Senin, 25 Mei 2009

Silence, Jika Tuhan Diam Dalam Keheningan

Jepang terkenal dengan Manga (Komik) dan anime (Kartun). Pembaca dan penikmat animasi Jepang di Indonesia tentu tak asing dengan tokoh-tokoh Doraemon, Saint Seiya, Sailor Moon dan lain-lain. Tapi jika ditanya novel atau buku karya penulis Jepang yang bertema selain manga, mereka pasti bungkam. Jarang sekali novel atau buku sastra Jepang yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kecuali komik-komik berserinya yang bejibun (atau sayanya yang katro ya he…)

Buku karya Shusaku Endo “Silence” (Jepang: Chinmoku), menjadi satu-satunya novel karya penulis Jepang yang saya punya. Apalagi Novel ini berbicara dan berlatar belakang tentang masa-masa penyiksaan komunitas kristen/katolik di Jepang. Anda pasti juga baru tahu kan, kalau di Jepang, memiliki masa kelam penyiksaan umat Kristen dengan kadar penyiksaannya tidak kalah dengan Kaisar Nero di Roma. Silence adalah novel ke-8 Endo dan merupakan novel yang paling terkenal dari 15 novel yang telah ditulisnya.

Silence atau kalau diterjemahkan Hening, berlatar belakang Jepang abad ke 17, periode Edo, ketika para samurai menguasai perpolitikan Jepang. Periode penuh pergolakan dalam sejarah Jepang yang dikenal sebagai “abad Kristen”. Setelah berkembang secara pesat, pemerintah tiba-tiba melarang segala hal yang berbau Kristen di Jepang. Pergumulan berat umat Kristen/Katolik yang harus bergumul mempertahankan iman, tetap setia dan taat kepada Tuhan atau menjadi pecundang di tengah siksaan-siksaan kejam yang menderanya.

Jenis penyiksaan yang dilakukan penguasa Jepang terhadap penganut Kristen adalah dengan di bakar, disaksikan yang lain sambil melambaikan tangan mereka berteriak sayonara dan menaikkan pujian dan doa doa kepada Tuhan. Mereka bangga mati sebagai martir. Penguasa Jepang menyadari kematian sebagai martir adalah kematian yang mulia, pembunuhan itu tidak mencapai sasarannya maka dimulailah penyiksaan dahsyat untuk membuat para orang Kristen mengingkari keyakinannya. Jenis penyiksaan lain adalah dengan mengikat tubuh korban erat-erat sampai setinggi dada (satu tangan dibiarkan bebas untuk memberi tanda mengakui kesalahan), kemudian digantung dengan kepala ke bawah dari tiang, ke dalam lubang biasanya diisi kotoran yang berbau busuk, mereka di gantung di bibir lubang sejajar dengan lutut. Bagian kening diiris sedikit dengan pisau supaya darah tetap mengalir dari lukanya. Mereka akan mati secara perlahan dan jika tidak kuat akan mengingkari imannya.

Sebastian Rodrigues, adalah seorang Pastor Portugis yang dikirim ke Jepang untuk membantu Gereja setempat dan mencari tahu keadaan mantan gurunya, Ferreira yang dikabarkan telah murtad karena tidak tahan menanggung siksaan.

Pada saat itu, penduduk Jepang hidup dalam kemiskinan karena penguasa membebani rakyat dengan pengenaan pajak yang tinggi dan penindasan-penindasan jika tidak membayar pajak. Kekristenan dilarang sehingga para penduduk menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Kristen.

Dalam keadaan seperti itulah Rodrigues menyeberang bersama missionaris lain yang bernama Garrpe dari Macao menuju Jepang. Ikut dalam rombongan kapal tersebut Kichijiro yang dijadikan sebagai pemandu bagi kedua pastor tersebut. Kichijoro adalah penganut Kristen yang lemah, dia digambarkan tipikal orang yang mudah jatuh dan mudah menyerah. Dan selalu menyalahkan kondisinya yang lemah.

