Senin, 24 Oktober 2011

Ombak adalah Temanku: Sebuah Catatan Perjalanan Panjang ke Karimunjawa, Jeparadise (2)

Penumpang sudah penuh, jam 8, kapal sudah diberangkatkan. Maklum kapal cepat KMP Kartini dari dermaga Tanjung Mas yang berangkat sehari sebelumnya gagal berangkat karena dihadang ombak yang besar. Jadi banyak penumpang yang mengalihkan perjalanan dengan KMP Muria. “Bangga Menyatukan Nusantara” demikian slogan yang tertulis di dinding Kapal.

Beruntunglah kami datang pagi, jadi bisa mendapatkan tempat duduk, kami duduk di dekat jendela. Tempat duduk yang kami duduki terbuat dari plastik. terasa panas jika harus berlama-lama duduk diatasnya.
Wisatawan yang tidak mendapatkan tempat duduk, naik ke dak di atas dengan menggelar koran atau tikar sebagai alasnya. Perjalanan selama 6 jam memang terasa menjenuhkan karena pemandangannya monoton air dan air. Banyak yang terlelap di tempat duduk masing-masing atau bahkan tidur beralaskan koran di lantai. Entah kenapa saya tidak bisa tidur selalu ingin menikmati pemandangan ditempat dimana saya belum pernah mengenal daerah tersebut. Ah... katro memang mata ini, susah diajak tidur. Ya sudah nikmati saja melihat arak-arakan ombak yang sedang berpawai di birunya lautan.

Di Kapal, kami berkenalan dengan anak-anak Bandung yang merayakan kelulusan sekolah dengan backpackeran. Masih remaja kelas 3 SMP, tapi sudah berani mengurus perjalanan panjang dari Bandung ke Karimunjawa. Salute deh buat mereka berenam (Dio, Dhiko, Ksatria, Derby, Karina dan Sheila).

Kapal oleng ke kiri dan ke kanan dihantam angin timur, sangat menakutkan karena sangat terasa goncangannya. KMP Muria terbagi menjadi tiga lantai: lantai bawah untuk kendaraan, lantai 2 untuk penumpang yang terbagi menjadi kelas ekonomi dan kelas bisnis AC. Ada kantin yang menjual makanan dan minuman ringan serta ada televisi yang memutar film-film laga asing menemani sepanjang perjalanan. Lantai paling atas adalah geladak (dak).

Ketika melihat pulau nun jauh di sana betapa gembira hati kami dan itu juga dirasakan oleh penumpang-penumpang lainnya. Rasa lelah dan jenuh tiba-tiba menghilang dan menguap dari raga kami. Ada sebuah pengharapan baru yang segera akan terwujud.

Setelah mengarungi ombak yang begitu besar selama 6 jam, KMP Muria bersandar di pelabuhan Karimunjawa. Perairan Karimunjawa sangat indah. Air nya bening bak kaca, berwarna biru dan hijau tosca ditimpa cahaya mentari.

Ketika mengaktifkan HP sebuah pesan masuk, “Setibanya di dermaga, kita kumpul di Tourist Information Center (20 meter dari pintu kapal). Kami beri sedikit penjelasan dan kesempatan untuk foto-foto sebelum menuju homestay.tks.” sms dari mas Bayu. Sesuai petunjuk sms, kami pun berkumpul di aula tourist information. Mas Bayu memiliki tinggi kurang lebih 160 an kelihatan pendek dan imut (he... maaf ya mas Bayu), dengan memakai kaos hitam lengan panjang, topi abu-abu, celana hijau ala tentara dengan kantong yang besar-besar di kiri kanan, dipinggangnya melilit tas hitam. Mas Bayu didampingi Mas Kamid yang berkacamata menjelaskan tentang rencana-rencana tour yang akan kita jalani selama di Karimunjawa melalui gambar yang tertempel di papan yang menggambarkan pulau-pulau dan gambar-gambar pantai, terumbu karang dan ikan-ikan yang berwarna-warni.

