Senin, 11 April 2011

“Macbeth”: Suami Istri yang Melumuri Tangan dan Pedangnya dengan Darah

Mula-mula hanya sebuah ramalan. Ramalan tiga peri pesihir di hutan yang meramalkan, Macbeth akan menjadi Raja di Skotlandia menggantikan Duncan I. Guna memuluskan jalan dan mewujudkan ramalan itu, Macbeth harus melalui jalan dengan pedang yang berlumuran darah.

Ramalan Peri begitu menghantui dan menguasai pikiran Macbeth. Secara kebetulan, Raja Duncan berniat bermalam di Puri Macbeth yang adalah keponakan Raja sendiri.

Pucuk dicinta ulam tiba, Macbeth yang mendengar keinginan Raja menginap di rumahnya sebagai kesempatan dan petunjuk kesesuaian ramalan untuk mencapai tahta. Lady Macbeth, mengompori suaminya yang nampak ragu-ragu. Mereka berdua menyusun rencana untuk membunuh raja. Para pengawal di jamu dengan anggur memabukkan. Malam itu raja terbunuh. Malcolm sang pangeran lolos dari pembunuhan dan melarikan diri.

Wajah palsu harus menutupi jiwa yang palsu. Kehebohan terjadi di rumah Macbeth ketika para prajurit mendapati Raja junjungannya terbunuh. Macbeth dan istri bagai kura-kura dalam perahu, berpura-pura terkejut dan menjatuhkan tuduhan pada Pangeran Malcolm, calon pewaris tahta yang melarikan diri sebagai tertuduh pembunuhan ayahnya. Macbeth pun diangkat menjadi Raja.

Untuk melanggengkan kekuasaan, darah terus ditumpahkan. Bahkan sahabat sendiri, jika perlu harus dikorbankan. Banquo – sahabat Macbeth dan teman seperjuangan di keprajuritan yang juga diramalkan anak-anaknya akan menjadi raja menjadi sasaran pembunuhan berikutnya. Dia tak ingin anak-anak Banquo sahabatnya mengincar tahtanya.

Pembunuhan demi pembunuhan membuat Macbeth dihantui dan dikejar-kejar rasa bersalah. Jendral Macduff curiga dengan tingkah laku Macbeth. Diapun melaporkan hal ini ke Malcolm yang berada di pengasingan, Inggris.

Rasa takut yang menghantui membuat Macbeth kembali ke hutan dan menemui peri peramal. Macbeth akan tetap hidup dan menjadi raja sampai “hutan Great Birnam datang ke bukit Dunsinane (tempat istana Macbeth) dan Macbeth tidak akan dibunuh oleh seorang yang dilahirkan dari seorang wanita.” Kata peri peramal. Macbeth girang bukan kepalang dia beranggapan tidak mungkin hutan bisa berpindah dan tidak mungkin seorang lahir tidak dilahirkan dari seorang wanita.

Tapi Lady Macbeth tidak kuat menanggung beban “aku seperti melihat seluruh cermin penuh dengan gumpalan darah, tanganku penuh berlepotan dengan darah yang tidak bisa dicuci dan dibersihkan,” ratapnya. Karena tak kuat menanggung rasa bersalah yang berlebihan Lady Macbeth pun bunuh diri.

Di Inggris, Jendral Macduff dan Pangeran Malcolm merencanakan kudeta serta membunuh Macbeth. Guna menghindari pasukan Macbeth yang jago memanah, mereka menyamar dengan menebang pucuk-pucuk pohon hutan Great Birnam sebagai kamuflase dan datang menyerbu ke bukit Dunsinane dimana Macbeth tinggal di dalam istananya. Macduff berhasil berhadapan dengan Macbeth. Macbeth masih merasa tak akan ada yang bisa membunuhnya “tak seorang pun bisa membunuhku selain seorang yang tidak dilahirkan oleh seorang wanita.” Tapi Macduff menjawab “akulah orangnya, aku tidak dilahirkan oleh seorang wanita karena aku lahir ketika ibuku sudah meninggal dan perut ibuku dibedah untuk menyelamakan aku.” Dan ramalan peri pun menjadi kenyataan. Macbeth tewas di tangan Macduff.