Mereka mendarat di desa nelayan Tomogi tak jauh dari Nagasaki. Dengan sembunyi-sembunyi mereka berkomunikasi kepada komunitas kristen yang ada di sekitar daerah itu. Keberadaan mereka ternyata tercium oleh penguasa Jepang. Dimulailah perburuan dengan mengintimidasi nelayan/petani tersebut. Intimidasi membuat penduduk terpecah. Sebagian berpendapat agar kedua pastor meninggalkan daerah itu dan sebagian ingin melindungi kedua pastor itu. Perpecahan itu memberi kesempatan yang bagus bagi penguasa untuk membujuk nelayan dan petani miskin tersebut dengan pengurangan pajak. Bagi orang-orang miskin pengurangan pajak jelas sangat menggoda, tapi mereka berhasil mengatasi godaan tersebut.

Kebungkaman penduduk membuat utusan penguasa berang, maka mereka mengancam penduduk untuk memilih tiga orang menghadap kepada penguasa, menghadap kepada penguasa berarti resiko penyiksaan dan kematian di depan mata mereka. Mokichi, Ichizo yang pemberani dan Kichijiro yang penakut terpilih mewakili penduduk tersebut.

Interogasi dilakukan dengan upacara menginjak-injak Fumie (lempengan kayu atau tembaga yang ada wajah gambar Yesus atau Maria). Kichijiro menjadi orang pertama. Penguasa cerdik dengan tidak melihat kaki-kaki yang menginjak tapi mereka lebih memperhatikan ekspresi wajah orang yang menginjak, wajah tak bisa menipu, mereka sungguh-sungguh atau hanya berpura-pura melakukannya. Mokichi dan Ichizo tak kuasa menginjak terlebih meludahi wajah Yesus, dia akhirnya menyerah dan mengakui bahwa dirinya orang Kristen. Sementara Kichijiro yang lemah mengikuti perintah penguasa dengan menginjak dan meludahi wajah Yesus. Mokichi dan Ichizo ditahan, Kichijiro dibebaskan.

Keesokan harinya adalah hari penghukuman bagi mereka. Kedua orang itu diikat di dua batang pohon berbentuk salib yang ditancapkan di tepi pantai. Jika malam ketika air laut pasang, air laut akan merendam tubuhnya setinggi dagu. Mereka tidak akan mati seketika, tapi setelah dua atau bahkan tiga hari karena mengalami kelelahan fisik dan mental secara total. Di tengah keheningan dan kesunyian malam, sayup-sayup penduduk mendengar sebuah pujian yang serak dan tersengal-sengal : ”Kami akan menuju ke sana, kami menuju ke sana, kami menuju rumah Tuhan, ke rumah Tuhan... Rumah yang mulia” kedua orang itu akhirnya mati, mati dalam mempertahankan imannya. Hidup di dunia terlalu penuh penderitaan bagi para petani Jepang. Dan hanya dengan berpegang pada pengharapan untuk hidup di “rumah Tuhan” mereka sanggup untuk terus menjalani hidup di tengah penderitaan yang menderanya.

Kichijiro pula yang menyebabkan kedua missionaris Garppe dan Rodrigues tertangkap. Garppe tewas di tengah laut bersama-sama dengan pengikutnya yang menjalani hukuman di bungkus dengan tikar dan diikat lalu diceburkan ke laut. Tinggal Rodrigues yang di tahan. Penguasa Jepang akan mempertemukan Rodrigues dengan gurunya Ferreira yang telah mengingkari imannya dan kini bekerjasama dengan pemerintah Jepang. Hati Rodrigues kacau ketika bertemu dengan gurunya yang kini jadi pengkhianat, debat antara guru dan murid tak terelakkan lagi.

