Kamis, 02 September 2010

Mengejar Matahari di Pulau Tidung (2)


Pulau Tidung ternyata pulau yang berpenghuni sangat padat. Termasuk dalam kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Penduduknya sangat ramah, mungkin sudah dibekali oleh Pemerintah Daerah untuk bersikap ramah pada wisatawan dan sadar sebagai destinasi baru wisata yang menjanjikan kesejahteraan bagi penduduknya. Oh ya, banyak kucing yang berkeliaran di Pulau Tidung.


Setelah makan siang, kira-kira jam satu siang, acara pertama kami adalah snorkeling ke Pulau Karang Beras, sejam perjalanan dari Tidung. Panas Mentari sangat menyengat, namun tak menyurutkan semangat kami untuk berangkat. Tak lupa melindungi wajah, tangan dan kaki dengan Sunblock untuk melindungi dari sengatan sinar UV (Ultra Violet). Di rumah pak Bustanil kami dibagikan masing-masing satu pelampung dan peralatan snorkeling. (Sewa peralatan snorkeling sebesar Rp. 35.000/orang/hari). Pelampung berwarna hijau muda dan jingga itu membuat kami tampil lebih keren, so pasti kami langsung bergaya minta di foto. Kami berjalan menuju pantai dimana sudah bersandar perahu motor yang akan membawa kami ke pulau Karang Beras. Perairan dimana perahu motor bersandar sangat jernih bak kaca. Dasar sungai yang berupa pasir dan batu-batuan putih kelihatan indah dipandang mata. Sebagian dari kami naik di bagian depan perahu motor, sebagian lagi di bagian belakang. Perahu melaju ke tengah laut. Sambil membayangkan seolah-olah sedang naik perahu di danau Tiberias bersama my JC. 


Satu jam kemudian laju perahu dikurangi. Bayang-bayang pulau di kejauhan semakin mendekat. Di bawah sinar mentari yang menyengat, air laut justru berdandan dan bersolek menampakkan gradasi warna yang berbeda. Hijau muda, biru muda, biru tua dengan latar belakang pulau-pulau yang berderet-deret. Pantas saja disebut kepulauan seribu karena pulaunya memang banyak. Sungguh kaya Indonesia ini dengan pulau-pulaunya yang eksotis. Pulau terdekat yang kecil itu, kata mas yang mengantar kami bernama Pulau Karang Beras Kecil, pulau ini tidak berpenghuni. Sedang yang besar agak jauhan sedikit Pulau Karang Beras Besar, pulau itu sudah dikelola oleh pihak swasta sebagai resort kalau mau bersandar dikenai biaya. Agak jauhan, ada Pulau Air dan pulau-pulau lain yang tidak kami ingat lagi namanya.



Mesin kapal tiba-tiba dimatikan dan kapal motor pun berhenti. Kami bertanya-tanya apakah di sini tempat snorkelingnya? Dan mas nakhoda kapal motor mengangguk, menyetujui. Mula-mula kami ragu untuk terjun ke laut, karena panas banget cing! Kira-kira jam 2 siang. Tapi melihat mas “co nakhoda” terjun, diikuti  Eka yang juga terjun bebas ke laut, membuat rekan-rekan tak ragu lagi mempersiapkan diri untuk terjun pula. Sebagian dari kami memakai pelampung tetapi Eka dan Yulita tidak memakai karena kalau pakai pelampung tidak bisa menyelam ke dalam air. Kami memakai peralatan snorkeling berupa kacamata, cerobong pernafasan mulud serta sepatu yang mirip ekor ikan. Ci Pris, Niken dan Venny tidak ikut terjun ber-snorkeling-ria. Ci pris tidak bisa berenang, kalau Niken dan Venny mungkin takut kulitnya yang putih menjadi hitam he... Jeburrrrr... satu per satu kami terjun ke laut dan menyelam. Wow alangkah indahnya pemandangan laut di bawah air. Ternyata Tuhan, tidak hanya membuat Taman di darat saja tetapi juga di bawah air, ada taman yang tak kalah indahnya dengan yang di darat. Terumbu karang tersusun dan tertata rapi, ditemani ikan-ikan warna-warni yang berkeliaran dan berenang secara bebas. Sayang kami tidak membawa roti untuk menarik ikan-ikan datang. Mata kami memuaskan pandangan untuk mengejar ikan-ikan yang berenang di antara terumbu karang. Air laut yang sangat asin mengganggu perburuan kami karena selalu menempel di dalam mulud dan asinnya luar biasa. Ah... air laut yang asin membuat manusia tidak bisa berlama-lama di dalam air laut tetapi di dalam air laut itulah hidup ribuan bahkan mungkin jutaan jenis ikan. Mahabesar Tuhan yang menciptakannya.


Puas snorkeling, kami kembali naik ke kapal motor. Karena penasaran dengan pulau kecil di dekat kami bersnorkeling, kami pun singgah. Pulau Karang Beras kecil tidak terlalu luas, mungkin hanya setengah lapangan bola. Tapi perairan di sekitarnya sungguh menakjubkan. Pasirnya putih bersih, air putih bening bak kaca di pinggiran membuat kaki kami yang tenggelam di kedalaman pun kelihatan, agak ke tengah berwarna hijau muda dan lebih ke tengah lagi biru tosca. Sungguh perpaduan warna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hanya sayang pulau ini tidak terawat. Diantara pohon-pohon cemara yang tumbuh di seputar pulau, tumbuh rumput-rumputan liar tak beraturan, membuat kami takut masuk ke dalamnya. Pulau ini juga menjadi tempat persinggahan sampah berupa kayu-kayu yang terdampar. Tapi dari pulau kecil yang ditumbuhi rumput liar ini kita bisa melihat keindahan laut yang tiada tara. 


Setelah puas bisa menjelajah Pulau Karang Beras kecil, kami pun kembali ke Pulau Tidung. Masih membekas kenangan indah bersama teman-teman ketika harus berfoto dengan meloncat sama-sama ke udara, berkali-kali dan harus diulang-ulang. Untung Fotografer Gunawan dan Venny dengan sabar mengikuti permintaan kami. Makasih ya Gun, Makasih ya Ven he...


Jam menunjukkan pukul 16.00. Setelah mengembalikan peralatan snorkeling. Acara selanjutnya adalah memburu matahari terbenam dan bersepeda ria ke Jembatan Cinta. (Jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil). Masing-masing dari kami mendapatkan satu sepeda. (sewa sepeda Rp 15,000,-/orang/hari ). Sayang Ci Pris sudah lupa menggunakan sepeda, Fariana tidak bisa naik sepeda. Terpaksa pemandu kami memboncengkan ci Pris, sementara saya memboncengkan Fariana. Maryam mengekor jauh di belakang, karena masih kagok menggunakan sepeda. Sepeda-sepeda di Pulau Tidung kebanyakan tidak ada remnya atau ada rem tapi ga pakem. Jalan-jalannya terbuat dari corn-block dan  banyak sekali polisi tidurnya, itu yang sering menyulitkan kami jika bersimpangan jalan dengan sepeda motor, karena jalannya sempit dan rem sepedanya tidak pakem, kami harus memakai kaki sebagai rem.


Kira-kira lima belas menit kami bersepeda dari penginapan ke Jembatan Cinta. Setelah memarkir sepeda, kami berjalan menuju ke Jembatan Cinta. Kami melewati gubuk-gubuk tempat jualan kelapa muda, sayang lagi puasa jadi ga bisa minum kelapa muda. Wow... alangkah indahnya! Jembatan ini terbuat dari kayu membentang sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Di kanan-kiri jembatan terlihat birunya laut yang dangkal dengan terumbu karang yang indah. Mula-mula kami naik ke jembatan yang terbuat dari besi. Nah... dari Jembatan besi ini, biasanya digunakan untuk atraksi terjun bebas oleh anak-anak kampung sekitar dan diikuti wisatawan yang ingin mencoba sensasinya. Daripada terjun bebas dari apartemen atau mal, mending terjun bebasnya di sini saja lebih mengasyikkan. 


Dari Jembatan ini pula kita bisa melihat Pulau Tidung Kecil yang nampak hijau oleh pepohonan, jembatan terbuat dari kayu itu membentang lurus, lalu berkelok bagai seekor naga yang sedang berenang membelah lautan. Anda harus hati-hati sewaktu berjalan, karena jembatan terbuat dari kayu ini sudah banyak yang keropos oleh air laut yang asin. Kira-kira 1,200 an langkah (menurut Tante Anna yang menghitung langkah-langkahnya ketika menyeberangi jembatan) sampailah kami di Pulau Tidung Kecil. Karena kami sampai ketika senja sudah menyapa, jadi tidak bisa berkeliling pulau. Kata mas yang mengantar, biasanya ada tradisi menanam mangrove (Bakau) untuk menyelamatkan Pulau Tidung Kecil dari abrasi laut. Benar, jangan sampai pemanasan global menenggelamkan pulau-pulau kecil yang indah itu. Di ufuk barat, Matahari sudah nampak lelah dan segera masuk ke peraduannya. Momen-momen seperti ini tidak boleh dilewatkan dan mulailah kami berburu matahari terbenam (Sunset) dari segala sudut pulau untuk mengabadikannya.


Lelah sudah kami seharian berkeliling, setelah mandi dan makan malam. Masing-masing dari kami, ada yang menonton televisi sambil melepas lelah dengan bermain remi. Tak jauh dari penginapan kami ada surau/masjid sedang melaksanakan sholat Taraweh dilanjutkan dengan tadarus sepanjang malam.

Setengah sepuluh malam kami di bawa ke pantai dekat dengan kecamatan. Acara malam ini, barbeque di tepi pantai. Suasana malam itu sunyi, sepi hanya debur ombak yang terdengar. Kami tiduran di tepi pantai dengan alas tikar sambil memandang bulan setengah, serta bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Sungguh suasana yang sangat damai. Air kelapa muda menambah segar dan hidangan ikan yang lezat dan gurih menggugah selera. Kami menikmati suasana malam yang sungguh sangat indah untuk dikenang dan diceritakan.



Malam semakin merambat dan kami terlena dalam mimpi masing-masing. Sungguh capek tapi menyenangkan. Rasanya baru sebentar terlelap dalam tidur, kami dikejutkan oleh suara tabuhan beduk berkeliling sambil teriak sahuuur... sahuuurrr... sahuuurrr... sahuurrrr... Jiah sudah menjelang pagi rupanya.


Pagi buta, kami kembali mengayuh sepeda-sepeda kami mengejar matahari terbit (Sunrise), hanya sayang di ufuk timur awan-awan hitam menghalangi pandangan kami. Kami melihat matahari sambil dalam hati bernyanyi “Janji-Mu seperti fajar pagi hari, yang tiada pernah terlambat bersinar...”


Tour kedua yang kami laksanakan berjalan sukses. Makasih teman-teman yang sudah kompak dan berbagi kebahagiaan dan kegembiraan bersama. Lain kali kita atur kembali tour ketiga ya he.... 


Jam 07.30 kami meninggalkan Pulau Tidung dengan meninggalkan sejuta kenangan yang tidak mungkin kan terlupakan. Love u Tidung! (J)

Mengejar Matahari di Pulau Tidung (1)

Pulau Tidung, sudah menjadi pembicaraan dan tempat kunjungan wisata baru bagi mereka yang cinta laut. Letaknya pun tidak jauh dari Jakarta, hanya sepelempar batu. Keindahan lautnya tak terkira. Warna Airnya masih memiliki perpaduan tiga warna: putih bening bak kaca di pinggiran, agak ke tengah berwarna hijau muda dan lebih ke tengah lagi biru tosca.

Tidak jauh dari Jakarta, karena Pulau Tidung hanya memakan waktu 2–3 jam naik kapal dari dermaga Muara Angke.

Perencanaan ke Pulau Tidung sudah kami rancang jauh-jauh hari dengan rekan-rekan Guru-guru Sekolah Minggu (GSM) GKI Delima. Rencana pertama, kami akan ke menara pandang di lereng Merapi di Jogja, untuk melihat keindahan Gunung Merapi yang aktif mengeluarkan lahar panasnya. Rencana ini terpaksa batal karena memakan biaya yang lumayan besar. Langsung saya mengusulkan ke Pulau Tidung dan disetujui oleh rekan-rekan. Padahal kami buta mengenai Pulau Tidung kecuali mengenal lewat tayangan Jalan-jalan di stasiun televisi. Semua rekan-rekan mulai berburu cerita dan pengalaman kepada teman-temannya yang sudah pernah ke Pulau Tidung dan browsing lewat internet. Karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing, rapat dan keputusan-keputusan di informasikan melalui email dan dimatangkan di pertemuan hari Minggu.

Kami memilih tepat hari kemerdekaan RI, Selasa, 17 Agustus 2010 sebagai hari keberangkatan dan semua kompak mengambil cuti satu hari di hari Rabunya. Jam empat pagi, kami sudah saling berkomunikasi melalui sms atau saling mengebel untuk membangunkan rekan-rekan, terlebih terhadap rekan yang susah untuk dibangunkan seperti Mbak Yem (Maryam), kami kompak untuk mengebel sama-sama. Ternyata teman-teman tepat waktu datang di GKI Delima. Pagi jam 5.15, tiga taksi biru pun meluncur ke Muara Angke.

Kenapa sepagi itu kami harus berangkat? Padahal menurut informasi kapal berangkat jam 7.30. Dari cerita teman-teman yang pernah ke Pulau Tidung, jika tidak pagi-pagi datang, maka kami tidak akan kebagian tempat duduk karena kapal sudah dipenuhi rombongan lain yang juga akan ke sana. Sehingga harus berebut tempat duduk, siapa cepat dia dapat.

Taksi yang kami tumpangi memasuki pasar lelang ikan Muara Angke yang kumuh dan bau ikan nya sangat menyengat hidung. Taksi berhenti di penghujung pasar, tepat di pom bensin Muara Angke. Di belakang pom bensin inilah kapal-kapal bersandar melayani rute ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Jangan segan untuk bertanya karena jika salah naik kapal, anda bisa-bisa terbawa ke pulau lain.

Rombongan kami berjumlah 16 orang terdiri dari 3 cowok (Saya, Eka, Gunawan) dan 13 cewek (Tante Anna, Tante Eny, ci Pris, Yulita, Sherry, Nita, Myra, Maryam, Fariana, Lussi, Niken, Geget, Venny). Bayangin 3 malaikat tampan harus melindungi 13 bidadari cantik, sungguh jumlah yang tidak seimbang. Tapi kami lebih percaya dan bersandar kepada Pelindung yang tidak kelihatan untuk menyertai perjalanan kami.

Setelah bertanya kepada orang di sekitar dermaga, kami ditunjukkan sebuah kapal yang akan menuju ke pulau Tidung, tersembunyi diantara kapal yang akan berangkat ke pulau lain. Untuk naik ke kapal, kami harus melalui kapal yang akan segera berangkat tersebut. Kapalnya tidak terlalu besar. Terdiri dari 2 dak, atas dan bawah. Dan kami memilih yang di atas. Tak ada kursi, tempat duduknya lesehan dengan alas terpal plastik. Tapi tak ada yang mengeluh karena kami sudah dibekali harus tetap bersyukur apapun kondisinya. Justru rasa syukur itulah yang membuat kami tetap bahagia dan ceria. Masing-masing malah asyik dengan dunianya. Yang narsis, mengambil kamera dan jepret sana sini sambil bergaya. Atau memotret matahari pagi yang samar-samar mulai menampakkan bias sinarnya.

