Rabu, 29 April 2009

Berjalan Di Atas Awan


Mencintai alam berarti mencintai ciptaan Tuhan. Mencintai alam berarti turut menjaga kelestarian alam dan segala isinya. Kami GSM Delima melakukan hiking ke daerah wisata alam Situgunung di daerah Sukabumi. Situgunung terletak 10 kilo-meter dari jalan Cisaat

Waktu itu hari Sabtu, setelah mengikuti dua session “Teaching Skill” yang dibawakan Ibu Yoke, kami GSM bersiap-siap dengan gaya masing-masing naik ke daerah wisata Situgunung. Kami naik angkot dan hanya membayar ongkos seribu rupiah tiap orang dari basecamp kami. Masuk ke areal di Situgunung dikenai tiket masuk enam ribu limaratus rupiah. Kami berjalan ber 12 terdiri dari 4 cowok 8 cewek Ketika masuk areal wisata kami berunding dan berdebat enaknya ke danau atau air terjun. Karena pemandangan di danau biasa saja dan tantangan berjalannya kurang menantang, maka kami memutuskan untuk berjalan ke air terjun saja. Kami sudah beberapakali melihat danau tapi banyak diantara kami belum melihat air terjunnya.

Di Situgunung ada dua tempat wisata yang bisa di kunjungi yakni Telaga Situgunung: sebuah telaga buatan seluas 10ha dengan panorama yang indah dikelilingi bukit dan tegakan pohon damar. Dan Air terjun Cimanaracun dan Curug Sawer salah satu keindahan alam yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Curug Cimanaracun hanya berjarak 200 meter dari Wisma Situgunung dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi kami tidak ke Curug Cimanaracun karena tidak tahu tempat dan lokasinya (tidak ada/melihat petunjuknya).

Masuk ke areal wisata anda akan disergap oleh sejuknya udara, apalagi jika gerimis turun menambah syahdu berada di hamparan pepohonan yang menghijau. Pohon-pohon Damar yang menjulang tinggi membuat kita yang ada di bawahnya serasa kecil. Gemericik air sungai yang mengalir di lembah membuat hati tenang, damai dan segar. Suara burung-burung yang hiruk pikuk meramaikan suasana. Ditambah suara-suara kumbang yang menggesek-gesekkan sayapnya menimbulkan sedikit suasana mistis. Kami berjalan melalui tanah yang becek oleh air hujan. Jalanan bekas dilewati mobil offroad yang berkubang air harus kami lalui. Tanah-tanah yang penuh humus membuat kaki kami penuh dihiasi warna-warna coklat kehitaman.

Perjalanan kami berjalan lambat, karena cewek-cewek yang biasa jalan-jalan di mal dengan segala fasilitasnya banyak mengeluh ketika harus melalui jalan-jalan yang becek. Jika sandal atau sepatu mereka tenggelam di tanah mereka berteriak. Kalau ada potongan tanah yang menyelip di kaki atau sandalnya mereka berteriak juga, dikira binatang atau pacet yang menempel. Perjalanan kami terbagi menjadi tiga kelompok. Rombongan depan terdiri dari saya, Fariana, Liel dan Maria. Rombongan tengah ada Eka, Sherry, Sherly, Lani, Oki, rombongan belakang yang berjalan merayap ada Rit, Ocha dan Maryam. Jika ada pos pemberhentian yang berterpal biru kami istirahat dan menunggu rombongan yang di belakang.


Perjalanan menuju ke air terjun Curug Sawer tidaklah mudah. Curug Sawer berada di balik bukit yang mengitari danau Situgunung. Jaraknya 1.500 -2000 meter dari wisma Situgunung (kata mas penjaga di loket). Air terjun setinggi 38 meter itu adalah air terjun alami yang sumber mata airnya dari kaki Gunung Masigit di kawasan Gunung Gedepangrango.


Jalan yang dilalui pun tidak mudah. Naik, turun, licin dan berbatu. Kami bagaikan Musafir yang sedang berjalan menuju suatu tempat yang indah yang belum pernah kami lihat dan sentuh. Perjalanan menuju Nirwana dimana untuk mencapainya kami harus bersusah payah dulu. Kadang untuk memberi semangat teman yang kelelahan, kita yang mendengar bunyi gemericik air di lembah, berteriak “ayo semangat… bunyi air terjunnya sudah dekat.” Tapi suara alam kadang menipu. Suara derasnya air yang mengalir tiba-tiba saja menghilang dari pendengaran. Teman-teman cewek sudah banyak yang mengeluh kecapean dan kakinya pegal, tidak kuat lagi. Wah, bahaya! jika belum sampai ke “Firdaus”, tidak kuat lagi. Kadang untuk mengalihkan capeknya kami memberi stimulasi dengan humor-humor yang segar dan mengomentari rombongan lain sambil menunggu di bawah pos-pos yang disediakan oleh pengelola. Ketika kami menunggu di pos, kami melihat Ocha yang tertatih-tatih turun ke lembah sambil membawa tongkat. Kami bagaikan bangsa Israel yang lelah menunggu turunnya Musa dari gunung Sinai. Maka begitu melihat Ocha datang tertatih-tatih dengan tongkatnya. Kami yang menunggu langsung berteriak “Lihat, nabi Musa baru turun dari gunung Sinai,” sambil tak lupa diiringi ketawa. Atau ketika melihat Ocha dan Maryam berjalan beriringan dengan lambatnya “tuh lihat, Maryam dan Yusuf berjalan tertatih-tatih menuju ke Betlehem.

Setelah berjalan menghadapi medan naik turun, kadang berada di tebing jurang yang curam. Rasa capek dan pegal kami langsung sirna begitu melihat lembah “Firdaus” melihat “Nirwana” di bawah. melihat air yang mengalir bening di sungai. “Oh Tuhan inikah tempat Adam dan Hawa Engkau tempatkan? Lalu dimanakah buah pengetahuan baik dan jahat itu?”. Ketika menengok ke sebelah kiri kami berteriak “Wow… indah sekali”. Air yang terjun bebas dari puncak gunung. Air terjun tersebut disebut Curug Sawer karena orang atau pengunjung yang mendekati air terjun itu akan terkena cipratan air, embun atau buih yang menyebar atau sawer (bahasa Sunda) diterpa angin. Ketika angin besar menukik ke arah curug, maka air pun menyemburkan buihnya kemana-mana. Hal ini menjadi daya tarik pengunjung.

Tebing-tebing yang menjulang bagai dinding kolesium Romawi. Dinding-dinding ini seakan bercerita sudah berapa umur tebing itu. Air yang terjun melimpah hendak berkata “Lihat Aku menyediakan air yang berlimpah untukmu, inilah air yang memberi kehidupan.” Dan kami langsung teringat lagu ‘alam raya menyaksikan kemuliaan-Nya, cakrawala meng-agungkan karya tangan-Nya.” Oh betapa kecil dan kerdilnya hamba-Mu ini di hadapan ciptaanMu yang lain. Air yang terbang dibawa angin membelai dan membasuh sejuk ke setiap relung kulit. Gemuruh gelontoran air yang jatuh membuat irama syahdu di seling gemericik air yang mengalir. Konon jika Anda mandi di air terjun ini, anda akan segera menikah dan awet muda. (Waduh tahu begitu kita semua mandi deh he...) Ingin sebenarnya kami berlama-lama di situ. Tapi senja sudah menyapa, kabut mengingatkan kami agar cepat pulang.

Kami pulang tidak mengambil jalan yang sama. Kami harus memutar mengambil jalan lain. Baru beranjak dari air terjun Situgunung, kami sudah dihadang tantangan lain. Kali ini kami harus melewati sungai dan melewati jembatan yang terbuat dari kayu gelondongan. Kayu di tata membentang dua di kanan kiri. Sampai di tengah ada sebidang tanah untuk berhenti. Setelah itu harus menyeberang lagi. Nyali cewek-cewek langsung ciut. “Siap atau tidak hadapilah jembatanmu,” kata yang laki-laki memberi semangat. Pertama saya dan Maria menyeberang. Seram juga, takut jatuh. Apalagi kayu bergoyang-goyang. Sampai di tengah Maria kehilangan nyali untuk menyeberang. Dia lebih senang turun ke batu di bawahnya lalu melanjutkan dengan berbasah-basah di air sungai. Liel ternyata memiliki teknik lain untuk menyeberang yakni dengan merangkak di kayu. Selamatlah dia sampai ke seberang. Karena cewek-cewek tidak juga punya nyali, maka kami menyarankan untuk menyeberang sungai yang tidak dalam. Karena airnya jernih bak kaca, sering menipu penglihatan kami. Dasar sungai yang kelihatan cetek ternyata ada yang dalam juga. Saya dan Oki bagai cerita legenda Yuyukangkang yang menyeberangkan para gadis untuk menyeberang. Cuma Yuyukangkang yang ini tidak mendapatkan hadiah ciuman he…

Semua sudah sampai di seberang sungai. Kami mendaki bukit dan sampai pada jalan yang datar. Kami melewati rumah-rumah penduduk yang berjualan makanan dan minuman. Rumah-rumah tersebut sangat sederhana, belum terjamah listrik dan sangat alami. Duh gimana mereka membawa barang-barang dagangannya ya?, dari kota masuk ke perbukitan tersebut. Pasti perlu perjuangan yang ekstra. Kami yang tidak membawa apa-apa saja pegal dan kecapekan. Apalagi diharuskan membawa barang.


Kami berjalan diiringi sendau gurau. Sesekali kami singgah untuk membeli minum sambil mengendurkan otot kaki yang sudah kaku. Melihat lembah dan hutan yang mulai di selimuti kabut. Kembang-kembang yang bermekaran di tepian jalan, Indah sekali. Melihat lembah di kanan di selimuti kabut putih, ke depan dihadang kabut putih. Kami tak henti-henti memuji nama Tuhan. Sungguh indah. Kami bagaikan berjalan-jalan di atas awan. Kami seolah para dewa yang sedang meninjau wilayah dengan mengendarai awan. Dalam kesunyian di atas bukit kami berjalan berendengan, kami merasa satu nasib satu penanggungan. Kami bagai keluarga besar yang sedang berjalan bersama saling memperhatikan. Di bentara hutan kami dipersatukan. Di atas awan kami memuji Nama Tuhan. (J)

Floating Market dan Chatuchak Weekend Market

Pagi-pagi mobil yang kami sewa sudah datang. Kami pun sudah siap berangkat. Mobil penjemput Ibu Titin juga sudah datang. Ibu Titin, Melinda dan Monica akan memisahkan diri dari rombongan karena akan ke pantai Pattaya. Sedangkan kami rombongan besar akan wisata ke Damnoen Saduak Floating Market (pasar terapung), kira-kira 2 jam perjalanan dari Bangkok.


Kami tiba di suatu desa yang banyak pohon kelapanya. Sebelum berangkat naik sampan bermotor, kami minum kelapa muda, duh segarnya. Kami menyewa dua perahu. Perahu melaju dengan cepat di kanal-kanal berair kotor. Kanal-kanal ini sebenarnya tidak terlalu lebar kira-kira 2 - 3 meteran dengan kedalaman yang sama. Sebentar-bentar sampan berhenti karena baling-baling tersangkut sampah plastik. Pertama ngeri juga ngebut di kanal-kanal yang sempit apalagi kalau ada tikungan wow seram! Takut menabrak batu di pinggir-pinggir. Di pinggir-pinggir kanal, banyak orang yang berjualan souvenir dari tas hingga kerajinan khas Thai. Pesan saya, sebaiknya tidak beli apa-apa di sini sebab harga yang dipatok dua kali lipat dari harga di pusat-pusat perbelanjaan. Sebaiknya kalau di sini beli saja buah-buahan yang segar-segar, harganya juga murah meriah. Sampan semakin berjalan jauh hingga mendekati finish. Nah menjelang akhir, perahu semakin banyak bahkan saling bersenggolan dan bertabrakan berebut jalan dengan perahu lain. Akhirnya kami sampai di pasar. Banyak sekali yang berjualan di sini. Floating Market ini di mulai dari jam 8 dan berakhir tengah hari. Jadi kalau ke sini sebaiknya pagi-pagi hari.

Dari Damnoen Saduak perjalanan di lanjutkan ke Chatuchak Weekend Market, yang hanya buka Sabtu-Minggu di Chatuchak Park, tak jauh dari Central Plaza Hotel. Di sini, tersedia segala macam barang yang ada di planet bumi. Sebelum melanjutkan ke sana, kami makan siang di tepi sungai yang banyak ikannya. Di sini kami bertemu dengan Bapak Supeno Rachman dan Tante Tuty yang mentraktir Durian. Lagi-lagi kami makan makanan Thai yang asam sekali dan membuat nafsu makan langsung drop. Udang yang besar-besar kembali tersaji, hanya sayang sambel and saosnya tidak enak (terbayang saos and sambel seafood di kemanggisan yang yummy punya). Untung ada B2 bakar yang membuat nafsu makan kami langsung bangkit kembali.

Chatuchak Weekend Market adalah pasar yang menjual aneka barang dari pakaian hingga karya-karya seni khas Thai, harganya murah-murah asal berani menawar saja. Mungkin seperti pasar Sukowati di Bali. Tak jauh dari pasar juga ada JJ mall (ini bukan mal milik saya loh he…) yang menjual barang dengan harga murah-murah. Sebaiknya kalau beli kaos, beli saja di mal tidak usah menawar dan harganya juga ga jauh beda.

Wisata belanja kami hari ini di akhiri di MBK (MahBoonKrong/ Mabunkrong) di Pathumwan (Rama I Rd), (katanya sih mal favorit tempat nongkrongnya orang Indonesia) dikelilingi oleh mal-mal lain antara lain Siam Center, Siam Discovery dan Siam Square yang kini terkenal sebagai pusat kreatif anak muda. Tak jauh dari sana, berdirilah mal terbesar Bangkok, SIAM PARAGON. Di MBK kami hanya membeli jajanan khas Thai untuk oleh-oleh.

Hari Minggu, 19 Agustus 2007, sopir kami yang orang Thai, mengajak kami ke gereja. Kami tidak mau, bukan karena tidak ingin berbakti tapi kendala bahasa dan tulisan Thai yang tidak kami pahami. Pagi itu kembali sopir kami memimpin doa dalam bahasa Thai. Entah apa yang di doakan kami tidak tahu yang kami tahu cuma amin nya saja he… (mungkin doanya, Ya Tuhan jangan biarkan anak-anak ini ke Patpong.) dan kami mengamini saja, sehingga malam harinya kami putar-putar dan tidak menemukan Patpong dimana. (Ssttt.. jangan bilang siapa-siapa ya, kalau kami mau ke Patpong he…).

Pagi hari kami ke Grand Palace, merupakan tempat Emerald Buddha, dan istana Raja. Terdiri dari berbagai macam bangunan yang sangat luas dengan arsitektur yang mengagumkan. Cuaca hari itu panas sekali sehingga saking panasnya, kami tidak bisa menikmati semua bangunan. Di dekat Grand Palace, terdapat kuil Wat Pho yang dibangun di tahun 1688 ini sebagai tempat Reclining Buddha. Patung berlapis emas ini panjangnya 46 meter dan setinggi 15 meter, sedangkan mata dan kakinya dilapisi oleh kerang mutiara. Setelah makan kami kembali ke tepi sungai Chao Phraya untuk menyeberang menuju Wat Arun (Temple of Dawn). Salah satu lambang kota Bangkok yang terkenal ini berada di tepi sungai Chao Phraya, dan memantulkan cahaya yang sangat indah karena dilapisi porselen. Saya, Rudy Pak Manalu dan Pak Nyoman naik hingga ke puncak yang tangganya terjal sekali dan melihat Bangkok dari atas sungguh mengasyikkan. Di sini kami bertemu dengan orang-orang Indonesia yang juga sedang berlibur.

Malamnya kami ke Suan Lung Night Bazar dan diakhiri ke Patpong. Entah pura-pura tidak tahu atau di sengaja, sopir kami tidak menemukan Patpong (tempat wisata malam di Bangkok yang terkenal dengan wanita-wanita erotisnya). Padahal Patpong ber -seberangan dengan Suan Lung Night Bazar. Patpong oh patpong he…

Akhirnya tour rame-rame kami berakhir. Dari Thai kami terbang ke Singapura, menyeberang ke Batam dan menginap semalam di Batam.

Selasa, 28 April 2009

Semalam di Singapore


Hari ini sebenarnya masih terlalu pagi untuk bangun. Tapi aku harus bangun karena aku tak ingin tertinggal. Kemana gerangan aku kan pergi, sehingga sepagi ini sudah bangun?! Bukankah temaram pagi masih pekat. Suara keramaian tetangga belum terdengar. Hari ini aku tak harus menunggu cahaya pagi, tak harus menunggu keramaian tetangga. Aku harus pergi selama beberapa hari. Tapi kemana? Aku tak kan memberitahumu, sebelum engkau membaca dan mengikuti perjalananku. Kopor hijau, tas ransel hitam sudah siap. Dan pagi itu aku harus menerobos kelam pagi. Taksi berwarna biru itu membawaku ke jalan Tanjung Duren. Di klinik 24 jam di Tanjung Duren aku menunggu. Portal masih tertutup. Kendaraan belum diijinkan masuk. Ku harus menunggu beberapa saat sebelum akhirnya taksi masuk dan membawa ke rumah teman-teman kami.
Embun mengiringi laju taksi menuju bandara Soekarno Hatta. Masih ngantuk, tapi jadi segar karena punya pengharapan bisa pergi ke Luar Negeri. Masuk Tol Grogol dan terus menuju ke Bandara.
Sesampai di Bandara langsung di sergap keramaian manusia yang hendak bepergian. Maklum hari itu adalah long weekend karena tanggal 17 Agustus hari ini, jatuh pada hari Jumat (libur nasional), otomatis banyak yang menyempatkan waktu untuk bepergian. Kami yang laki-laki mencoba mengantri untuk memasukkan tas di bagasi setelah semuanya beres, kami memasuki ruang tunggu di bandara.
Jam 8.40 pesawat pun berangkat menuju ke Hang Nadim, Batam. Tak lupa saya mencari tempat duduk dekat jendela karena saya suka memandangi ciptaan Tuhan berupa awan-awan putih yang bagaikan hamparan hutan di angkasa. Kira-kira sejam kemudian kami sudah mendarat di Hang Nadim, Batam. Di Hang Nadim kami bertemu dengan Ibu Titin dan Monica yang sudah sampai terlebih dahulu karena naik pesawat yang berbeda. Kami naik 4 taksi menuju ke Batam Centre.

Semalam di Singapore
Setelah mengurus imigrasi lumayan lama (karena mengurus untuk 17 orang) akhirnya kami berangkat juga menuju ke Singapura. Kenapa musti lewat Batam? karena bisa irit 500 ribu biaya fiskal. Dari Batam Centre kami naik kapal penyeberangan “Penguin” menuju ke Singapura. Perjalanan kami terasa menyenangkan karena duduk bersama teman-teman dengan melihat film dari DVD yang diputar.
Sebenarnya jarak Batam ke Singapura di tempuh hanya dalam waktu satu jam. Waktu di Singapura lebih cepat satu jam daripada waktu di Batam. Jadi misal berangkat jam 11.00 dari Batam maka sampai di Singapura jam 13.00 waktu Singapura. Feri laju berjalan dan sampailah kami di Harbourfront Center. Harbourfront Center adalah salah satu mal yang memang satu gedung dengan pelabuhan feri. Ketika keluar, kami disergap oleh antrian panjang imigrasi bak ular yang meliuk-liuk. Ah lega ketika lepas dari antrian dan pemeriksaan. Paspor sudah di cap. Maka keluarlah kami ke area mal karena sudah ada penjemput dari Singapura. Melinda yang terbang langsung dari Canada bergabung di mal ini.

Penjemput dari Singapura dengan mobilnya (pemilik apartemen yang kami sewa) membawa koper yang bertumpuk-tumpuk tersebut ke Cavenagh Garden. Perut sudah minta jatah makan, maka kami mencari makan di foodcourt di areal Harbourfront. Makanan di Singapura tidak terlalu jauh dengan makanan yang ada di Indonesia khususnya chinese food nya. Jadi kami lahap saja menyantap.
Di sebelah Harbourfront Center, sedang dibangun VivoCity, pusat entertainment dan belanja yang konon akan lebih megah lagi. Kami berfoto bersama dengan latar belakang Pulau Sentosa yang konon memperbesar daratan di Pulau Sentosa dengan membeli pasir dari Indonesia. Sesuai dengan kesepakatan dari Jakarta, kami dibagi dalam dua rombongan yang sudah pernah ke Singapura akan memisahkan diri katanya sih ke Kampung Bugis dll. Sedangkan saya dan rombongan menuju ke Explanade (gedung kesenian) yang berbentuk durian. Kami naik MRT. Singapura adalah kota yang bersih dan serba teratur. Semua transaksi pembelian karcis bisa diakses melalui box-box mirip ATM yang sudah tersedia dan di komputerisasi. Pertama-tama ribet euy tapi setelah tahu ya gampang saja dan malah mempercepat.
Tidak berapa lama kami sudah sampai di explaned. Kami berkeliling melewati lorong yang banyak lukisan anak-anak. Banyak pernak-pernik seni di sana-sini serta poster yang lumayan besar tentang pertunjukan drama atau opera yang sedang dimainkan di situ. Tak lupa bergaya di depan kamera secara bergantian. Tidak jauh dari situ kami berjalan, sampailah kami di Suntec City dimana ada lambang Singapura yang berbentuk singa memuntahkan air. Kami singgah pula di China town lalu terakhir menghabiskan malam di Orchard Road yang gemerlapan. Tak banyak yang bisa saya ceritakan karena waktu yang serba terburu-buru. Kaki pegal, badan penat karena hampir seharian jalan maka kami pun tidur pulas malamnya.

SENJA DI CHAO PHRAYA (2)


Cuaca Singapura pagi itu tidak bersahabat karena mendung dan ketika kami meninggalkan apartemen untuk naik MRT, di sambut dengan hujan deras sehingga kami harus berteduh beberapa saat. Jarak dari apartemen ke stasiun MRT ternyata lumayan jauh juga. Dan ketika MRT datang kami pun naik menuju ke bandara Changi untuk melanjutkan perjalanan ke Thailand. Bandara Changi adalah bandara yang besar dan komplet, bersih dan teratur. Kami menunggu lumayan lama juga di Bandara, sehingga dapat meluangkan waktu untuk melihat-lihat gerai-gerai di Bandara. Pesawat berangkat jam 10.55 namun antrian untuk terbang ternyata lama, dikarenakan padatnya lalu lintas udara. Ketika pesawat mengudara kami pun senang terbayang di depan mata Thailand yang hmm.... hmm....


Thailand adalah sebuah kerajaan. Menurut kamus Wikipedia Kerajaan Thailand (nama resmi: ราชอาณาจักรไทย Ratcha Anachak Thai; juga Prathēt Thai), kadangkala juga disebut Mueang Thai. Thailand dahulu dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949. Kata "Thai" (ไทย) berarti "kebebasan" dalam bahasa Thailand, namun juga dapat merujuk kepada suku Thai, sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di kalangan orang Thai terutama kaum minoritas Tionghoa.


Thailand adalah tempat yang sangat eksotis disamping terkenal dengan keramahan penduduknya juga tak kalah menarik adalah budaya, alam, surga belanja dan terkenal dengan hiburan malamnya. Pesawat mendarat di bandara Suvarnabhumi. Bandara ini dibuka dan diresmikan pada tanggal 28 September 2006.


Sungguh! bandara ini sangat besar melebihi bandara Changi Singapura. Arsitekturnya sangat artistik dan bernuansa budaya tradisional Thai.
Di Asia, bandara ini juga menjadi bandara tersibuk keempat di bawah Bandara Internasional Haneda, Bandara Internasional Beijing dan Bandara Internasional Hong Kong. Bandara ini terletak di Racha Thewa, di distrik Bang Phli, provinsi Samut Prakan, sekitar 25 kilometer sebelah timur Bangkok. Nama Suvarnabhumi dipilih oleh Raja Bhumibol Adulyadej yang artinya tanah emas. Bandara ini mempunyai menara kontrol dengan tinggi 132,2 meter, menjadikannya sebagai bandara dengan menara kontrol tertinggi di dunia. Luas terminal bandara (563.000 meter persegi) juga menjadikannya sebagai bandara yang mempunyai luas terminal tunggal ke dua di dunia di bawah Bandara Internasional Hong Kong. (Wikipedia)


Jam 12.30 an (waktu Jakarta sama dengan waktu di Bangkok) kami sampai di Bandara Suvarnabhumi dan setelah mengantri di imigrasi, kami pun makan di bandara. Keluar dari bandara kami menyewa taksi untuk menuju ke Bangkok. Kami menginap di KT Guest House di Suttisarn Road Din Daeng, Bangkok. Sungguh perjalanan yang melelahkan karena Bangkok tidak jauh beda dengan Jakarta macetnya ampun. Ketika sampai di penginapan langsung terbayang ranjang empuk yang akan segera membelaiku dan membawaku terbang ke alam tidur. Pembagian kamar, saya satu kamar dengan Pak Nyoman.


Hari Jumat, 17 Agustus 2007 adalah hari Kemerdekaan Indonesia. Hari ini di isi dengan acara tunggal yakni makan malam di atas Perahu menyusuri sungai Chao Phraya atau lebih kerennya Loy Nava Dinner Cruises. Jam 4 sore kami di jemput menuju tempat dinner cruises. Dan ketika sampai di tepi sungai Chao Phraya disambut oleh laki-laki yang berpakaian khas Thai bercelana kuning dan berbaju putih. Agak lama juga kami menunggu di tepi sungai karena jam setengah enaman perahu tradisional Loy Nava baru datang. Loy Nava adalah perahu milik seorang Portugal yang sudah puluhan tahun lebih tinggal dan menetap di Thailand.
Sebenarnya jika anda ingin suasana makan malam yang romantis anda dapat bersantai, santap malam Dinner Cruise di Chao Phraya Princess bagi yang suka kapal mewah atau Loy Nava bagi yang suka kapal antik tradisional, pasti berkesan! Dua-duanya romantis dan dilengkapi show (ups jangan berpikir ngeres dulu, show nya tarian tradisional Thai). Malam itu kami menjadi orang-orang kaya sejenak dan melupakan kepenatan di Jakarta. Menyusuri sungai Chao Phraya di senja hari, sungguh mengasyikkan. Kami menempati dua meja besar untuk 17 orang.
Setelah menjemput kami, Loy Nava menjemput rombongan turis barat yang banyaknya sebanding dengan rombongan kami. Kami menyusuri sungai dari Sathorn Bridge di Utara hingga Krung Thon Bridge di Selatan. Melewati kira-kira 33 item bangunan/ tempat wisata menarik di tepi sungai Chao Phraya. Kami juga melewati jembatan Rama III yang bagus dan keren mirip jembatan Ampera Di Palembang.


Ketika makanan pembuka datang semburat senja menghampiri. Para malaikat sedang melukis senja sehingga perjalanan kami semakin mengasyikkan. Beberapa hidangan yang kami cicipi antara lain Kai Ho Bai Toei (ayam bungkus daun), Thotman Plakrai atau Thotman Kung (ikan atau udang goreng ala Thai), berbagai jenis Yum (selada Thai), dan aneka jenis Tomyan (sup asam manis). Kue-kue mungil dan lezat ala Thai juga enak. Cuma ada beberapa makanan khas Thai yang tidak pas di lidah karena rasanya yang asam. Udangnya sih gede-gede banget hanya sayang sambel/saus nya kurang pas di lidah saya. Ga tahu kalau yang lain. Selama kami makan, kami juga disuguhi dua tarian khas Thai. Ketika sedang menari, turis dari Delima berebut berphoto bersama dengan penari dan menari bersama. Pak Manalu, Pak Nyoman, Mia dan Rudy (serasa menari tor-tor nih) sangat antusias mengikuti tarian. Malam semakin larut, pemandangan kerlap-kerlip lampu begitu mempesona, tak terasa sudah jam delapan malam. Kami harus mengakhiri petualangan di Chao Phraya dan kembali ke penginapan. Duh malam pertama yang meng-asyikkan dan penuh kesan.

Senja Di Chao Phraya


Aku termangu di dermaga
Bagai Rama yang menanti kembalinya Sinta
Jika kubendung sungai ini
dapatkah kutemukan alur
Yang menghubungkan titik-titik?
Ingin kuseberangi
Aku tak punya nyali
Ingin terbang
Tak punya sayap
“Sabarlah, kan kubawa dirimu
Tidak hanya menyeberang
Tapi menyusuri aliran sungai ini”
Suara yang membelai telinga
Mengusik lamunanku
Di seberang, kulihat bayangan
Masih samar
Tak berbentuk

“Loy Nava...... Loy Nava......
Dia datang bagai seekor naga,
Yang bermain di kecipak air.
Kepalanya anggun memanjang
Lemah gemulai menapaki air.
Alur sungai bergelombang,
Deras ke arah tepian.
Warna-warni khas etnik
Muncul menyapa
“Mari, naik dan duduklah di sini
Aku kan membawamu
Menikmati senja di Chao Phraya”

Langkah nan anggun,
Melenggok di kemilau air kaca.
Mendung tipis,
Mengiringi para malaikat,
Menuruni Chao Phraya.
Tangan para malaikat,
Melukis senja.
Senja tersenyum malu,
Cakrawala bersorak riuh
Sampan-sampan bersendau gurau
Bermain melemparkan air
Dara-dara berlenggang lenggok
Loy Nava terangguk-angguk
Pasrah dihempas riak-riak air
Semua seolah berlomba dan
Mengucap salam Sawasdee...... sawasdee.....

Batu Cinta di Situ Patenggang


Kami melanjutkan perjalanan ke Situ Patenggang. Dari Kawah Putih menuju ke Situ Patenggang berjarak 5 km saja. Ingat jangan tidur sepanjang jalan, mata anda akan dibasuh oleh lukisan alam ciptaan Tuhan yang menakjubkan. Kebon teh yang terpangkas rapi diseling dedaunan yang berwarna-warni, sunyi hanya suara angin yang berbisik, suara halimun yang membuai gemericik air.

Berada pada ketinggian sekitar 1600 m dari permukaan laut, Situ Patenggang memiliki panorama yang memikat. Hamparan hijau kebun teh laksana karpet alam, ditambah lagi dengan udara yang dingin dan bersih serta matahari yang hangat, memberi kesan damai dan ketenangan sendiri bagi pengunjungnya. Dari pinggir jalan menuju lokasi yang tenang, nampak sebuah danau berada dibalik perkebunan teh diantara sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi. Situ Patenggang tersenyum ramah menyapa kami.

Danau Patenggang atau lebih dikenal dengan nama Situ Patenggang oleh masyarakat setempat, menempati areal seluas 150 Ha. Dulunya kawasan ini merupakan kawasan cagar alam atau taman nasional, namun pada tahun 1981 telah resmi berubah menjadi sebuah taman wisata.
Untuk menikmati objek wisata ini terdapat fasilitas perahu yang bisa disewa untuk mengelilingi sebuah pulau kecil yang berada dibagian tengah danau yang bernama Pulau Sasuka. Pulau ini tampak rindang dengan banyaknya pohon-pohon tinggi yang tumbuh didalamnya. Menyewa perahu anda dikenai tarif 4 sampai 10 ribu rupiah, jika anda pandai menawar mungkin anda akan mendapatkan harga yang lebih murah. Perahu yang tersedia cukup banyak jumlahnya, dan dalam kondisi yang bagus atau terawat dan kelihatan masih baru. Warna perahu yang cerah cukup kontras atau menyolok sekali dengan lingkungan sekitarnya yang didominasi warna hijau. Fasilitas sarana transportasi air yang disewakan di tempat ini berupa penyewaan perahu dayung, perahu boat dan sepeda air dengan harga yang masih bisa dinegosiasikan dengan pemiliknya.

Terdapat pula fasilitas gazebo maupun tempat-tempat duduk tanpa atap yang terbuat dari semen untuk keperluan menikmati panorama sekitar dari tepi danau. Urusan makananpun bukanlah suatu hal yang sulit dikarenakan banyaknya warung penjual makanan yang berderet dekat dengan areal parkir.

Situ Patenggang berawal dari istilah Sunda yaitu Pateangan yang artinya saling mencari. Masyarakat di daerah sekitar bermitos bahwa dahulu kala putra prabu Siliwangi yang bernama Ki Santang jatuh cinta pada Dewi Rengganis, namun cinta keduanya terpisah sekian lamanya karena perang. Cinta yang mendalam membuat keduanya saling merindu, mereka saling mencari dan akhirnya mereka bertemu di sebuah tempat yang sekarang terkenal dengan nama Batu Cinta.

Dewi Rengganis kemudian minta dibuatkan danau dan sebuah perahu untuk berlayar bersama. Perahu tersebut kini dipercaya menjadi sebuah pulau yang berbentuk hati dan disebut sebagai Pulau Sasuka (Pulau Asmara). Konon kabarnya jika kita singgah ke Batu Cinta dan mengelilingi pulau asmara, kita akan mendapati cinta abadi seperti mereka. Jika candi Prambanan memiliki mitos “jangan membawa pasangan atau pacar ke prambanan, karena akan putus terkena kutukan cinta Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang.” Maka sebaiknya anda membawa pasangan anda untuk berperahu bersama mengelilingi pulau asmara dan singgahlah di batu cinta (suit..suitt… so romantic). Cepet-cepet ajak kekasih anda ke Situ Patenggang biar langgeng tuh hubungan cintanya …. Dan jangan lupa untuk jepret-jepret di batu cinta, lambang keabadian cinta. Duh ada-ada saja ya orangtua kita dulu mengarang cerita. (J)

Pesona Kawah Putih

Bandung memang menebarkan pesonanya sendiri. Di samping hawanya yang sejuk, banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi. Mungkin Anda sudah bosan berwisata belanja ke Distro, FO atau wisata kuliner di pusat-pusat kuliner kota Bandung. Cobalah sekali-kali menengok wisata alam yang menakjubkan di selatan kota Bandung yakni Kawah Putih dan Situ Patenggang.

Pesona Kawah Putih
Kawah Putih dan Situ Patenggang terletak dalam satu kawasan yakni di daerah Ciwidey. Jarak dari Kawah Putih ke Situ Patenggang hanya 5 kilo saja. Sepanjang perjalanan dari Kawah Putih sampai ke Situ Patenggang sebaiknya Anda tidak memicingkan mata sedikit pun nikmati perjalanan anda, karena mata anda akan disuguhi pemandangan indah yang menakjubkan dari perkebunan teh Malabar dan warna-warni dedaunan di pucuk-pucuk bukit yang mempesona. Alam akan membuai Anda, kabut di atas-atas dedaunan menambah sejuk sejauh mata memandang. Inilah nirwana yang hilang, nirwana yang tak kan Anda temui di kebisingan Jakarta.

Saya dan rombongan dari Jakarta menembus tol Cipularang saat matahari masih terlelap dalam tidur. Keluar dari Tol Kopo bus mengambil arah ke Soreang. Dari pintu tol Kopo ke Soreang berjarak sekitar 15 km terus ke selatan sampai deh di Ciwidey. Dari Soreang ke Ciwidey kurang lebih 11 km. Kami sempatkan untuk mampir ke perkebunan Strawberry karena kami ingin menikmati bagaimana memetik buah strawberry langsung dari kebunnya ehm manis sekali. Ciwidey memang di fokuskan sebagai daerah sentra penghasil Strawberry. Buah merah tersembul di kehijauan dedaunan. Jika tak mau memetik, di kios pun sudah tersedia dalam kemasan, jus dan berbagai makanan olahan dari bahan strawberry juga tersedia, anda tinggal menyiapkan uang saja.


Puas memetik buah strawberry kami menuju ke kawah putih. Jalur jalan yang sempit hanya cukup untuk satu kendaraan, berkelok-kelok membelah perbukitan, menyenangkan. Tak lama kami sampai di pintu gerbang kompleks wisata dan bus pun di parkir. Kami turun dan langsung menuju kendaraan-kendaraan jip terbuka yang akan membawa kami ke areal Kawah Putih. Dari Ciwidey ke Kawah Putih berjarak kurang lebih 10 km. dari pintu masuk hingga ke kawah putih jaraknya sekitar 5-6 km atau bisa ditempuh sekitar 20 menit dengan membayar ongkos 6 ribu per orang. Melalui jalan beraspal yang banyak berlubang, berkelok-kelok dengan pemandangan hutan tanaman Eucalyptus dan hutan alam dengan aneka ragam spesies hutan hujan tropis. Ingat bawalah sapu tangan untuk menutup hidung, karena debu akan beterbangan membelai muka dan hidung anda.


Kawah Putih terletak di ketinggian 2300 meter dari permukaan laut di gunung Patuha, Ciwidey, Bandung Selatan. menyimpan suatu misteri dimasa lampau. Masyarakat menganggap Gunung Patuha merupakan kawasan yang angker, mereka menganggap puncak Gunung Patuha dahulu merupakan tempat pertemuan para leluhur Bandung Selatan. Saat seorang pengembara Belanda bernama Junghun datang di abad 19, penduduk sekitar menyebutnya sebagai tempat dimana arwah para leluhur bersemayam, yang tidak seorang pun berada disana tanpa meregang nyawa, burung pun enggan terbang diatasnya. Jalmo teko jalmo mati (Makluk hidup yang datang akan mengantarkan kematian). Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah. Karena Kawah Putih mengandung fumarol belerang yang sangat pekat, jika dihirup bisa menyebabkan sesak nafas dan mati.

Tetapi, misteri yang sudah menjadi turun–temurun itu mulai punah setelah terungkap oleh seorang ilmuwan Belanda peranakan Jerman, Dr. Franz Wilhelm Junghun, yang juga seorang pengusaha perkebunan Belanda yang mencintai kelestarian alam pada tahun 1837. Kondisi lembah Gunung Patuha pada waktu itu masih berupa hutan lebat, dipenuhi pohon-pohon kayu jenis lokal, seperti rasamala, saninten, huru, samida, dan lain sebagainya.
Karena rasa penasaran dan ketidakpercayaan nya, Junghun terus menembus lebatnya hutan Gunung Patuha. Dan akhirnya dia menemukan suatu danau kawah yang terlihat sangat eksotik, dan sangat indah. Meski sudah ditemukan pada 1837, tapi kawasan ini baru menjadi objek wisata pada 1987 setelah dikembangkan oleh PT Perhutani (Persero) Unit III Jabar dan Banten.
Setelah memasuki area kawah putih, bukan rasa takut yang akan anda alami, tetapi anda pasti akan terpaku dan terpana begitu melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana menakjubkannya genangan air yang berwarna putih ber selingan dengan warna hijau muda disertai asap yang mengepul diatasnya. Perpaduan warna yang mempesona. Tanah putih dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi warna hitam kecoklatan, dibungkus warna hijau tua dadaunan, disapu warna biru terang cakrawala, air tenang memancarkan hijau muda yang menyejukkan, sungguh lukisan alam yang tiada taranya. Tidak diperlukan cat dan kanvas untuk melukisnya, alam memuliakan Tuhan dengan caranya sendiri.

Yang kurang menyenangkan di kawasan ini adalah bau belerang yang bagi sebagian orang bisa menyebabkan batuk–batuk karena mencium baunya, bahkan tidak jauh dari kawasan wisata kawah putih terdapat goa buatan sedalam 5 meter yang katanya dulu pernah dijadikan sebagai tambang belerang. Bila anda melewati goa tersebut anda pasti akan mencium bau belerang yang sangat menyengat. Karena kandungan belerang yang sangat tinggi itulah, pada jaman dulu sempat dibangun pabrik belerang dengan nama Zwavel Ontgining Kawah Putih. Sempat membayangkan kalau-kalau ada ular naga di dalamnya dan mencaplok saya di depan goa, upsh dan menyeret ke dalam.

Keluar dari Kawah Putih, kembali anda akan disergap oleh penjual-penjual souvenir dan lagi-lagi penjual strawberry bertebaran. Perut ini rasanya penuh dengan strawberry. Mulut dan lidah bagai bergincu warna merah hasil polesan strawberry ehm nyam…nyam…
o iya satu tips bagi anda, kalau anda naik jip, anda harus ingat jip yang mengantar anda karena ketika pulang anda harus naik jip yang sama. Karena berlaku tarif pulang pergi.