Rombongan yang tergabung sebanyak 18 orang (2 orang tertinggal karena kapal berangkat lebih pagi dari yang direncanakan), kami belum saling mengenal masih terlalu jaim dan sungkan untuk berkenalan. Ketika diminta berfoto di Gapura “Selamat Datang di Karimunjawa” pun hanya beberapa yang berpatisipasi. Sungguh pemandangan yang memilukan. Rombongan di jemput mobil menuju penginapan. Kami menginap di Liandry Homestay tak jauh dari alun-alun Karimunjawa.

Penginapan (homestay) ini kelihatan masih baru, cat nya berwarna oranye dengan lantai berkeramik putih. Di depan homestay sebelah kanan ada pohon jambu yang sedang berbunga dengan lingkaran kayu membentuk meja mengelilingi pohon. Disinilah tempat favorit kami ngobrol. Sebelah kiri ada payung besar dengan penyangga besi dan meja yang mengelilingi dengan tulisan merk sebuah minuman. Masing masing kamar dihuni oleh dua orang. Saya sekamar dengan Phael. Di kamar tersedia meja, kaca hias dan kipas angin. Listrik di Karimun hanya hidup mulai pukul 6 sore sampai 6 pagi, jadi malam hari sebaiknya anda sudah men charge batere hape dan kamera.

Hari pertama di Karimunjawa, kami isi dengan menikmati senja di Nirwana Resort. Masuk ke area tersebut dikenai tiket Rp. 12,500.- tempatnya nampak kurang terawat, di kanan kiri jalan ditumbuhi rumput yang sudah tinggi. Pantainya lumayan bagus dikelilingi pohon nyiur. Ada bangunan resort yang berdiri kokoh dengan lantai terbuat dari kayu. Sejauh mata memandang view hamparan laut yang berwana biru menyejukkan mata yang memandang. Dibawah area bangunan yang menjorok ke laut, ada batu-batu karang yang sangat indah jika dipakai menjadi latar belakang untuk berfoto. Sayang tak bisa melihat sunset dari area ini.

Malam hari, semua rombongan dibawa mas Bayu ke lapangan di alun-alun yang terletak tidak jauh dari penginapan. Dengan duduk melingkar beralaskan tikar. Kami saling berkenalan satu dengan yang lain. Satu per satu memperkenalkan diri: Raphael, Stanley, Andika, Leo, Adek, Enok, Bunga, Erny, Gianov, Dana, Yuli, Tanti, Yuki, Mia, Mey, Mas Koes, Rian dan saya sendiri. Hebat... mas bayu bisa langsung menghafal ke-18 tamu-tamunya. Mereka ada yang berasal dari Bandung, Jakarta dan Cilacap. Mas Bayu juga memperkenalkan pemandu yang akan menyertai selama tour berlangsung. Selesai memperkenalkan diri, kami bersantap malam dengan menu seafood yang mengundang selera. Karena energi kami sudah terkuras dalam perjalanan panjang, capek dan penat. kami menghabiskan malam dengan tidur di kamar masing-masing. Karena esok hari, kami harus bangun pagi untuk explore ke 4 pulau.

Hari Kedua, aktivitas dimulai dengan mandi. Ada dua kamar mandi di homestay. Kami silih berganti masuk ke kamar mandi. Yang sudah selesai mandi langsung mengambil sarapan yang sudah tersedia di meja makan. Tak lupa memakai sunblock sebagai pelindung dari sinar ultraviolet matahari. Kaca mata dan topi, serta minum multivitamin biar kondisi tetap bugar. Segala perlengkapan sudah siap. Saatnya untuk berangkat.

Sebelum naik ke perahu motor, kami berfoto di bawah pohon kenari yang menjulang tinggi, dengan batang-batangnya yang berwarna putih. Pohon ini nampak menonjol diantara pohon-pohon yang lain karena menjulang tinggi ke angkasa. Kami mulai akrab dan saling bercanda. Di dermaga kami diharuskan memakai pelampung sebagai sarana pengaman. Dua perahu telah tersedia. Yang cewek berkumpul satu perahu, demikian juga yang cowok satu perahu. Perjalanan ke barat pun di mulai. Dengan dorongan Angin timur, perahu melaju kencang membelah laut, ombak tidak terlalu besar menemani kami sepanjang perjalanan. Kira-kira 2 jam kemudian perahu melambat, abang nahkoda melemparkan sauh. Kami sampai di spot pertama, perairan Pulau Menjangan Kecil.

Perairan di Pulau Menjangan Kecil sangat jernih, berwarna hijau tosca yang menyejukkan mata. Pemandu kami mengeluarkan peralatan snorkeling: kacamata besar, sepatu fin, dan alat bantu pernafasan untuk menyelam. Jeburrrr... satu persatu kami terjun ke laut yang jernih itu. Terumbu karang di perairan pulau Menjangan Kecil kurang bagus Karena banyak yang sudah mati. Tetapi keramahan ikan-ikannya sungguh mengagumkan dan menyenangkan. Dengan berbekal roti, ikan-ikan bergaris garis hitam putih, berperut besar dan bermoncong kecil itu dengan senang hati akan mengerumuni telapak tangan anda. Wow... indahnya dunia. Mas Moel, yang ramah sibuk memotret tingkah laku kami melalui kamera bawah air, kami menjadi narsis di bawah air. Puas bercengkerama bersama dengan ikan- ikan kami melanjutkan ke spot berikutnya, Pulau Geleang,

Pulau Geleang, pulau yang sangat indah. Sangat eksotis susah diungkapkan dengan kata-kata, pasirnya putih lembut, sepanjang garis pantainya landai berwarna hijau bagai kolam renang besar yang mengelilingi pulau. Gradasi warna putih bening di pinggir, hijau muda, biru muda dan biru tua bagai lukisan para seniman ternama. Apalagi langit pun berwarna biru sebiru birunya tanpa dihalangi asap-asap kendaraan/pabrik. Awan putih tipis menambah cantik tampilan langit. Bermain-main air pun tak akan merasa bosan walau sang mentari tepat di atas kepala. Para gadis yang
berjemur di tepian pantai menambah bening mata memandang. Lambaian nyiur seakan menyapa wisatawan untuk berfoto bersama. Ah ternyata Tuhan meninggalkan secuil Nirwana di Karimunjawa. Aktivitas kami pun diisi dengan mandi dan berfoto tak habis-habisnya berganti gaya. Setelah lelah, istirahat sebentar untuk membakar ikan dan makan siang. Hmmm sedapnya... makan dengan ikan segar. Ditambah Minum air kelapa muda yang airnya terasa manis membasahi kerongkongan yang kering, menambah nikmatnya hidup.

Spot berikutnya adalah ke pulau cemara kecil, disebut pulau cemara kecil, karena daratan yang kecil dari pulau dipenuhi oleh pohon-pohon cemara. Daratannya berpasir putih dan perairannya berwarna hijau tosca mengelilingi pulau. Kami tidak turun ke pulau, hanya snorkeling di perairan sekitar pulau. Terumbu karangnya lumayan bagus, arus bawahnya agak kencang karena sering menyeret kami ke tempat yang agak jauh. Puas snorkeling, perjalanan dilanjutkan ke Pulau
Tanjung Gelam. Pulau ini masih banyak pepohonan yang tumbuh lebat. Pantainya dipenuhi oleh karang-karang yang sangat indah untuk menjadi latar belakang foto bersama. Explore Hari ke-dua di Karimunjawa selesai sore hari jam 5 an. Wajah-wajah ceria mengikuti langkah-langkah kami menuju penginapan.

Setelah mandi, tempat favorite kami berkumpul adalah di alun-alun. Karena banyak menjual berbagai makanan. Alun-alun ini selalu dipenuhi oleh wisatawan-wisatawan untuk ngobrol sambil lesehan menikmati makanan. Dari dermaga di dekat alun-alun, bisa menyaksikan matahari terbenam (sunset). Malam yang indah ditemani angin laut yang berdesir dan menikmati makanan yang hangat-hangat menambah romantisme malam. Malam hari, dua rekan yang tertinggal kapal, Amel dan suaminya Satya yang berasal dari Semarang sudah sampai dan bergabung di penginapan. Dua sejoli, pengantin baru yang sedang mesra-mesranya. Membuat iri semua peserta melihat kemesraannya. Nempel terus kayak perangko. (bersambung ke tulisan berikutnya/J)

Minggu, 23 Oktober 2011

Ombak adalah Temanku: Sebuah Catatan Perjalanan Panjang ke Karimunjawa, Jeparadise (1)

“Ombak adalah temanku” Kata ini mengiang-ngiang di telinga, karena diucapkan ketika kapal yang kami tumpangi sedang membelah laut di Karimunjawa. Kami benar-benar ketakutan! ombak yang begitu besar mengayun-ayun menghantam depan belakang, kiri kanan badan kapal, bagai hendak menelan dan menenggelamkan kapal kecil yang kami tumpangi. semua berteriak teriak terlebih teman-teman wanita.

Dalam ketakutan dan kepanikan seperti itu ada sebuah kata penghiburan dari mas Moel yang menjadi tour guide kami, yang sedari tadi malah senyum-senyum dan mentertawakan roman muka kami yang ketakutan, perawakannya kecil, wajah dan badannya menghitam terbakar matahari karena hampir tiap hari berjemur dengan panas untuk mengantar turis-turis lokal maupun mancanegara. “ombak adalah temanku,” Kata-kata ini menemui maknanya ketika kami terombang ambing di lautan lepas dan hendak “ditenggelamkan” oleh ganasnya alam yang memiliki kekuatan maha dahsyat, dan kita manusia bagai makluk kecil yang tiada berdaya. Bagi kami ombak adalah ancaman, tapi bagi nelayan dan tour guide seperti mas Moel ombak adalah halaman belakang dan teman bermain sehari-hari.

Bagai mantra, kata-kata Mas Moel ini saya terapkan. Saya mencoba untuk menjadikan ombak yang sedang ber ‘konspirasi’ dengan angin Timur sebagai ‘teman’ dan tidak menganggapnya sebagai lawan atau ancaman. Hasilnya mujarab, saya menjadi tenang dan menikmati perjalanan. Mulai mengamati datangnya ombak dari depan, dari samping kiri dan kanan dan mulai menyesuaikan ayunannya dan bahagia ketika cipratan air laut menyapa dan membaptis muka. Perjalanan menjadi menyenangkan karena ombak yang ganas itu sudah menjadi teman akrab bagai bermain-main ayunan kora-kora di dunia fantasi.

Kepulauan Karimunjawa Sebuah destinasi wisata yang mulai banyak dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri karena menjanjikan pemandangan bawah air dan pantai berpasir putih yang mengagumkan. Terletak di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, + 83 km dari kota Jepara menuju arah utara. Merupakan kepulauan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut Karimunjawa. Dengan pulau berjumlah 27 buah, namun yang berpenghuni hanya 5 buah. yaitu Karimunjawa, Kemujan, Parang, Nyamuk dan Genting.

Perjalanan dari Jakarta ke Jepara bisa ditempuh dengan bus Nusantara dari Grogol dengan ongkos 115.000 untuk bus eksekutif dan 175.000 untuk supereksekutif (tarif bus sewaktu saya pergi). Juga bisa menggunakan kereta api bisnis dengan ongkos 115.000 s/d 125.000 dan 220.000-250.000 dengan Kereta Argo. Karena mencoba backpackeran kami putuskan naik kereta bisnis. Dari Stasiun Senen, perjalanan panjang kami, dimulai.

Karimunjawa banyak orang yang belum mengenalnya, termasuk saya. Saya mengenal kepulauan ini melalui browsing di internet. Sebenarnya tidak untuk mencari nama kepulauan itu melainkan mencari kata “backpacker”. Diantara sekian kata yang muncul adalah facebook karimunjawa.backpacker. Dari situ saya melihat, keindahan dan keeksotisan kepulauan karimunjawa. Kontak dengan mas Bayu EO cekeran manajemen sekaligus pengelola facebook pun intens dilakukan baik via email facebook maupun via sms. Deal tanggal keberangkatan pun dibuat yakni tanggal 26-29 Juni 2011 setelah gagal berangkat di tanggal 14 – 17 Mei 2011.

Kereta Api Bisnis jurusan Jakarta (Senen) – Semarang (Tawang) pun kami pesan. Hari Sabtu, 25 Juni 2011, jam 19.30, kereta berangkat. Karena weekend kereta dipenuhi oleh penumpang, yang tidak kebagian tempat duduk memenuhi lorong-lorong kereta. Asyiknya naik kereta ekonomi atau bisnis adalah saat sampai dan berhenti di stasiun tertentu selalu diramaikan oleh penjual-penjual yang menjajakan air minum, rokok dan makanan. Aqua... aqua... rokok... rokok... jahe anget... jahe anget... bersahut-sahutan memenuhi ruangan kereta dengan suara khas masing-masing. Sungguh merdu didengar di tengah suasana malam yang semakin larut.

Kira-kira jam 03.30 kereta pun sampai di Stasiun Tawang Semarang, masih terlalu pagi. Tapi perjalanan harus terus berlanjut. Sesampai di pintu keluar, kami menawar taksi menuju ke dermaga Kartini, Jepara. Ongkos dari stasiun Tawang ke Jepara adalah tarif resmi jadi tidak memakai argo, dipatok seharga Rp. 260,000.- kami pun meluncur ke Jepara. Sepagi itu Semarang sudah menggeliat dengan hilir mudiknya pedagang dengan truk dan kendaraan-kendaraan bak terbuka menuju ke pusat-pusat ekonomi.

“Dear all, besok pagi saya sudah standby di dermaga Jepara dari jam 6 pagi di warung makan bu Bambang (x-banner Karimunjawa for Backpacker). Tiket bisa diambil di saya. Kapal berangkat jam 9. Makin pagi datang makin baik agar dapat tempat duduk di kapal. Pastikan sudah sarapan dan membawa bekal makan siang. Tks.” Pesan sms dari Mas Bayu saya terima. Kira-kira jam 06.00 taksi pun tiba di Dermaga Jepara.

Setelah membayar taksi, kami pun mencari petunjuk sesuai sms. Mas Bayu ditemani mas Kamid, menyambut dengan senyum yang mengembang. Setelah mendapat tiket, kami pun membeli sarapan di warung bu Bambang dengan nasi sayur dan telur dadar ditambah segelas teh manis panas membuat tubuh menjadi segar kembali. Banyak sekali rombongan yang datang silih berganti.Tiket kapal KMP Muria untuk kelas ekonomi Rp. 30,500,- dan Rp. 80,000,- per orang untuk bisnis AC dengan waktu tempuh 6 jam. Untuk mencapai Karimunjawa bisa di tempuh juga dengan kapal cepat KMP Kartini dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, tiket bisnis AC Rp. 130,000,- dan Rp. 150,000.- untuk tiket eksekutif dengan waktu tempuh 3 jam. Hanya anda harus memesan tiket jauh-jauh hari, karena tiket biasanya sudah dipesan oleh agen-agen perjalanan. (Bersambung ke tulisan kedua/J)

Kamis, 19 Mei 2011

“Matah Ati” Opera Van Java yang Sesungguhnya


Matah Ati, adalah seni pertunjukan Keraton Mangkunegaran Solo yang ‘menggegerkan’ panggung Esplanade di Singapore bulan Oktober 2010 yang lalu. Seni tradisi drama Jawa yang dialognya memakai tembang atau nyanyian yang disebut Langendriyan, diciptakan oleh Mangkoenagoro IV dari Puri Mangkunegaran, Surakarta. Matah Ati, hadir sebagai seni pertunjukan yang bercita rasa tinggi dan modern. Menggabungkan seni tradisi dan kontemporer tanpa kehilangan esensi tradisinya. Inilah Opera Van Java yang sesungguhnya.

Dengan memperhatikan aspek koreografi, detail warna dan desain kostum, detail aksesoris sebagai pelengkap kostum, detail musik gamelan dan panggung serta tata lampu dengan melibatkan ahli-ahli di bidangnya masing-masing, menjadikan pertunjukan ini megah dan spektakuler.

Alunan suara sinden yang bersimpuh mengantarkan tembang, menjadi pembuka pertunjukan. Dia duduk di sisi kanan panggung dengan dupa mengepul, membuat suasana menjadi magis dan tintrim. Sinden itu bercerita melalui tembangnya tentang seorang gadis cantik yang hidup di desa, Rubiah namanya. Gadis itu sedang berdialog dengan dirinya sendiri tentang mimpi dan angan-angannya untuk menjadi puteri ningrat.

