Rabu, 29 April 2009

Berjalan Di Atas Awan


Mencintai alam berarti mencintai ciptaan Tuhan. Mencintai alam berarti turut menjaga kelestarian alam dan segala isinya. Kami GSM Delima melakukan hiking ke daerah wisata alam Situgunung di daerah Sukabumi. Situgunung terletak 10 kilo-meter dari jalan Cisaat

Waktu itu hari Sabtu, setelah mengikuti dua session “Teaching Skill” yang dibawakan Ibu Yoke, kami GSM bersiap-siap dengan gaya masing-masing naik ke daerah wisata Situgunung. Kami naik angkot dan hanya membayar ongkos seribu rupiah tiap orang dari basecamp kami. Masuk ke areal di Situgunung dikenai tiket masuk enam ribu limaratus rupiah. Kami berjalan ber 12 terdiri dari 4 cowok 8 cewek Ketika masuk areal wisata kami berunding dan berdebat enaknya ke danau atau air terjun. Karena pemandangan di danau biasa saja dan tantangan berjalannya kurang menantang, maka kami memutuskan untuk berjalan ke air terjun saja. Kami sudah beberapakali melihat danau tapi banyak diantara kami belum melihat air terjunnya.

Di Situgunung ada dua tempat wisata yang bisa di kunjungi yakni Telaga Situgunung: sebuah telaga buatan seluas 10ha dengan panorama yang indah dikelilingi bukit dan tegakan pohon damar. Dan Air terjun Cimanaracun dan Curug Sawer salah satu keindahan alam yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Curug Cimanaracun hanya berjarak 200 meter dari Wisma Situgunung dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi kami tidak ke Curug Cimanaracun karena tidak tahu tempat dan lokasinya (tidak ada/melihat petunjuknya).

Masuk ke areal wisata anda akan disergap oleh sejuknya udara, apalagi jika gerimis turun menambah syahdu berada di hamparan pepohonan yang menghijau. Pohon-pohon Damar yang menjulang tinggi membuat kita yang ada di bawahnya serasa kecil. Gemericik air sungai yang mengalir di lembah membuat hati tenang, damai dan segar. Suara burung-burung yang hiruk pikuk meramaikan suasana. Ditambah suara-suara kumbang yang menggesek-gesekkan sayapnya menimbulkan sedikit suasana mistis. Kami berjalan melalui tanah yang becek oleh air hujan. Jalanan bekas dilewati mobil offroad yang berkubang air harus kami lalui. Tanah-tanah yang penuh humus membuat kaki kami penuh dihiasi warna-warna coklat kehitaman.

Perjalanan kami berjalan lambat, karena cewek-cewek yang biasa jalan-jalan di mal dengan segala fasilitasnya banyak mengeluh ketika harus melalui jalan-jalan yang becek. Jika sandal atau sepatu mereka tenggelam di tanah mereka berteriak. Kalau ada potongan tanah yang menyelip di kaki atau sandalnya mereka berteriak juga, dikira binatang atau pacet yang menempel. Perjalanan kami terbagi menjadi tiga kelompok. Rombongan depan terdiri dari saya, Fariana, Liel dan Maria. Rombongan tengah ada Eka, Sherry, Sherly, Lani, Oki, rombongan belakang yang berjalan merayap ada Rit, Ocha dan Maryam. Jika ada pos pemberhentian yang berterpal biru kami istirahat dan menunggu rombongan yang di belakang.


Perjalanan menuju ke air terjun Curug Sawer tidaklah mudah. Curug Sawer berada di balik bukit yang mengitari danau Situgunung. Jaraknya 1.500 -2000 meter dari wisma Situgunung (kata mas penjaga di loket). Air terjun setinggi 38 meter itu adalah air terjun alami yang sumber mata airnya dari kaki Gunung Masigit di kawasan Gunung Gedepangrango.


Jalan yang dilalui pun tidak mudah. Naik, turun, licin dan berbatu. Kami bagaikan Musafir yang sedang berjalan menuju suatu tempat yang indah yang belum pernah kami lihat dan sentuh. Perjalanan menuju Nirwana dimana untuk mencapainya kami harus bersusah payah dulu. Kadang untuk memberi semangat teman yang kelelahan, kita yang mendengar bunyi gemericik air di lembah, berteriak “ayo semangat… bunyi air terjunnya sudah dekat.” Tapi suara alam kadang menipu. Suara derasnya air yang mengalir tiba-tiba saja menghilang dari pendengaran. Teman-teman cewek sudah banyak yang mengeluh kecapean dan kakinya pegal, tidak kuat lagi. Wah, bahaya! jika belum sampai ke “Firdaus”, tidak kuat lagi. Kadang untuk mengalihkan capeknya kami memberi stimulasi dengan humor-humor yang segar dan mengomentari rombongan lain sambil menunggu di bawah pos-pos yang disediakan oleh pengelola. Ketika kami menunggu di pos, kami melihat Ocha yang tertatih-tatih turun ke lembah sambil membawa tongkat. Kami bagaikan bangsa Israel yang lelah menunggu turunnya Musa dari gunung Sinai. Maka begitu melihat Ocha datang tertatih-tatih dengan tongkatnya. Kami yang menunggu langsung berteriak “Lihat, nabi Musa baru turun dari gunung Sinai,” sambil tak lupa diiringi ketawa. Atau ketika melihat Ocha dan Maryam berjalan beriringan dengan lambatnya “tuh lihat, Maryam dan Yusuf berjalan tertatih-tatih menuju ke Betlehem.

Setelah berjalan menghadapi medan naik turun, kadang berada di tebing jurang yang curam. Rasa capek dan pegal kami langsung sirna begitu melihat lembah “Firdaus” melihat “Nirwana” di bawah. melihat air yang mengalir bening di sungai. “Oh Tuhan inikah tempat Adam dan Hawa Engkau tempatkan? Lalu dimanakah buah pengetahuan baik dan jahat itu?”. Ketika menengok ke sebelah kiri kami berteriak “Wow… indah sekali”. Air yang terjun bebas dari puncak gunung. Air terjun tersebut disebut Curug Sawer karena orang atau pengunjung yang mendekati air terjun itu akan terkena cipratan air, embun atau buih yang menyebar atau sawer (bahasa Sunda) diterpa angin. Ketika angin besar menukik ke arah curug, maka air pun menyemburkan buihnya kemana-mana. Hal ini menjadi daya tarik pengunjung.

Tebing-tebing yang menjulang bagai dinding kolesium Romawi. Dinding-dinding ini seakan bercerita sudah berapa umur tebing itu. Air yang terjun melimpah hendak berkata “Lihat Aku menyediakan air yang berlimpah untukmu, inilah air yang memberi kehidupan.” Dan kami langsung teringat lagu ‘alam raya menyaksikan kemuliaan-Nya, cakrawala meng-agungkan karya tangan-Nya.” Oh betapa kecil dan kerdilnya hamba-Mu ini di hadapan ciptaanMu yang lain. Air yang terbang dibawa angin membelai dan membasuh sejuk ke setiap relung kulit. Gemuruh gelontoran air yang jatuh membuat irama syahdu di seling gemericik air yang mengalir. Konon jika Anda mandi di air terjun ini, anda akan segera menikah dan awet muda. (Waduh tahu begitu kita semua mandi deh he...) Ingin sebenarnya kami berlama-lama di situ. Tapi senja sudah menyapa, kabut mengingatkan kami agar cepat pulang.

Kami pulang tidak mengambil jalan yang sama. Kami harus memutar mengambil jalan lain. Baru beranjak dari air terjun Situgunung, kami sudah dihadang tantangan lain. Kali ini kami harus melewati sungai dan melewati jembatan yang terbuat dari kayu gelondongan. Kayu di tata membentang dua di kanan kiri. Sampai di tengah ada sebidang tanah untuk berhenti. Setelah itu harus menyeberang lagi. Nyali cewek-cewek langsung ciut. “Siap atau tidak hadapilah jembatanmu,” kata yang laki-laki memberi semangat. Pertama saya dan Maria menyeberang. Seram juga, takut jatuh. Apalagi kayu bergoyang-goyang. Sampai di tengah Maria kehilangan nyali untuk menyeberang. Dia lebih senang turun ke batu di bawahnya lalu melanjutkan dengan berbasah-basah di air sungai. Liel ternyata memiliki teknik lain untuk menyeberang yakni dengan merangkak di kayu. Selamatlah dia sampai ke seberang. Karena cewek-cewek tidak juga punya nyali, maka kami menyarankan untuk menyeberang sungai yang tidak dalam. Karena airnya jernih bak kaca, sering menipu penglihatan kami. Dasar sungai yang kelihatan cetek ternyata ada yang dalam juga. Saya dan Oki bagai cerita legenda Yuyukangkang yang menyeberangkan para gadis untuk menyeberang. Cuma Yuyukangkang yang ini tidak mendapatkan hadiah ciuman he…

Semua sudah sampai di seberang sungai. Kami mendaki bukit dan sampai pada jalan yang datar. Kami melewati rumah-rumah penduduk yang berjualan makanan dan minuman. Rumah-rumah tersebut sangat sederhana, belum terjamah listrik dan sangat alami. Duh gimana mereka membawa barang-barang dagangannya ya?, dari kota masuk ke perbukitan tersebut. Pasti perlu perjuangan yang ekstra. Kami yang tidak membawa apa-apa saja pegal dan kecapekan. Apalagi diharuskan membawa barang.


Kami berjalan diiringi sendau gurau. Sesekali kami singgah untuk membeli minum sambil mengendurkan otot kaki yang sudah kaku. Melihat lembah dan hutan yang mulai di selimuti kabut. Kembang-kembang yang bermekaran di tepian jalan, Indah sekali. Melihat lembah di kanan di selimuti kabut putih, ke depan dihadang kabut putih. Kami tak henti-henti memuji nama Tuhan. Sungguh indah. Kami bagaikan berjalan-jalan di atas awan. Kami seolah para dewa yang sedang meninjau wilayah dengan mengendarai awan. Dalam kesunyian di atas bukit kami berjalan berendengan, kami merasa satu nasib satu penanggungan. Kami bagai keluarga besar yang sedang berjalan bersama saling memperhatikan. Di bentara hutan kami dipersatukan. Di atas awan kami memuji Nama Tuhan. (J)

1 komentar:

  1. Makasih ya Lik kiriman Sitosnya, dah aku terima Selasa, 05 Mei

    BalasHapus