Di masa-masa sulit ini, Rodriguez mulai kehilangan arah. Dia melihat begitu banyak umat yang disiksa dengan kekejaman yang teramat luar biasa, karena mempertahankan iman. Rodriguez kagum sekaligus menyesali diri karena ia tak bisa berbuat banyak. Benarkah Ferreira murtad karena takut. Ia pun mempertanyakan keberadaan Tuhan ... “Mengapa Engkau meninggalkan kami sebatang kara? Desa itu dibangun untuk-Mu, dan Kau membiarkannya terbakar menjadi abu, Ketika orang-orang itu diusir keluar dari rumah mereka tidakkah Engkau memberi mereka keberanian? Kenapa Engkau hanya bungkam seperti kegelapan yang melingkupiku. Setidaknya katakan padaku, kenapa? Kami bukan orang-orang tegar seperti Ayub, ketahanan kami ada batasnya. Jangan lagi menambah penderitaan kami. Mengapa Engkau tidak berusaha menyelamatkan orang-orang yang begitu mencintai-Mu? Mengapa Engkau diam, Kau seharusnya tidak bungkam selamanya.

Pergumulan Kichijiro sang pengkhianat pun tak kalah memilukan ketika hendak memohon pengampunan “Tapi saya berhak memohon pengampunan! Orang yang sudah menginjak-injak gambar suci itupun masih berhak menyampaikan pembelaannya. Bapa pikir saya menginjak-injak gambar itu dengan rela? Kaki saya sakit dan pedih waktu menginjak-injaknya. Tuhan ingin saya berlaku seperti orang yang tegar, padahal Dia menciptakan saya sebagai orang lemah. Orang lemah seperti saya bisa apa, Bapa? Saya tidak mengkhianati Bapa demi uang.”

Dan perkataan gurunya Ferreira menambah hunjaman di ulu hatinya ”Dengarkan! Aku ditempatkan di penjara di sini dan aku mendengar suara erangan orang-orang yang disiksa, di luar sana, orang-orang Kristen menanggung penderitaan mahahebat dan Tuhan tidak berbuat apa apa. Tuhan tidak bertindak sedikit pun. Aku berdoa dengan sepenuh kekuatanku. Tapi Tuhan tidak berbuat apa-apa.”

Puncak dari pergumulan Rodrigues adalah saat dia juga harus menginjak Fumie, gambar wajah Yesus yang sudah nampak lusuh dan cekung karena sering diinjak. Sang Pastor mengangkat satu kakinya. Ada kepedihan hebat dan berat di kakinya. Dia akan menginjak-injak sesuatu yang selama ini dianggapnya hal paling indah dalam hdupnya. Dan seolah-olah wajah Yesus dalam Fumie itu berkata, “Injaklah! Injak! Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kepedihan di kakimu. Injaklah! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan manusialah aku memanggul salibku.” Tuhan aku benci kebungkamanmu lalu menginjaklah kaki Rodrigues di wajah Yesus. Lalu Tuhan yang sudah di injak-injak itu menjawab “Aku tidak bungkam, Aku ikut menderita di sampingmu.”

Tidak ada yang kuat ataupun yang lemah. Bisakah kita mengatakan yang lemah tidak menderita melebihi yang kuat. Ferreira oleh orang-orang Kristen di Jepang dijuluki Petrus Murtad sedangkan Rodrigues dijuluki Paulus Murtad.

Ada tiga tipe manusia yang hendak digambarkan Endo, tipe yang pertama adalah tipe orang yang setia dan taat terhadap janji Tuhan meski penderitaan datang mendera, tipe tersebut secara jelas digambarkan melalui Mokichi dan Ichizo yang memiliki pengharapan bahwa dia akan menuju rumah Tuhan jika maut menjemput. Tipe yang kedua adalah tipe Kichijiro sang pengkhianat yang selalu menyalahkan Tuhan karena tidak menciptakan dirinya menjadi orang yang kuat. Tipe yang ketiga adalah tipe Ferreira dan Rodrigues, guru-guru yang mengatasnamakan umat dengan dalih keselamatan umat, mereka menghalalkan segala cara bahkan kalau perlu menjadi pengkhianat.

Mudah-mudahan bacaan ini menguatkan, meneguhkan iman kita dan sebagai bahan refleksi peringatan Kenaikan Yesus ke Surga dan Hari Turunnya Roh Kudus (Pentakosta) yang akan kita peringati bersama. (J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar