotikto mengetahui calon istrinya berselingkuh dengan anak ingusan, kekuasaannya merasa di injak-injak. Dengan badik terhunus, Adipati membunuh Samik. Banjir darah di pesta perkawinan tak terhindarkan. Mengetahui anaknya dibunuh ayahnya sendiri, Renggoning istri Wilwotikto mencabut badik yang menancap di badan anaknya dan membunuh Adipati Wilotikto. Menjelang ajal, Wilotikto baru tahu kalau dia telah membunuh anaknya sendiri. Pengikut-pengikutnya yang selama ini juga memendam dendam karena selalu dilecehkan mempercepat kematian Adipati dengan mencabut badik dan menancapkan ke tubuhnya. Adipati Wilotikto tewas bersimbah darah. Simbol kerakusan dan kezaliman dalam kekuasaan itu pun tumbang.

Melalui Siau Ling, kita bisa belajar betapa seringkali kekuasaan membutakan orang yang sedang berkuasa untuk berbuat sewenang-wenang. Melalui Siau Ling pula kita bisa belajar keragaman akan memperkuat persatuan, pembauran/akulturasi budaya tak bisa terhindarkan dan belajarlah untuk saling mengharagai antara satu dengan lainnya tanpa memandang Suku, Ras dan Agamanya. Dalam beberapa dialog dalam drama ini Remy Silado menyelipkan Firman Tuhan yang indah tanpa kita sebagai penonton merasa dikhotbahi. (J)

Senin, 23 Agustus 2010

The Kite Runner – Jika Sahabatmu Tiba-tiba Membencimu

Jika sahabatmu, tiba-tiba mendiamkanmu dan membencimu tanpa kau sendiri tahu kesalahan apa yang telah engkau lakukan terhadapnya! Mungkin kamu akan bertanya-tanya. Kesalahan apa gerangan yang telah aku perbuat sehingga sahabatku mendiamkanku?

The Kite Runner, adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persahabatan, persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan, cerita yang menyentuh berlatar belakang konflik di Afghanistan ketika Rusia menginvasi Afghanistan hingga berkuasanya kaum Taliban, karya Khaled Hosseini yang telah diterjemahkan ke dalam 42 Bahasa dan lebih 2 tahun bertengger di daftar New York Times Bestseller.

Amir anak orang kaya dan terpandang, tinggal bersama dengan ayahnya yang dipanggilnya sebagai Baba, di kawasan elite di distrik Wazir Akbar Khan, Kabul, Afghanistan. Amir mempunyai sahabat bernama Hassan anak dari Ali pembantu yang bekerja pada ayah Amir. Walau terlahir sebagai anak dari majikan dan pembantu, Amir dan Hassan tidak mempermasalahkan status mereka, mereka hidup akrab bagai saudara, dikarenakan tumbuh dan besar di lingkungan yang sama. Hassan memiliki kemampuan bermain ketapel dan memainkan layang-layang dan memprediksi kemana layang-layang jatuh serta memburunya. Sedangkan Amir memiliki kemampuan menulis, membaca karya-karya sastra dari penulis-penulis terkenal.

Perbedaan di antara keduanya adalah Hassan lahir dari suku minoritas Hazara penganut Muslim Mazhab Syi’ah, suku di Afghanistan yang memiliki darah ras Mongoloid (China), maka jangan heran jika Hassan memiliki wajah putih dan mata cenderung sipit, hidung pesek, sedangkan Amir keturunan dari suku terbesar di Afghanistan Suku Pashtun penganut Muslim Mazhab Sunni. Karena dianggap suku minoritas, suku Hazara selalu menjadi bahan ejekan dan pelecehan dari suku mayoritas. Konon hal ini terjadi karena suku minoritas Hazara pernah memberontak/melawan suku Pashtun, namun kaum Pashtun dapat menghentikan perlawanan mereka dengan kekerasan yang tidak terkatakan, mereka membantai, mengusir, membakar dan menjual para wanita dari kaum Hazara.

Tokoh antagonis yang dimunculkan di novel ini bernama Assef. Assef adalah anak orang kaya yang memiliki rumah mewah di kompleks di mana Amir dan keluarganya tinggal - Wazir Akbar Khan. Assef anak seorang pilot pesawat komersial, Ibunya berdarah Jerman. Tubuhnya tinggi, rambutnya merah menyerupai bule, Assef adalah anak yang badung, kenakalan membuatnya menjadi orang yang ditakuti. Dalam setiap aksinya, Assef dibantu oleh dua pengawalnya, Wali dan Kama.

Putusnya hubungan persahabatan antara Hassan dan Amir juga akibat perbuatan Assef dan kawan-kawan. Bermula dari kejuaraan Layang-layang. Bagi yang berhasil membuat putus benang layang-layang lawannya menjadi kebanggaan siapapun pemain layang-layang, terlebih bisa memburu dan mendapatkan layang-layang yang putus, tak terkecuali Hassan dan Amir. Ketika memburu layang-layang inilah Hassan bertemu dengan Assef, pelecehan terhadap anak-anak Hazara tak terelakkan terlebih Hassan tak sudi memberikan layang-layang di tangannya kepada Assef, karena sudah berjanji untuk mempersembahkan layang-layang yang dipegangnya kepada Amir. Malang bagi Hassan dia tak berdaya ketika Assef dan kedua temannya menyeret ke sebuah gang sempit dan memperkosanya. Dan Amir menyaksikan kejadian itu tanpa mampu berbuat apa-apa terhadap sahabatnya Hassan. Dia memilih menjadi seorang pengecut, melarikan diri.

Sejak kejadian itu hubungan keduanya merenggang. Amir selalu merasa bersalah jika melihat Hassan. Hassan juga menjadi seorang anak yang pendiam. Hingga suatu saat timbul niat jahat Amir untuk mengusir Hassan dengan cara memfitnah Hassan, hal itu terpaksa dilakukan agar bayangan kejadian itu bisa terusir bersamaan terusirnya Hassan dari rumahnya. Hassan dan ayahnya - Ali akhirnya terusir dari rumah Amir karena disangka mencuri uang dan arloji yang sengaja diletakkan oleh Amir di kamar Hassan.

Maret 1981, Afghanistan dikuasai oleh Soviet. Banyak orang Afghanistan yang terpaksa menjadi pengungsi karena perang. Tak terkecuali dengan Amir dan Baba ayahnya harus mengungsi ke Pakistan dan selanjutnya meminta suaka ke Amerika. Sebagian lagi berjuang mempertahankan negara dengan bergabung dalam milisi Taliban untuk berperang melawan pasukan Soviet.

Hidup di Fremont, California, Amerika Serikat tidaklah semudah sewaktu hidup penuh kemewahan di Afghanistan. Amir dan Baba harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri, Amir menghabiskan masa mudanya dengan kuliah dan menjadi seorang penulis terkenal. Di Amerika pula Amir mengawini seorang gadis Afghanistan, Soraya.

Kebahagiaan hidup dengan Soraya terusik ketika sebuah telepon dari Pakistan yang mengabarkan bahwa Rahim Khan, penasehat bisnis ayahnya yang biasa dimintai pendapat dan nasihat oleh Amir sewaktu di Afghanistan, sakit keras dan mengharapkan Amir untuk datang karena membawa pesan Hassan, sahabatnya. Akankah Amir bertemu dengan Hassan? Bagaimana dengan Assef yang telah menjadi penyebab retaknya persahabatan dengan Hassan? Mampukah Amir menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya terhadap Hassan?

Drama yang mengharu biru, seolah-olah membawa kita dalam situasi terkini perang di Afghanistan sana. Hosseini amat teliti menyuguhkan elemen-elemen drama kemanusiaan, penebusan dosa dan pencarian martabat dalam sebuah panggung sosial politik yang terus berubah cepat di Afghanistan.

Oh ya, buku ini juga sudah difilmkan dengan judul yang sama, tapi filmnya tidak sebagus dibandingkan dengan novelnya. (J)