Prediksi kami ternyata meleset, kapal tidak penuh seperti kami duga. Tidak ada berebut tempat duduk, mungkin karena bukan long weekend. Tapi jika anda pergi hari Sabtu atau Minggu suasana kapal yang penuh akan anda rasakan. Uh... ada dua cewek bule yang naik ke kapal, Asyiiik.... dia juga akan ke Tidung. Dititipkan keberangkatannya pada rombongan kami. Dalam hati bertanya-tanya, sudah demikian terkenalkah Pulau Tidung sehingga mengundang orang asing untuk datang mengunjunginya? Ah... entahlah mudah-mudahan demikian. Jam 7.30 suara mesin menggetarkan kapal. Sauh diangkat dan berangkatlah kapal yang kami tumpangi.

Perairan di sekitar Muara Angke sangat-sangat kotor, banyak sampah plastik yang mengapung. Itulah sebagian wajah bangsa ini yang suka membuang sampah sembarangan. Laut dianggap sebagai bejana besar tempat yang tepat untuk membuang limbah rumah tangganya. Di kapal kami berkenalan dengan dua teman Niken: Venny dan Gunawan. Begitu mengenal kami, Venny dan Gunawan langsung bisa beradaptasi dengan GSM. Itu memudahkan kami dalam berkomunikasi.

Kapal terus melaju membelah laut. GSM yang masih mengantuk langsung melanjutkan tidur dengan bersandar di besi-besi di sekitar dak kapal atau menjadikan tas-tas perbekalan sebagai bantal. Sedang saya dan rekan-rekan yang lain membuat lingkaran, membunuh waktu dengan bermain remi, sambil menikmati keindahan laut yang semakin ke tengah semakin bersih. Kapal melewati beberapa pulau. Kami menamai pulau di sebelah kiri dengan pulau ke-999, di sebelah kanan pulau ke-998 dan seterusnya. Pulau-pulau itu ada yang besar dan berpenghuni sangat padat, ada yang kecil dan kelihatannya tidak berpenghuni. Sayang tidak ada yang memberitahukan nama pulau-pulau itu dan saya sendiri tidak tahu harus bertanya kepada siapa (mungkin pulau Bidadari, Onrust dll). Oh ya, untuk naik kapal dari Muara Angke ke Pulau Tidung dikenai biaya Rp 33,000.-

Kapal berjalan sangat cepat. Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam 3 jam ternyata bisa ditempuh hanya dalam dua jam. Kapal sudah merapat di dermaga Pulau Tidung. Kami membawa tas dan perbekalan masing-masing. Turun dari kapal, kami disambut oleh tukang ojek, becak dan becak motor. Ibu Mudawaroh, istri pak Bustanil (koordinator wisata dan pemilik penginapan di pulau Tidung yang kami sewa) sudah saya bel dan dalam beberapa menit akan datang. Dengan naik motor, ibu Mudawaroh yang masih berpakaian pegawai pemerintah menyapa kami dengan ramah dan memperkenalkan dua orang laki-laki muda (namanya lupa euy) yang akan menjadi pemandu kami selama di Pulau Tidung. Mas-mas tersebut langsung menyalami kami dan membawa kami berjalan menuju penginapan, sambil membantu menjinjing tas-tas perbekalan dari rekan-rekan yang kelihatan bawaannya sangat berat. Sepuluh menit berjalan kami pun sampai di guest house. Penginapan kami cukup bersih, bercat kombinasi putih dan kuning. Terdiri dari dua pintu. Masing-masing pintu terdiri dari: ruang depan, kamar tidur dan ruang belakang yang ada kamar mandinya. Welcome drink berupa jus mangga kweni yang dingin, lumayan menyejukkan tenggorakan. (J) (bersambung ke bagian ke-2)

Kamis, 26 Agustus 2010

Siau Ling, Derita Cinta Si Peniup Seruling


Siau Ling, sebuah naskah drama musikal yang ditulis oleh Remy Silado. Saya mengenal tokoh-tokoh dalam naskah drama tersebut saat menonton Festival Teater se Jakarta Barat. Kebetulan salah satu peserta Teater Legiun memainkan drama tersebut dengan sangat bagus. Kelompok Teater yang berdiri tahun 2005 yang digawangi oleh Ibas Aragi dan anggotanya kebanyakan pemuda dan remaja gereja.

Sebenarnya sebuah cerita biasa yang sering kita dengar dan lihat macam Siti Nurbaya, perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua terhadap gadisnya yang masih bau kencur karena mengincar harta dan tahta yang dimiliki seorang Adipati yang sudah bau tanah. Atau cerita macam Romeo and Juliet, kasih kedua sejoli yang jatuh cinta tapi tak kesampaian.

Gadis bau kencur itu bernama Lay Kun (diperankan oleh Kesthi), baru berumur 14 tahun, putri tunggal dari keluarga Tan Kim Seng (David) bertempat tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Sedang Adipati yang hendak memperistri Lay Kun, bernama Wilotikto (Laurence) berusia 71 tahun, berkedudukan di Tuban, Jawa Timur.

Adipati Wilotikto digambarkan sebagai seorang yang doyan kawin, diusianya yang sudah kepala tujuh masih memiliki birahi yang menggebu, istrinya tak tanggung-tanggung berjumlah 50 orang, hanya sangat disayangkan kehidupan keluarga Wilotikto tidak lengkap dikarenakan kelima puluh istrinya tidak satupun yang memberi keturunan. Itulah yang menyebabkan Wilotikto memburu gadis-gadis agar bisa mendapatkan keturunan.

Tanpa sepengetahuan Wilotikto sebenarnya salah satu dari istrinya yang ke-25 Renggoning (Rini), memiliki seorang anak Laki-laki yang diberi nama Samik (Hendry). Entah disebabkan oleh apa, Renggoning menyimpan dendam kepada suaminya. Mungkin karena sering ditinggal untuk mencari istri-istri yang baru sehingga istri lama ditinggalkan dan dilupakan.

Rencana untuk meminang Lay Kun pun didengar oleh Renggoning. Dibantu oleh Pringgoloyo (Alvin) yang pandai menjilat. Rencana pun disusun yakni dengan mengumpankan anak semata wayangnya Samik untuk mendahului ke Semarang, menyambangi rumah Lay Kun. Di depan rumahnya Samik menebarkan rayuan dengan puisi-puisi indahnya:
Katakan Lay Kun dirimu siapa
Apa kau dari bintang angkasa
Atau jelmaan para dewata
Namamu terukir dalam atma

Lay Kun, Lay Kun, Jelita dari Utara
Hatimu bakal berlabuh pada siapa
Bila besok hari datang kumbang dua
Membawa persembahan segudang cinta

Samik sebenarnya hanya iseng menebar rayuan di rumah Lay Kun tapi umpan yang ditabur ternyata dimakan oleh Lay Kun yang terkesan dan menyimpan kata-kata Indah Samik. Apa lacur, dari iseng ternyata Samik benar-benar jatuh cinta kepada Lay Kun, gayung pun bersambut. Tetapi orangtua Lay Kun, Tan Kim Seng menentang percintaan anaknya karena sudah terlanjur dijodohkan dengan Adipati Wilotikto.

Persaingan terselubung merebut cinta Lay Kun antara Ayah dan Anak tak terelakkan lagi. Tapi harta dan tahta tentu saja lebih berkuasa. Lay Kun harus tunduk pada kekuasaan orangtuanya. Bagai seekor domba dibawa ke pembantaian, Lay Kun menemui calon pendamping hidupnya. Alangkah kagetnya ketika melihat calon pendampingnya adalah laki-laki tua bangka yang pantas disebut kakeknya. Lay Kun, pingsan dengan suksesnya dihadapan para tamu dan keluarganya. Hanya dengan tiupan suara Siau Ling (suling/seruling) yang dapat menyadarkan Lay Kun dari tidur panjangnya.

Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Pringgoloyo dan teman-temannya untuk menyulap Samik menjadi pangeran penyelamat sang putri yang sedang tidur terlelap. Disamping seruling, Samik juga dibekali badik oleh Daeng Bajika (Herman Davila), sebagai senjata jika terjadi situasi darurat. Dan benar, Lay Kun tersadar begitu mendengar tiupan seruling Samik. Hanya sayang kebahagiaan mereka hanya sesaat karena ayahnya mengetahui penyamaran Samik. Tan Kim Seng menyeret dan membelenggu Samik untuk dihadapkan kepada Adipati Wilotikto.

Alangkah terhinanya Adipati Wilotikto mengetahui calon istrinya berselingkuh dengan anak ingusan, kekuasaannya merasa di injak-injak. Dengan badik terhunus, Adipati membunuh Samik. Banjir darah di pesta perkawinan tak terhindarkan. Mengetahui anaknya dibunuh ayahnya sendiri, Renggoning istri Wilwotikto mencabut badik yang menancap di badan anaknya dan membunuh Adipati Wilotikto. Menjelang ajal, Wilotikto baru tahu kalau dia telah membunuh anaknya sendiri. Pengikut-pengikutnya yang selama ini juga memendam dendam karena selalu dilecehkan mempercepat kematian Adipati dengan mencabut badik dan menancapkan ke tubuhnya. Adipati Wilotikto tewas bersimbah darah. Simbol kerakusan dan kezaliman dalam kekuasaan itu pun tumbang.

Melalui Siau Ling, kita bisa belajar betapa seringkali kekuasaan membutakan orang yang sedang berkuasa untuk berbuat sewenang-wenang. Melalui Siau Ling pula kita bisa belajar keragaman akan memperkuat persatuan, pembauran/akulturasi budaya tak bisa terhindarkan dan belajarlah untuk saling mengharagai antara satu dengan lainnya tanpa memandang Suku, Ras dan Agamanya. Dalam beberapa dialog dalam drama ini Remy Silado menyelipkan Firman Tuhan yang indah tanpa kita sebagai penonton merasa dikhotbahi. (J)

Senin, 23 Agustus 2010

The Kite Runner – Jika Sahabatmu Tiba-tiba Membencimu

Jika sahabatmu, tiba-tiba mendiamkanmu dan membencimu tanpa kau sendiri tahu kesalahan apa yang telah engkau lakukan terhadapnya! Mungkin kamu akan bertanya-tanya. Kesalahan apa gerangan yang telah aku perbuat sehingga sahabatku mendiamkanku?

The Kite Runner, adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persahabatan, persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan, cerita yang menyentuh berlatar belakang konflik di Afghanistan ketika Rusia menginvasi Afghanistan hingga berkuasanya kaum Taliban, karya Khaled Hosseini yang telah diterjemahkan ke dalam 42 Bahasa dan lebih 2 tahun bertengger di daftar New York Times Bestseller.

Amir anak orang kaya dan terpandang, tinggal bersama dengan ayahnya yang dipanggilnya sebagai Baba, di kawasan elite di distrik Wazir Akbar Khan, Kabul, Afghanistan. Amir mempunyai sahabat bernama Hassan anak dari Ali pembantu yang bekerja pada ayah Amir. Walau terlahir sebagai anak dari majikan dan pembantu, Amir dan Hassan tidak mempermasalahkan status mereka, mereka hidup akrab bagai saudara, dikarenakan tumbuh dan besar di lingkungan yang sama. Hassan memiliki kemampuan bermain ketapel dan memainkan layang-layang dan memprediksi kemana layang-layang jatuh serta memburunya. Sedangkan Amir memiliki kemampuan menulis, membaca karya-karya sastra dari penulis-penulis terkenal.

Perbedaan di antara keduanya adalah Hassan lahir dari suku minoritas Hazara penganut Muslim Mazhab Syi’ah, suku di Afghanistan yang memiliki darah ras Mongoloid (China), maka jangan heran jika Hassan memiliki wajah putih dan mata cenderung sipit, hidung pesek, sedangkan Amir keturunan dari suku terbesar di Afghanistan Suku Pashtun penganut Muslim Mazhab Sunni. Karena dianggap suku minoritas, suku Hazara selalu menjadi bahan ejekan dan pelecehan dari suku mayoritas. Konon hal ini terjadi karena suku minoritas Hazara pernah memberontak/melawan suku Pashtun, namun kaum Pashtun dapat menghentikan perlawanan mereka dengan kekerasan yang tidak terkatakan, mereka membantai, mengusir, membakar dan menjual para wanita dari kaum Hazara.

Tokoh antagonis yang dimunculkan di novel ini bernama Assef. Assef adalah anak orang kaya yang memiliki rumah mewah di kompleks di mana Amir dan keluarganya tinggal - Wazir Akbar Khan. Assef anak seorang pilot pesawat komersial, Ibunya berdarah Jerman. Tubuhnya tinggi, rambutnya merah menyerupai bule, Assef adalah anak yang badung, kenakalan membuatnya menjadi orang yang ditakuti. Dalam setiap aksinya, Assef dibantu oleh dua pengawalnya, Wali dan Kama.

Putusnya hubungan persahabatan antara Hassan dan Amir juga akibat perbuatan Assef dan kawan-kawan. Bermula dari kejuaraan Layang-layang. Bagi yang berhasil membuat putus benang layang-layang lawannya menjadi kebanggaan siapapun pemain layang-layang, terlebih bisa memburu dan mendapatkan layang-layang yang putus, tak terkecuali Hassan dan Amir. Ketika memburu layang-layang inilah Hassan bertemu dengan Assef, pelecehan terhadap anak-anak Hazara tak terelakkan terlebih Hassan tak sudi memberikan layang-layang di tangannya kepada Assef, karena sudah berjanji untuk mempersembahkan layang-layang yang dipegangnya kepada Amir. Malang bagi Hassan dia tak berdaya ketika Assef dan kedua temannya menyeret ke sebuah gang sempit dan memperkosanya. Dan Amir menyaksikan kejadian itu tanpa mampu berbuat apa-apa terhadap sahabatnya Hassan. Dia memilih menjadi seorang pengecut, melarikan diri.

Sejak kejadian itu hubungan keduanya merenggang. Amir selalu merasa bersalah jika melihat Hassan. Hassan juga menjadi seorang anak yang pendiam. Hingga suatu saat timbul niat jahat Amir untuk mengusir Hassan dengan cara memfitnah Hassan, hal itu terpaksa dilakukan agar bayangan kejadian itu bisa terusir bersamaan terusirnya Hassan dari rumahnya. Hassan dan ayahnya - Ali akhirnya terusir dari rumah Amir karena disangka mencuri uang dan arloji yang sengaja diletakkan oleh Amir di kamar Hassan.

Maret 1981, Afghanistan dikuasai oleh Soviet. Banyak orang Afghanistan yang terpaksa menjadi pengungsi karena perang. Tak terkecuali dengan Amir dan Baba ayahnya harus mengungsi ke Pakistan dan selanjutnya meminta suaka ke Amerika. Sebagian lagi berjuang mempertahankan negara dengan bergabung dalam milisi Taliban untuk berperang melawan pasukan Soviet.

Hidup di Fremont, California, Amerika Serikat tidaklah semudah sewaktu hidup penuh kemewahan di Afghanistan. Amir dan Baba harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri, Amir menghabiskan masa mudanya dengan kuliah dan menjadi seorang penulis terkenal. Di Amerika pula Amir mengawini seorang gadis Afghanistan, Soraya.