Musik gamelan mengalun riang, anak laki-laki dan perempuan desa dimana Rubiah tinggal, riang gembira bernyanyi sambil menari. Suasana yang mengekpresikan bagaimana anak-anak di Jawa di masa lalu bermain dengan permainan sambil menyanyikan tembang dolanan antara lain: soyang-soyang, cublak-cublak suweng, jamuran yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan bagai paduan suara, indah di dengar di gendang telinga. Apalagi ditingkahi gerak-gerak rancak dan energik dari para penari, membuat kaki ikut bergoyang-goyang mengikuti suara gamelan.

Karena situasi politik dan kondisi kerajaan yang kurang kondusif, Raden Mas Said atau sering disebut Pangeran Samber Nyowo, menyingkir ke desa Matah. Di desa itu sang pangeran tertarik dengan salah satu gadis, Rubiah. Bukan hanya sang pangeran yang tertarik pada Rubiah, pemuda yang bernama Bagus, juga mengungkapkan isi hatinya, sayang hati Rubiah sudah tertambat di hati sang pangeran.

Sebagai seorang Pangeran, Raden Mas Said selalu melakukan tapa brata untuk meminta petunjuk pada Sang Dewata. Dalam semadinya, dia digoda oleh bidadari-bidadari cantik yang mengibas-ngibaskan selendang kain batik. Godaan itu tak menggoyahkan semadinya. Justru dalam semadinya Raden Mas Said ngrogoh sukma (sukma keluar dari badannya) dan bertemu dengan gadis desa itu, lalu menari dan terbang di angkasa. Adegan keduanya terbang di angkasa sungguh artistik dan menggetarkan. Dengan pakaian putih dan lampu temaram lalu padam dan menghilang dari pandangan meninggalkan bekas yang mendalam dihati penontonya.

Tiji Tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh (mati satu, mati semua; mulia satu, mulia semua) itulah sumpah dan tekad yang diucapkan oleh prajurit-prajurit yang dipimpin oleh Raden Mas Said untuk melawan Belanda yang sudah memecah kehidupan Keraton. Namun sayang, jumlah pasukan Belanda lebih banyak. Raden Mas Said mundur dari peperangan, untuk mengatur strategi. Adegan peperangan pun digarap secara spektakuler, dalam perang Raden Mas Said dibantu oleh para petani yang memakai caping coklat kekuningan, adegan ketika para petani melemparkan capingnya sungguh menakjubkan.

Guna menghibur masyarakat dan para prajurit di desa Matah diadakan pertunjukan wayang dengan lakon “Kamajaya-Kamaratih” kisah yang melambangkan cinta sejati. setting panggung kembali menghadirkan tontonan yang mengundang imajinasi, artistik banget. Lengkap dengan penonton yang tidur di sekitar panggung (ah.... jadi inget waktu kecil suka nonton wayang dan tertidur di sembarang tempat). Di antara orang yang tertidur itu adalah Rubiah yang tubuhnya bercahaya. Raden Mas Said menghampiri dan meninggalkan tanda ikat kepalanya di bagian tubuh yang bercahaya. Sebagai suatu perlambang bahwa Raden Mas Said menyampaikan ketertarikan terhadap si gadis.

Adegan kemudian berganti ke “Goro-goro” selingan pada pertunjukan wayang kulit atau wayang orang yang biasanya diisi oleh banyolan Punokawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong). Tetapi yang muncul bukan Punokawan, melainkan 3 orang simbok-simbok yang hendak pergi ke pasar, menggendong bakul di belakang sambil bersendau-gurau membicarakan masalah-masalah aktual di negeri ini. Humor-humornya segar dan menggelitik syaraf tawa. Lagi-lagi “Matah Ati” membalikkan pakem yang sudah ada bahwa tidak hanya laki-laki saja yang bisa mengeritik dan membanyol, perempuan juga bisa.

Disamping cantik, Rubiah ternyata seorang gadis yang pandai berolah kanuragan. Dia pandai memainkan berbagai macam senjata dan memanah. Tidak mengherankan dia lolos dalam tes olah kanuragan yang diadakan oleh Raden Mas Said. Rubiah pun di baiat menjadi kepala prajurit wanita dan diberi nama “Matah Ati” yang berarti gadis desa Matah yang melayani dan menyerahkan hati kepada sang pangeran.

Dalam perang selanjutnya, Raden Mas Said dibantu pasukan putri yang dipimpin Matah Ati memenangkan perang. Namun sayang banyak orang yang menjadi korban. Nyanyian/ tembang Raden Mas Said yang meratap dan menangisi rakyatnya yang menjadi korban peperangan sungguh menyayat hati, merasuk hingga ke dalam hati yang paling dalam.

Akhirnya diadakanlah pesta agung memeriahkan kemenangan dalam perang melawan Belanda, sekaligus pernikahan antara Raden Mas Said dan Matah Ati. Perkawinan antara Raden Mas Said dan Matah Ati menyajikan adegan di panggung dengan setting dan properti yang sangat megah.

Adegan pemuncak adalah ketika Raden Mas Said memadu kasih dengan Matah Ati sambil menembang “Dhuh Diajeng garwaku Matah Ati,” Matah Ati menjawab: “Dhuh Pangeran kula pasrah jiwa raga,” sambil Raden Mas Said melepaskan baju pengantinnya satu per satu. “Bakal tak bukteake katresnanku kang sejati,” ketika semua penonton menahan nafas apa yang bakal terjadi, tiba-tiba layar ditutup dan gemuruhlah tepuk tangan seluruh Teater Jakarta memberikan standing ovation.

Ah pantas saja, penonton di Esplanade Singapore sana memberi apresiasi yang tinggi pada pertunjukan ini, karena setiap adegan memberikan kejutan-kejutan yang indah dan menggetarkan jiwa. Tiket yang berjumlah dua ribu tempat duduk pun sudah habis sehari sebelum pertunjukan selama dua hari pertunjukan.

Atilah Soerjadjaya yang memiliki trah kerabat keraton Mangkunegoro sekaligus sang sutradara mengatakan bahwa dalam proses penggarapan Matah Ati, kesadaran pada detil visual menjadi sangat penting, detil musik dan dari aspek komposisi gamelan, bahkan detil pada setting panggung yang ditawarkan Jay Subiyakto dengan kemiringan 15 derajat, membuat seluruh penari bisa kelihatan dari sudut manapun dan di bagian tengah ada bagian yang bisa membuka dan menutup sebagai pintu keluar masuk para pemain. Eka Supendi salah satu dari koreografer menambahkan: “Matah Ati adalah sebuah karya yang sangat luar biasa, dengan proses yang sangat panjang melalui riset dalam membangun cerita ini,” bayangkan 2,5 tahun untuk riset sebelum pertunjukan.

Jalan yang ditempuh oleh Atilah pun patut diacungin jempol dengan mementaskan karya perdananya ini di panggung yang bergensi Esplanade Singapore. Sukses pentas di Singapore menjadi pijakan karya ini mendunia, bahkan beberapa negara sudah mengantri untuk mengundangnya. Dan menjadi promosi gratis ketika karya ini dipentaskan di Teater Jakarta, pada tanggal 13-16 Mei 2011, tiket terjual habis selama 4 hari pertunjukan.

Selamat buat seluruh tim Matah Ati, selamat berkeliling dunia mengenalkan budaya tradisi Indonesia. Ditunggu karya-karya berikutnya (J)

Senin, 11 April 2011

“Macbeth”: Suami Istri yang Melumuri Tangan dan Pedangnya dengan Darah

Mula-mula hanya sebuah ramalan. Ramalan tiga peri pesihir di hutan yang meramalkan, Macbeth akan menjadi Raja di Skotlandia menggantikan Duncan I. Guna memuluskan jalan dan mewujudkan ramalan itu, Macbeth harus melalui jalan dengan pedang yang berlumuran darah.

Ramalan Peri begitu menghantui dan menguasai pikiran Macbeth. Secara kebetulan, Raja Duncan berniat bermalam di Puri Macbeth yang adalah keponakan Raja sendiri.

Pucuk dicinta ulam tiba, Macbeth yang mendengar keinginan Raja menginap di rumahnya sebagai kesempatan dan petunjuk kesesuaian ramalan untuk mencapai tahta. Lady Macbeth, mengompori suaminya yang nampak ragu-ragu. Mereka berdua menyusun rencana untuk membunuh raja. Para pengawal di jamu dengan anggur memabukkan. Malam itu raja terbunuh. Malcolm sang pangeran lolos dari pembunuhan dan melarikan diri.

Wajah palsu harus menutupi jiwa yang palsu. Kehebohan terjadi di rumah Macbeth ketika para prajurit mendapati Raja junjungannya terbunuh. Macbeth dan istri bagai kura-kura dalam perahu, berpura-pura terkejut dan menjatuhkan tuduhan pada Pangeran Malcolm, calon pewaris tahta yang melarikan diri sebagai tertuduh pembunuhan ayahnya. Macbeth pun diangkat menjadi Raja.

Untuk melanggengkan kekuasaan, darah terus ditumpahkan. Bahkan sahabat sendiri, jika perlu harus dikorbankan. Banquo – sahabat Macbeth dan teman seperjuangan di keprajuritan yang juga diramalkan anak-anaknya akan menjadi raja menjadi sasaran pembunuhan berikutnya. Dia tak ingin anak-anak Banquo sahabatnya mengincar tahtanya.

Pembunuhan demi pembunuhan membuat Macbeth dihantui dan dikejar-kejar rasa bersalah. Jendral Macduff curiga dengan tingkah laku Macbeth. Diapun melaporkan hal ini ke Malcolm yang berada di pengasingan, Inggris.

Rasa takut yang menghantui membuat Macbeth kembali ke hutan dan menemui peri peramal. Macbeth akan tetap hidup dan menjadi raja sampai “hutan Great Birnam datang ke bukit Dunsinane (tempat istana Macbeth) dan Macbeth tidak akan dibunuh oleh seorang yang dilahirkan dari seorang wanita.” Kata peri peramal. Macbeth girang bukan kepalang dia beranggapan tidak mungkin hutan bisa berpindah dan tidak mungkin seorang lahir tidak dilahirkan dari seorang wanita.

Tapi Lady Macbeth tidak kuat menanggung beban “aku seperti melihat seluruh cermin penuh dengan gumpalan darah, tanganku penuh berlepotan dengan darah yang tidak bisa dicuci dan dibersihkan,” ratapnya. Karena tak kuat menanggung rasa bersalah yang berlebihan Lady Macbeth pun bunuh diri.

Di Inggris, Jendral Macduff dan Pangeran Malcolm merencanakan kudeta serta membunuh Macbeth. Guna menghindari pasukan Macbeth yang jago memanah, mereka menyamar dengan menebang pucuk-pucuk pohon hutan Great Birnam sebagai kamuflase dan datang menyerbu ke bukit Dunsinane dimana Macbeth tinggal di dalam istananya. Macduff berhasil berhadapan dengan Macbeth. Macbeth masih merasa tak akan ada yang bisa membunuhnya “tak seorang pun bisa membunuhku selain seorang yang tidak dilahirkan oleh seorang wanita.” Tapi Macduff menjawab “akulah orangnya, aku tidak dilahirkan oleh seorang wanita karena aku lahir ketika ibuku sudah meninggal dan perut ibuku dibedah untuk menyelamakan aku.” Dan ramalan peri pun menjadi kenyataan. Macbeth tewas di tangan Macduff.

Macbeth adalah sandiwara klasik karya William Shakespeare yang dimainkan oleh Road Teater. Lakon ini dimainkan dengan memakaikan topeng pada setiap pemainnya. Menurut sutradara Amien Kamil, Topeng bukanlah hal baru, ribuan tahun yang lalu teater di Yunani saat pertunjukan juga memakai topeng untuk memproyeksikan ekspresi serta vocal pemainnya. Tapi justru topeng inilah yang menjadi kelemahannya. Tidak semua pemain bisa beradaptasi dengan topeng yang dipakainya sehingga mengganggu kemampuan beberapa pemain mengucapkan dialog yang tidak jelas dan terdengar dari bangku penonton. Disamping tidak bisa melihat ekspresi para pemain, topeng yang dikenakannya pun tidak mewakili ekspresi para pemainnya. Kostum yang dikenakan juga terlalu sederhana. (J)