Macbeth adalah sandiwara klasik karya William Shakespeare yang dimainkan oleh Road Teater. Lakon ini dimainkan dengan memakaikan topeng pada setiap pemainnya. Menurut sutradara Amien Kamil, Topeng bukanlah hal baru, ribuan tahun yang lalu teater di Yunani saat pertunjukan juga memakai topeng untuk memproyeksikan ekspresi serta vocal pemainnya. Tapi justru topeng inilah yang menjadi kelemahannya. Tidak semua pemain bisa beradaptasi dengan topeng yang dipakainya sehingga mengganggu kemampuan beberapa pemain mengucapkan dialog yang tidak jelas dan terdengar dari bangku penonton. Disamping tidak bisa melihat ekspresi para pemain, topeng yang dikenakannya pun tidak mewakili ekspresi para pemainnya. Kostum yang dikenakan juga terlalu sederhana. (J)

Senin, 21 Maret 2011

Teater Boneka “Mauvaise Graine”: Petualangan Empat Musim Si Bebek Kecil


Perancis adalah negara di Eropa yang sering mementaskan karya-karya seninya di Indonesia. Film-filmnya setahun sekali hadir dalam Festival Film Perancis dan seni kontemporer hadir dalam tajuk Printemps Francais.

Salah satu seni yang hadir di Indonesia adalah Teater Boneka dari Kelompok Compagnie à yang menampilkan “Mauvaise Graine” sebuah cerita yang terinspirasi dari The Ugly Duckling karya H. Christian Andersen. Memadukan humor dengan kekejaman dan menggabungkan atraksi badut dan teater obyek.

Di Panggung nampak sebuah rumah gubuk, menyerupai kandang dengan jendela kecil di sebelah kirinya. Pagi menjelang, terdengar hiruk pikuk, gaduh suara binatang-binatang dari kandang. Suara ayam, ditimpa suara kambing, sapi, kuda dan binatang-binatang lain. Dua orang muncul dari gubuk, seorang perempuan (Dorothèe Saysombat) dan seorang laki-laki (Scott Taylor, pemain sekaligus ilustrator musik akordion) membawa dua buah balon. Lalu meletakkan balon itu di sisi kanan gubuk. Dengan kapur lalu menulis di salah satu papan di gubuk itu “Musim Panas”. Dari musim ke musim itulah cerita petualangan bebek kecil dimulai.

Perempuan itu kembali keluar dari gubuk, dengan pakaian ala bebek, paruh besar di mulut, memakai sepatu seperti kaki bebek. Perut membuncit berjalan tertatih-tatih sambil memegang perutnya yang membesar, sedang hamil (loh kok bebek hamil sih), wanita itu berperan sebagai induk bebek. Menenteng enam anak-anak bebek berwarna putih nan cantik dan yang dikandungnya adalah anak bungsu.

Induk bebek itu mengejan beberapa kali dan keluarlah telur besar. Tak dibutuhkan waktu lama cangkang-cangkang telur meretas dan keluarlah bebek kecil yang berwarna dekil kecoklat-coklatan, tidak putih seperti saudara-saudaranya yang lain. Sang induk gelisah dan heran melihat keanehan pada anaknya yang berbeda dengan enam anaknya yang lain. Si anak itik buruk rupa oleh sang induk dimandikan dan disikat agar bersih dan menjadi putih. Tapi usahanya sia-sia.

Karena malu mempunyai anak yang buruk dan jelek, untuk menghilangkan jejak, si bebek buruk rupa oleh sang induk ditawarkan ke sana ke mari, dijual, tapi usaha sang induk sia-sia tak ada yang mau membeli. Putus asa si bebek buruk rupa pun dimasukkan ke tong sampah.

Adegan kemudian berganti ke musim gugur. Kali ini Dorothèe membawa satu kotak koper yang berisi bermacam-macam boneka, dia memainkan Puppet Show (Panggung Boneka). Di musim gugur, nampak seekor bebek berpetualang menaiki mobil ke beberapa negara, dengan kreatif Dorothee memainkan adegan naik mobil ini dengan pohon-pohon yang berseliweran. Kemana gerangan si bebek kecil itu berpetualang dari replika-replika kecil yang muncul kita dapat mengetahui si bebek sudah pergi ke patung Liberty di Amerika Serikat, ke menara Pisa Italia, ke Eiffel Perancis dan terakhir bertarung dengan Barongsai hingga pingsan di Cina. Adegan bertarung dengan barongsai sungguh lucu dan menggelitik urat tawa.

Musim Dingin, petualangan seekor bebek dan dua ekor burung yang akan menyeberang ke perbatasan, entah di perbatasan negara mana. Di panggung nampak pagar kawat berduri dengan lampu senter yang selalu menyorot ke sekeliling pagar tersebut. Dorothee berperan sebagai tentara yang berjaga di perbatasan. Dua ekor burung mengendap-endap diperbatasan hendak menyeberang. Bersembunyi, jika lampu menyorot ke pagar. Sang bebek mengawasi dari jauh-jauh, ketakutan. Ketika dirasa waktu tepat dua ekor burung bergegas menyeberang. Dor... dor... dua suara tembakan menghentikan upaya dua ekor burung tersebut. Baru sadar dua tembakan itu berasal dari balon yang dari awal di taruh di samping kanan gubuk. Sungguh kreatif dan menganggumkan. Apalagi permainan burung-burung itu hanya memakai dua buah pulpen yang digenggam. Imajinatif!

Cerita berakhir di musim Semi. Bebek kecil dekil yang dibuang ke tong sampah pada awal permainan kembali hadir. Dia nampak sedih dan putus harapan dibuang ke tempat sampah oleh sang induk. Ia nampak jalan tertunduk lesu sambil menendang-nendang koran-koran yang bertebaran di jalan, putus asa. Bebek dekil akhirnya mati merana di tumpukan koran. Suara akordion yang dimainkan Scott Taylor yang menyayat makin mengaduk-aduk emosi penonton.

Compagnie à didirikan pada bulan Desember 2003 oleh Dorothee Saysombat dan Nicolas Alline, memilih untuk fokus pada hubungan yang intens dan berharga dengan publik dengan menawarkan kreasi yang dirancang khusus untuk penonton dengan jumlah terbatas. Compagnie à hadir di Jakarta atas kerjasama dan prakarsa CCF (Centre Culturel Francais).

Pemerhati anak dan siapapun yang berkecimpung dalam dunia anak seharusnya menonton pertunjukan ini untuk mengasah kemampuan, ketrampilan dan imajinasi dalam memainkan panggung boneka. Setidaknya menambah khasanah dan menabung kreatifitas dari ahlinya. (J)

Senin, 14 Maret 2011

Sie Jin Kwie Kena Fitnah – Kepatuhan Yang Membawa Petaka


Menjadi orang patuh! Semua orang pasti menyukainya, tetapi jika kepatuhan tanpa diimbangi pertimbangan yang matang justru akan menjadi petaka.

Kepatuhan dan ketaatan kepada Raja junjungannya, Lisibin, hingga tanpa sadar Sie Jin Kwie dimanfaatkan oleh Bie Jin dan suaminya Litocong yang memiliki dendam kepada Jinkwie karena kematian saudara-saudaranya. Dibantu oleh pengurus rumah tangga mereka, Thiojin yang genit dan centil, mereka bertiga berusaha memerangkap dan memfitnahnya.

Adegan dimulai secara artistik dengan siluet seperti adegan pembuka pada wayang kulit. Beberapa gunungan berkelebat, cakramanggilingan berputar sebagai penanda berputarnya waktu. Sie Jin Kwie yang dulu hanya juru masak istana, kini sudah menjelma menjadi seorang Raja Muda berkat jasa-jasanya kepada kerajaan dengan mengalahkan jendral Kaesobun dalam perang Kolekok.

Panggung kemudian berganti ke Wayang Tavib, wayang Tavib adalah wayang yang tidak mengambil tokoh-tokoh dari Mahabarata ataupun Ramayana melainkan tokoh cerita kehidupan sehari-hari ditambah dengan bantuan multimedia, jadilah wayang dengan bayangan yang menakjubkan sekaligus berwarna. Kenapa disebut Tavib, karena yang menjadi dalang dan menciptakan wayang adalah Ki Tavib.

Dalang Tavib membawakan cerita dengan jenaka apalagi gamelan yang dipakai adalah gamelan mulut (jadi inget waktu kecil suka main wayang dengan gamelan dari mulut sendiri). Diceritakan Sie Jin Kwie disambut bak pahlawan setelah memenangkan perang Kolekok melawan Jendral Kaesobun. Sepulang dari perang, Jinkwie dilimpahi dengan banyak hadiah oleh Raja Lisibin, Kaisar Taizong dari Dinasti Tang dan diangkat menjadi Raja Muda. Lucunya sewaktu rancangan istana disodorkan kapada Jinkwie, yang muncul adalah rancangan gedung DPR yang baru dan rumah salah satu koruptor yang megah... (penonton pun tertawa lebar). Tentu saja Jinkwie menolak...

Sudah 12 tahun, Jinkwie (Rangga Riantiarno) meninggalkan istrinya Liukimhwa (Ratna Ully) dalam keadaan hamil di goa. Setelah tugas pengabdiannya kepada Raja selesai, kerinduan Jinkwie untuk menjenguk istrinya begitu menggebu. Dia pun pulang dan ingin membuat surprise, sekaligus menyamar dan menggoda serta menguji kesetiaan istrinya. Menjelang sampai di goa, Jinkwie melihat seorang anak laki-laki 12 tahunan yang sedang berburu memanah burung Belibis. Tanpa disadari seekor harimau siluman sedang mengancam jiwa anak tersebut. Panah Jinkwie berkelebat dan menancap di leher... harimau siluman lenyap ... anak laki-laki terjerembab dengan panah menancap di leher. Jinkwie kaget bukan kepalang, sebelum menyadari apa yang terjadi, seekor harimau hitam menyambar anak laki-laki itu dan membawanya terbang.
Jinkwie pun bertemu dengan sang istri yang ternyata masih setia menunggu kedatangannya. Dan alangkah kaget Jinkwie ketika mengetahui anak laki-laki yang terkena panah di leher adalah anaknya. Jinkwie memiliki dua anak kembar, laki-laki dan perempuan. (adegan pertemuan Jinkwie dan istrinya dilakukan dengan gerak-gerak wayang golek menak)

Kebahagiaan Jinkwie dan istrinya tidak berlangsung lama ketika surat perintah palsu – yang seolah-olah dari Kaisar - hasil rekayasa suami istri Thio Bie Jin (Sari Madjid) dan suaminya Litocong (Taufan S.) yang menghendaki Jinkwie ke Ibukota tanpa pengawal. Jinkwie yang polos, dan patuh kepada perintah kaisar dengan gampang percaya. Jinkwie masuk perangkap. Di perjamuan malam di rumah Litocong yang adalah paman raja, minuman Jinkwie dicampur ramuan racun oleh Thiojin (Salim Bungsu). Jinkwie pun terkapar tak sadarkan diri. Tidak mati hanya tertidur.

Mulailah suami istri ini merekayasa kasus (ga jaman dulu ga jaman sekarang selalu saja ada pembesar-pembesar yang sukanya merekayasa kasus). Kasus yang akan dituduhkan adalah Jinkwie dituduh memperkosa anaknya. Sayang anaknya tidak sepaham dengan orangtua, tuduhan memperkosa akan mempermalukan dirinya. Malang tak dapat ditolak anak Biejin dan Litocong justru mengambil jalan pintas, bunuh diri. Kematian anaknya membuat suami istri itu semakin dalam mendendam pada Jinkwie.
Rekayasa kasus yang dilakukan berhasil menjebloskan Jinkwie ke Penjara. Tuduhan yang dituduhkan memakai pasal berlapis, pemerkosaan dan pembunuhan. Oleh Kaisar, Jinkwie dijatuhi hukuman mati.

Sahabat-sahabat Jinkwie tak tinggal diam dan berusaha membela, namun sia-sia putusan sudah dijatuhkan. Bagaimana nasib Jinkwie selanjutnya? Mampukah sahabat-sahabatnya membebaskannya dari segala tuduhan?

Nasib Jinkwie, mengingatkan saya pada tokoh Yusuf dalam cerita Alkitab, Yusuf teraniaya oleh saudara-saudaranya sendiri, dimasukkan ke sumur, di jual, difitnah dan dituduh memperkosa majikan yang membuatnya di penjara. Tapi dari manusia yang teraniaya, Yusuf menjelma menjadi Raja Muda di Mesir.

Sie Jin Kwie kena fitnah, adalah produksi ke 122 sebagai hadiah ulang tahun Teater Koma yang ke-34. Teater Koma berdiri 1 Maret 1977.

Dibandingkan dengan Sie Jin Kwie (1) yang dipentaskan tahun 2010, pentas kali ini jauh lebih runtut dalam bercerita. Desain panggung dan busananya terlihat lebih wah dan memukau, ditambah pencahayaan yang memikat menambah keindahan panggung. Koreografi tari pun memberi warna dan nuansa yang berbeda. Sekalipun Anda duduk dan menonton selama 4 jam diselingi jeda 20 menit anda tak akan rugi, karena Teater Koma selalu memberikan seni pertunjukan yang lengkap, ada tari, nyanyi, humor semuanya diramu dalam satu tontonan yang mengagumkan. Ayo sana buruan nonton! (J)

Kamis, 10 Maret 2011

Ni Rangda – Cinta Yang Menjerumuskan


Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan, demikian bunyi peribahasa yang sering kita dengar. Peribahasa ini hendak menggambarkan betapa cinta kasih seorang ibu tidak terbatas dan akan menyertai anak disepanjang kehidupan anak tersebut. Memang tidak salah! Tapi bagaimana jika cinta kasih orangtua justru menjerumuskan anaknya?

Itulah yang dialami Ratna Manggali, gadis nan rupawan bak mawar yang tumbuh di antara ilalang. Ibunya Ni Rangda, memproteksi Ratna Manggali dari pergaulan masyarakat di sekitarnya, demi harga dirinya sebagai seorang Rangda (janda) tak dibiarkan satu orangpun meremehkan dan melecehkan gadis satu-satunya. “... hinalah derajat keturunanku. Aku Calon Arang akan membinasakan hingga akar derajat keturunanmu ...” ancamnya.

Akibatnya Ratna Manggali menjadi korban. Cinta kasih orangtuanya yang berlebihan dan disisi lain kejahatan yang dilakukan orang tuanya menyebabkan ia dijauhi dan terasing dari pergaulan masyarakat di sekitarnya. Bahkan untuk bertemu dan bertatap muka, orang lebih senang menghindar agar tidak celaka. Laki-laki tak ada yang berani mendekatinya. Betapa pilu hati Manggali menghadapi kenyataan seperti itu. Ia lebih senang berdiam diri di rumah menemani sang ibu dan murid-murid menyiapkan ruang pedupaan.

Calon Arang (Ni Rangda), Ibu Manggali disebut-sebut sebagai seorang perempuan jahat. Profesinya adalah tukang teluh hitam, pemilik mantra sakti, ia senang menganiaya sesama manusia. Membunuh menjadi kegemarannya. Tak seorangpun mampu menghentikannya.Siapa yang mengkritik bakal dihabisi, sekalipun itu murid sendiri. Murid-muridnya bagaikan bidak-bidak yang tiada berdaya setiap saat harus siap membunuh, menuruti perintah sang guru.

Ratna Manggali terbentur diantara dua ruang, namun tak berdaya dihadapan sang ibu yang jahat di mata masyarakat tetapi begitu melimpahi dirinya dengan cinta kasih. Cinta kasih ibunya membuat dia terjerumus menjadi gadis kuper, asosial dan tak ada cinta yang berani singgah dihatinya.

Pergumulan Manggali dan Ibunya ini dipotret dan dipentaskan secara apik dan artistik oleh kelompok Teater “Stage Corner Community,” kelompok teater yang menjadi jawara Festival Teater Jakarta tahun 2010. Ni Rangda adalah naskah drama yang diadaptasi dari ”Cerita Calon Arang” nya Pramoedya Ananta Toer. (J)