Kebahagiaan hidup dengan Soraya terusik ketika sebuah telepon dari Pakistan yang mengabarkan bahwa Rahim Khan, penasehat bisnis ayahnya yang biasa dimintai pendapat dan nasihat oleh Amir sewaktu di Afghanistan, sakit keras dan mengharapkan Amir untuk datang karena membawa pesan Hassan, sahabatnya. Akankah Amir bertemu dengan Hassan? Bagaimana dengan Assef yang telah menjadi penyebab retaknya persahabatan dengan Hassan? Mampukah Amir menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya terhadap Hassan?

Drama yang mengharu biru, seolah-olah membawa kita dalam situasi terkini perang di Afghanistan sana. Hosseini amat teliti menyuguhkan elemen-elemen drama kemanusiaan, penebusan dosa dan pencarian martabat dalam sebuah panggung sosial politik yang terus berubah cepat di Afghanistan.

Oh ya, buku ini juga sudah difilmkan dengan judul yang sama, tapi filmnya tidak sebagus dibandingkan dengan novelnya. (J)

Kamis, 15 Juli 2010

Serunya Meluncur dengan Flying Fox

A Zip Line atau di sini lebih dikenal dengan Flying Fox, saat ini menjadi permainan yang sangat popular dan disukai oleh semua kalangan, baik anak-anak, remaja, pemuda, bahkan kaum dewasa. Permainan ini hampir ada di setiap lintasan outbound, bahkan di pusat hiburan dan wisata seperti Ancol atau Taman Mini pun menyediakan sarana permainan ini. Semua berlomba-lomba membuat lintasan terpanjang untuk menambah sensasi serrr nya.

Tahukah kamu, alangkah mendebarkannya meluncur di kawat baja dari atas ketinggian tertentu lalu meluncur deras turun, hanya berpegangan pada seutas tali. Saya pernah mencoba permainan ini dua kali. Yang pertama sewaktu pergi ke Lembang, dan yang kedua sewaktu outbound di Lembur Pancawati.

Persiapan sebelum meluncur, anda diwajibkan memakai pengaman standar internasional yang dipakaikan oleh instruktur, tanpa instruktur anda tak akan bisa memakainya sendiri karena terlalu ruwet. Pertama, anda harus memakai pakaian berupa tali temali atau sering disebut Harness (Baju Zirah) , pakaian ini dipakaikan melalui kedua kaki anda hingga menjepit selangkangan, sebagian masuk melalui leher dan dikalungkan. Tali-tali di dada dihubungkan dan dikunci, tali-tali yang ada dipinggang dan di selangkangan juga dikunci seperti kalau kita memakai ikat pinggang. Kedua, anda harus memakai sarung tangan dan helm sebagai perangkat pengaman lainnya.

Setelah siap, anda akan dihubungkan dengan tali sebagai pengaman (seperti pengaman pada panjat dinding) untuk melindungi anda jika anda jatuh atau terpeleset sewaktu naik ke pohon. Di ketinggian tertentu (kurang lebih 9-10 meter dari permukaan tanah) dari pohon tersebut ada basecamp, tempat pijakan untuk meluncur, berupa papan dari kayu yang tidak terlalu lebar. Tantangan sudah dimulai saat anda mulai menaiki tangga yang tertempel di pohon. Memanjat dengan sudut 90 derajat membuat kaki gemetaran dan jantung berdebar kencang, terlebih ketika sampai di papan tempat peluncuran, untuk menempatkan pantat agar bisa duduk saja rasanya sulit sekali. Apalagi saat harus melihat ke bawah, wow tinggi sekali (sebaiknya tidak melihat ke bawah, arahkan pandangan mata jauh ke depan untuk mengurangi takut akan ketinggian).

Di tempat peluncuran sudah ada instruktur yang akan mengait-kaitkan pengaman yang sudah anda pakai dengan yang tergantung di kabel baja stainless dan katrol yang akan membawa anda meluncur ke bawah. Ada dua tali sebagai tempat pegangan tangan. Saat akan menjatuhkan kaki inilah dibutuhkan keberanian, sebab beban tubuh akan tertarik oleh gravitasi bumi. Instruktur menyuruh untuk menekuk lutut dan menghitung: satu, dua, tiga.... serrrrr...... meluncurlah anda dengan bebas disertai ekspresi teriakan ketakutan, sekaligus kepuasan karena terlepas dari beban yang sejak naik ke pohon sudah terasa berat kita pikul.

Sungguh permainan yang sangat mendebarkan untuk menguji nyali serta keberanian kita mengatasi rasa takut dan takut akan ketinggian. Pengen sekali mencoba track yang lebih panjang agar sensasinya lebih terasa. Anda ingin mencobanya juga? (J)

Senin, 12 Juli 2010

Monster Hipokrito, Monster Dengan Dua Wajah

Ada seorang teman gereja yang sms, “mau nonton Operet Bobo tidak? aku punya satu tiket nih!” tawaran yang menarik. Tetapi langsung pudar begitu terbayang harga tiket yang mahal. Teman yang satunya lagi, menemui saat akan mengajar Sekolah Minggu dan mengajak pergi, ternyata tiket gratis. Wow, langsung mengiyakan. Tak lupa menyelesaikan tugas pelayanan, baru berangkat. Itulah enaknya mempunyai teman-teman yang bekerja sebagai pelaku-pelaku seni, disamping dapat info jika ada pertunjukan, juga mendapatkan tiket gratis.

Empat orang dewasa menonton Operet Bobo?! Pasti anda akan tertawa geli, jangan apriori dulu, kami bertiga adalah pengajar anak-anak yang sedang mencari pengalaman dan ingin belajar membuat naskah drama serta mengelola pertunjukan anak-anak yang baik itu seperti apa, kalau bisa menyutradarai sekaligus. Teman yang satunya lagi adalah bapak yang anaknya menjadi penari balet di operet tersebut.

Lucunya, sewaktu antri, kami adalah manusia-manusia dewasa tanpa ditemani anak-anak kecil, sementara di kanan, kiri, depan, belakang semua bersama-sama dengan anak-anaknya. Tapi cuek saja, nah pintu masuk sudah dibuka! Kamipun berdesakan untuk masuk.

Tokoh Bobo, Coreng, Upik, Paman Gembul, Nirmala, Oki dan Sirik adalah tokoh-tokoh di Majalah Bobo, saya mengenalnya sewaktu masih imut. Saya suka membacanya karena tetangga yang berlangganan. Nah kali ini, saya bisa melihat tokoh-tokoh tersebut tidak dalam bentuk gambar melainkan dalam bentuk tokoh nyata yang dimainkan manusia.

Cerita dalam operet, dibuka dengan gerak dan lagu para Kurcaci dan kelinci di Negeri Dongeng. Mereka dihebohkan kedatangan monster buruk rupa yang bersuara aneh, bahasanya tidak dimengerti oleh bobo dan keluarga besarnya. Nirmala (Revalina S. Temat), peri yang selalu membawa tongkat dengan ujung bintang, pada saat yang sama menemukan Peri cantik Koksi (Eva Yolanda) yang meminta bantuan karena negeri Peri Kebaikan - tempat peri Koksi berasal- diserbu oleh monster Hipokrito dan ratunya.

Ratu Hipokrito, Ratu yang memiliki dua sisi wajah. Wajah yang satu memperlihatkan wajah cantik nan lemah lembut, sedangkan wajah sebaliknya adalah wajah monster yang menakutkan, berkepala hijau mirip aliens, suka tertawa berjingkrak-jingkrak (jadi ingat tarian Didik Ninik Thowok yang suka menari dua muka). Ratu Hipokrito juga mengaku-aku sebagai Ratu Agapo. Penyamaran monster-monster tersebut tidak terdeteksi oleh Nirmala dan kawan-kawan..

Penyamaran mereka terbongkar oleh Pak Tobi, tabib di negeri dongeng yang membuat ramuan untuk membebaskan peri-peri dan juga membebaskan Ratu Agapo asli yang terperangkap di dalam bunga Dandelion. (diperankan oleh Putri Indonesia Pariwisata 2009 yang sangat cantik sekali, Ayu Pratiwi). Siapa sangka peri Koksi – yang membawa mereka ke negeri kebaikan - ternyata adalah jelmaan dari pasukan monster Hipokrito. Sirik (Pipiyot) penyihir peyot yang selalu membawa sapu ternyata dalang di balik huru hara di Negeri Kebaikan. Terjadilah pertempuran antara peri-peri yang cantik dan balatentara monster Hipokrito. Mengetahui terdesak si sirik memilih untuk kabur. (Koreografi pertarungan antara monster Hipokrito dan peri-peri Negeri Kebaikan, mirip pertarungan dalam wayang orang)

Di saat pertarungan sedang berlangsung, serbuk kebaikan buatan Ratu Agapo disebar. Serbuk itu akan membuat yang jahat menjadi baik, kecuali si Sirik yang bisa terhindar dari serbuk kebaikan karena sudah kabur terlebih dulu. Ya, kita harus selalu menebarkan cinta kasih dan kebaikan kepada semua orang, sehingga mampu mengubah orang jahat bisa menjadi baik. Itulah pesan yang hendak disampaikan dari operet.

Yang menarik dari Operet ini adalah ceritanya sederhana (ya iyalah namanya juga tontonan anak-anak), setting panggung yang cantik, tata busana yang penuh gebyar dan koreografi yang rancak dan apik. Hanya sayang, kita tidak bisa membedakan Taman di Negeri Dongeng dan Taman di Negeri Kebaikan, keduanya sama. Harusnya tim dekorasi membuat pohon-pohon dengan dua muka juga, di satu sisi dicat dengan warna pohon di Negeri Dongeng, sewaktu adegan di Negeri Kebaikan tinggal memutar pohon yang sama yang sudah di cat berbeda.

Operet Bobo "Monster Hipokrito" ini disutradarai oleh Aditya Purwa Putra anak dari musisi Purwacaraka besan dari Ibu Evyana (anggota GKI Delima), suami dari Dhea mantan anak Sekolah Minggu saya. Selamat ya Dit, sudah menjadi sutradara yang sukses mementaskan Operet Hipokrito. Salute... salute...

Oh ya! makasih untuk Vera yang sudah memberi tiket gratis, makasih juga untuk ci Pris yang sudah memberi snack sewaktu saya lapar, makasih untuk pak Iwan yang telah memberi tumpangan mobil hingga sampai JHCC Senayan. (J)

Senin, 05 Juli 2010

Karang Bolong di Carita, Bagai Secuil Pandora Negeri Imajinatif Di Film Avatar



Saat menonton film Avatar, mata kita dimanjakan oleh pemandangan sangat menakjubkan dari negeri yang bernama Pandora, tempat tinggal yang indah nan asri penuh dengan pohon-pohon besar menjulang ke langit, sulur-sulur dari dahannya menjuntai, sebagai tempat yang asyik untuk bergelayutan dari satu pohon ke pohon lainnya. Dahannya yang besar-besar membuat para anak-anak suku Na'vi bisa berlarian di atasnya, tempat yang sangat menyenangkan untuk bermain. Sebuah hutan nan subur yang penuh dengan berbagai macam makhluk hidup. Pandora juga rumah bagi suku Na’vi, makhluk yang mirip manusia dengan kehidupan primitif serta memiliki kemampuan seperti manusia, hanya saja mereka bertubuh besar, berwarna biru dan memiliki ekor.

Pemandangan seperti itulah yang terekam dalam benak saya, ketika touring ke Karang Bolong di Carita.

Saya sudah sering melewati Karang Bolong di Carita, tetapi tak pernah terpikir sedikitpun untuk mampir, karena saya pikir tempatnya sempit dan tidak menarik. Karang Bolong terletak tidak jauh dari kota Serang hanya sekitar 50 Km atau 140 Km dari kota Jakarta.

Sepintas pantai Karang Bolong memang biasa saja, hanya sebuah lengkungan atau lubang besar batu karang di tepi pantai. Yang membuatnya berbeda adalah ketika mendekat dan melihat ornamen abstrak di dinding karang. Akar-akar pohon beringin yang membelit karang, bagaikan intalasi karya seniman ternama dunia. Surealis, menyeramkan sekaligus menarik, bagai tempat kaum pertapa yang ingin mendapatkan pencerahan.

Menurut mitos warga sekitar, karangbolong dulunya bernama Karang Suraga. Konon, ratusan tahun yang lalu di pantai itu hidup seorang sakti bernama Suryadilaga yang bertapa hingga akhir hayatnya. Meskipun jasadnya sudah mati, tetapi secara gaib orang sakti itu masih hidup dan bermukim di sana. Namanya mitos, boleh dipercaya, boleh tidak.

Cerita yang lebih ilmiah, Karangbolong kemungkinan terjadi akibat letusan Krakatau pada 1883. Bisa dibayangkan dasyatnya kekuatan tsunami yang terjadi akibat letusan Krakatau hingga mampu menghancurkan karang menjadi berlubang besar seperti itu.

Disamping ornamen dinding karangnya eksotis, yang menganggumkan dari Karang Bolong adalah pohon yang menyatu dengan karang. Keduanya bagai sepasang kekasih yang berpelukan tak ingin dipisahkan, sang pohon menyangga karang dengan penuh kasih sayang, sang karangpun tertidur lelap dalam pelukan sang pohon. Untuk menaiki karang dibuat tangga-tangga hingga ke puncak. Menaikinya dibutuhkan nyali karena tingginya, saat melihat ke bawah, wow! indah sekaligus menyeramkan, takut bila jatuh ke bawah. Dalam perjalanan inilah kami mencoba mengabadikan indahnya dahan-dahan yang melingkupi jalan sempit tersebut. Amazing banget. Bagai tempat para suku Na’vi yang sedang bermain-main dan berkejar-kejaran di atas pohon yang besar dan tinggi. Di atas dahannya Jake dan si jelita Neytiri sedang memadu kasih.

Masuk ke Karang Bolong, hanya membayar tiket Rp. 5000.- murah bukan! Hanya ada satu hal yang tidak menyenangkan, jalannya tidak pernah berubah, banyak berlubang sepanjang perjalanan dan harus melewati daerah industri Cilegon yang sangat tidak enak untuk di lihat pemandangannya. Gunung yang tinggal separo karena explorasi bahan tambang dan kegersangan di sana-sini. (J)

Jumat, 02 Juli 2010

Lembur Pancawati, Ekowisata Dengan Menerapkan Kaidah Community Based Tourism (CBT)


Lembur Pancawati adalah tempat aktivitas outbound, Tamasya Desa dan Pelatihan Outdoor Activities bagi yang ingin menyelenggarakan pelatihan, seminar atau retret. Tempat yang asri dengan pemandangan alam yang mempesona, balai pengenalan alam dan lingkungan demikian mereka memperkenalkan dirinya.

Lembur Pancawati terletak di kaki Gunung Pangrango hanya 1,5 jam dari Jakarta jika tidak macet. Keluar dari tol Ciawi arahkan mobil Anda menuju Sukabumi, kira-kira 4,5 Kilo perjalanan tibalah Anda di Pasar Cikereteg. Dari pasar ini belok ke kiri, masih masuk ke dalam kira-kira 4 kilo dari jalan besar. Tapi jangan khawatir jalan masuknya mulus walau harus melalui jalanan yang naik turun.

Penginapan di Lembur Pancawati menggunakan bahan-bahan dari alam, pilar-pilar penyangganya terbuat dari bambu dan kayu yang kuat dan kokoh, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, layaknya rumah-rumah di kampung jaman dulu. Masing-masing penginapan memiliki eksotisme dan pemandangan alam pedesaan yang jarang ditemui di kota-kota besar. Ingin pemandangan sawah dengan dangau-dangau di pinggirnya ada. Ingin mendengar gemericik air sepanjang malam tersedia, atau dari balik kamar ingin melihat pemandangan lembah dan gunung tinggal melongok dari balik jendela. Sungguh tempat yang tak bakal ditemui di Jakarta.

Jika malam kesenyapan menyergap, sepi, hening, rasanya damai seperti di surga. Suara jangkrik dan binatang-binatang penggerek saling bersahutan berlomba menyanyi dengan nyanyian paling indah, katak pun melompat-lompat dan sesekali bersuara mengajak sang kekasih bercengkerama di pematang sawah. Alunan seruling bambu dari lagu sunda yang diperdengarkan dari pondok yang mendayu-dayu, meliuk-liuk merogoh sukma membawa kita melayang ke negeri di awan.

Di dekat ruang makan ada menara pandang kira-kira berukuran 3x4 meter dengan empat tempat duduk menghadap ke lembah, diapit tujuh pohon yang besar dan rindang. Lantainya terbuat dari lembaran batang bambu yang diikat dan pagar bambu yang melingkar sebagai pengaman. Dari menara pandang ini arahkan mata ke lembah, di sana ada hamparan hijau sawah dan perkebunan, ada turun deras air terjun, bening air sungai dan danau buatan. Dari tempat duduk ini akan muncul inspirasi yang jika anda tuangkan akan menjadi barisan kata-kata, jika dirangkai akan menjadi seribu puisi yang indah untuk dibaca orang.

Jejak embun pagi dan jejak langkah yang masih basah membawamu menuruni tangga ke lembah. Ada ratusan tangga yang akan membimbingmu melihat lebih dekat apa yang tadi bisa dilihat dari atas. Kolam renang dari mata air, berperahu di danau air terjun sambil bermain di goa mata air, berendam di air sungai yang bening bak kaca. Anda tak mungkin bisa menolak dan pasti terbujuk oleh rayuan sungai untuk bercengkerama dan menceburkan diri, byur. Dan kesegaran langsung menyerap ke pori-pori membawa keceriaan seluruh badan.

Banyak serangga, itulah yang menjadi keluhan orang-orang kota. Serangga adalah sahabat-sahabat alam, mereka hidup karena habitatnya memang di situ, hidup di komunitas dan ekosistemnya. Manusialah yang kadang tidak bisa bersahabat dan menyesuaikan diri dengan alam dan ekosistem yang mendukungnya. Mereka ingin hidup dengan alam tapi tidak dengan serangga-serangga, tidak dengan tikus-tikusnya, tidak dengan laba-labanya. Mereka sudah terusir dari kota-kota besar, haruskah mereka juga dibasmi dan dimusuhi di habitatnya yang asli? Harusnya kita bersyukur dengan alam yang masih asri berikut dengan binatang-binatang pendukungnya, mereka memiliki hak untuk hidup seperti ciptaan yang lain. Janganlah kita memusuhinya! Hanya karena mereka kecil, kotor dan menjijikkan. Cobalah membuat paradigma baru dalam melihat alam dan segala ekosistemnya.

Di tempat inilah Penyegaran Pelayan GKI Delima dilaksanakan. (J)

Rabu, 30 Juni 2010

Amung Godhong

Amung Godhong, lah to aduh Gusti nganti muwun
Dene ngupados wohiro,
katemenan miwah tresno
Nanging kang pinanggyo
Amung godhong, amung godhong

(Cuma daun,aduh Tuhan sampai menangis
Ketika DIA mencari buah,
dari pohon yang dipelihara-Nya dengan Kasih
Tetapi yang dijumpai-Nya
Hanya daun, hanya daun)

Lagu pujian dari Gereja Kristen Jawa ini sungguh sangat membekas di hati saya. Betapa tidak, seringkali saya harus menangis jika mengumandangkan lagu tersebut. Lagunya lembut cenderung melankolis dan syairnya mengusik hati. Sebenarnya hanya sebuah lagu tentang pohon yang tumbuh dan dipelihara dengan kasih, namun sayang pohon yang diharapkan dapat memberikan buah ternyata ketika dicari oleh yang empunya tidak didapati satupun buah, yang didapati hanya daun, ya hanya daun.

Saya bukanlah ahli teologi, saya juga bukan ahli botani. Saya hanyalah orang awam yang ingin berbicara tentang lagu yang selalu mengusik hati saya. Bicara tentang pohon yang sering kita jumpai dimanapun kita berada.

Kenapa Tuhan menciptakan pohon? Di Kejadian 1 : 29 dikatakan “Lihatlah, aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji, itulah akan menjadi makananmu!” Jadi Tuhan menciptakan pohon-pohonan untuk memberikan makanan bagi kelangsungan hidup manusia ciptaanNya.

Jika kita mengamati pohon maka yang terbayang dalam hati kita adalah kesegaran. Kesegaran yang memberi kehidupan. Untuk itulah orang Jakarta selalu beramai-ramai ke puncak dan berani bermacet-macet ria hanya untuk mencari dan menghirup udara segar yang dihasilkan oleh hijaunya pepohonan. Bicara tentang pohon juga berbicara tentang keindahan, keindahan yang memberi nuansa warna yang berbeda, “lihatlah bunga bakung yang tidak memintal dan menenun .......... Salomo dalam segala kemegahannyapun tidak berpakaian seindah salah satu bunga itu”.

Bicara pohon juga berarti bicara kelangsungan hidup manusia, coba tidak ada pohon di dunia ini, maka dunia akan terbakar oleh api dari sinar matahari, coba tidak ada pohon maka dunia akan tercemar zat-zat membahayakan dari setiap asap yang keluar dari kendaraan/pabrik, coba tidak ada pohon, manusia mau makan apa?

Apa sih yang dapat diharap kan manusia dari sebatang pohon? Pohon memberi kehidupan bagi manusia, karena setiap elemen dari pohon dapat dimanfaatkan oleh manusia : Akar dapat berfungsi sebagai obat, makanan, dan penahan dari abrasi laut mau pun longsornya tanah. Batang dijadikan sebagai kayu untuk perabotan rumah tangga dll, makanya batang dari pohon yang besar sangat memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Karena nilai ekonomis yang sangat tinggi inilah membuat manusia berlomba-lomba membabat hutan yang seharusnya menjadi penyangga bagi kehidupan mereka tanpa memikirkan dampaknya. Daun dapat dimanfaatkan sebagai makanan, atap rumah, obat dan yang memberi kesegaran jika panas terik mentari menyengat, sebatang pohon yang daunnya rimbun dan lebat akan memberi kesejukan dan kesegaran manusia yang bernaung dibawahnya.

Pohon biasanya terdiri dari akar, batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah. Diantara semua itu akar, batang dan daun menjadi elemen utama bagi kelangsungan kehidupan sebatang pohon. Akar berfungsi sebagai pencari makanan dan air, batang berfungsi sebagai penyangga dan penyalur makanan dari akar ke daun, sedangkan fungsi daun sendiri adalah tempat “memasak makanan” yang kembali akan disalurkan keseluruh elemen penting dari pohon tersebut.

Kembali ke lagu pujian diatas, kenapa Tuhan menangis justru ketika melihat pohon tidak berbuah? Agaknya penulis lagu tersebut di ilhami dari Firman Tuhan yang terdapat pada Matius 21 : 9 (lihat juga Markus 11:13) yang berbunyi “Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. Kata-Nya kepada pohon itu: "Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!" Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu.” Firman tersebut tidak ada kata atau kalimat yang menunjukkan Tuhan menangis, tetapi kenapa justru penulis lagu tersebut secara sentimentil melukiskan Tuhan menangis?

Bukankah sebatang pohon telah memberikan segalanya buat manusia, memberi akarnya, memberi batangnya, memberi daunnya? Memberi carangnya?, memberi bunganya? Tidak cukupkah itu sebagai persembahan yang indah dimata Tuhan? Ternyata bagi Tuhan, itu semua tidak cukup. Tuhan menanam pohon tidak hanya untuk dilihat akarnya, batangnya, daunnya yang rimbun dan memberi keteduhan, bunganya yang elok dan rupawan. Pohon yang ditanam Tuhan diharapkan menghasilkan buah. “Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebang lah pohon ini! untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma.” (Lukas 13: 7)

Membicarakan buah akan jauh lebih menarik daripada membicarakan daun, akar maupun batang. Bukankah Hawa jatuh ke dalam dosa juga hanya karena mengambil dan memakan buah? “Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya.” (Lukas 6 : 43-44a).

Kalau kita amati kecenderungan gereja sekarang juga seperti perilaku sebuah pohon. Gereja memang berfungsi sebagai akar, dia mencari air dan makanan bagi Jemaat, ia memberi bekal-bekal pembinaan dan Firman Tuhan kepada JemaatNya, tapi sebenarnya gereja hanya melakukan rutinitas kerja yang penting ada pembinaan demikian pula Jemaat yang seharusnya menanggapi pembinaan-pembinaan yang diadakan namun nyatanya hanya pembinaan-pembinaan yang ada unsur fun nya saja yang diikuti. Gereja tidak berdiri pada akar yang kokoh yakni Firman Tuhan sehingga mudah ditumbangkan oleh angin-angin pencobaan. Tidak tumbuh di tepian air sehingga mudah mati dan kering.

Gereja juga seumpama Batang Pohon yang berfungsi menjadi penyalur makanan ke daun. Gereja seharusnya juga menjadi penyalur berkat bagi sesamanya tapi yang sering terjadi untuk menjadi penyalur gereja harus berdebat sana-sini untuk memutuskan penyaluran. Bukan kah sering kali dan sudah dibuktikan jika kita melayani dengan tanpa pamrih akan menjadi berkat buat sesama misal menolong korban banjir yang justru memberi kan nilai lebih buat gereja. Tapi jika gereja kehilangan spontanitas dalam menjadi penyalur berkat buat sesama, maka “Sebelum genap masanya, ajalnya akan sampai; dan rantingnyapun tidak akan menghijau. Ia seperti pohon anggur yang gugur buahnya dan seperti pohon zaitun yang jatuh bunga nya.”(Ayub 15:32-33)

Gereja juga ibarat daun yang memberi kesejukan dan kesegaran buat sesamanya. Daun berfungsi sebagai filter bagi dunia dengan menghirup zat-zat yang tidak berguna di udara, mengolahnya dan kemudian menyalurkan kembali berupa oksigen yang menyejukkan bagi dunia. Tapi seringkali justru gereja menjadi daun kering yang beterbangan ditiup angin tidak memberikan makna buat kehidupan dunia, ketika ada penggusuran, gereja diam, ketika ada pekerja yang di PHK gereja membisu, ketika korupsi merajalela gereja tidak bersuara. “Sebab kamu akan seperti pohon keramat yang daunnya layu, dan seperti kebun yang kekurangan air” (Yesaya 1 : 30). “Lihat, Tuhan, Tuhan semesta alam akan memotong dahan-dahan pohon dengan kekuatan yang me- nakutkan; yang tinggi-tinggi tumbuhnya akan ditebang, dan yang menjulang ke atas akan direndahkan.” (Yesaya 10 : 33)

Jika gereja dan kita selaku jemaat diumpamakan sebagai pohon, sebagai pohon apakah kita? Pohon yang hanya memberikan akarnya saja? Pohon yang memberi keteduhan? Atau pohon yang hanya menjadi hiasan rumah? Atau pohon yang hanya memberi manfaat sesaat seperti bunga di padang tersebut. Jika jawaban saudara adalah, ya? Maka bersiap-siaplah untuk ditebang sebab “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3 : 9)

Jadi jelaslah sekarang jika Tuhan menangis, ketika melihat pohon-pohon yang ditanam dan dipeliharanya dengan kasih tidak berbuah. Jangankan berbuah, pohon yang ditanamnya pun tidak memiliki kualitas yang baik jadi untuk apa ia hidup dengan percuma di tanah ini, tebang dan buanglah ke dalam api kata Firman Tuhan.

Dan pohon yang seperti apa yang Tuhan kehendaki untuk hidup? “Yang daun-daunnya indah dan buahnya berlimpah-limpah dan padanya ada makanan bagi semua yang hidup, yang di bawahnya ada binatang-binatang di padang dan di dahan-dahannya bersarang burung burung di udara (Daniel 4:21) “Ia akan seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering dan yang tidak berhenti menghasilkan buah” (Yesaya 17 : 8), “Ia menjadi pohon kehidupan buat orang yang memegangnya.... (Amsal 3 : 18). “ ...... yang daunnya tidak akan layu dan buahnya tidak habis-habis; tiap bulan ada lagi buahnya yang baru, sebab pohon-pohon itu mendapatkan air dari tempat kudus itu. Buahnya menjadi makanan dan daunnya menjadi obat” (Yesaya 47:12)

Yuk, kita hidup sebagai pohon yang senantiasa menghasilkan buah. Jangan membuat Tuhan menangis! Jika Tuhan datang, biarlah Tuhan melihat buah-buah yang segar yang dihasilkan oleh diri kita. Jangan sampai, mendapati tanamanNya yang di usahakan dengan kasih dan pengorbanan di kayu Salib eh... ternyata tidak berbuah yang ditemuiNya hanya daun ..... hanya daun ....... ya hanya daun! sedih.......... Amin (J)

Senin, 28 Juni 2010

Cie Wanted Posse menampilkan “Transe”

Le Printemps, Pesta seni musim semi atau Festival Seni Budaya Perancis ini menjadi ajang yang selalu ditunggu oleh penikmat seni di Indonesia. Dan untuk Tahun 2010 adalah penyelenggaraan yang ke-6 di Indonesia.

Festival diawali di Galeri Nasional melalui sebuah pameran bertajuk “Futurotextiles” menyajikan rahasia tekstil masa depan disertai dengan sebuah instalasi kuliner yang memukau. Acara dihadiri oleh penulis buku Tetralogi Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi dan Maryamah Karpov, Andrea Hirata sebagai duta festival. Duta besar Perancis, Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik dan tamu undangan lainnya.

Seperti tahun-tahun yang lalu, Le Printemps menampilkan berbagai jenis seni yang ada, mulai dari seni lukis, fotografi, fashion show, musik pop hingga klasik, seni tari dan seni sirkus kontemporer bahkan seminar lingkungan hidup. Saya tak akan menulis seluruh kegiatan tersebut, yang akan saya tulis disini adalah kelompok tari Hip-hop Wanted Posse dengan koreografinya “Transe”. Yang dipertunjukkan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada tanggal 2 Juni 2010.

Berdiri di awal tahun 90-an grup ini mula-mula berkiprah dalam kompetisi kompetisi breakdance dan berhasil meraih berbagai penghargaan. Bahkan, pada tahun 2001, Wanted Posse menjadi grup asal Perancis pertama yang menyandang gelar juara dunia battle dalam “Battle Of The Year” di Jerman.

"Transe" adalah sebuah negara psychophysiological umum untuk semua budaya dan keyakinan (politeis, monoteis ataupun animisme), tarian ini adalah semacam tarian perjalanan di dunia yang tidak biasa, dunia yang paralel. Keadaan di perbatasan mimpi itu sepertinya kita kenal. Tetapi keadaan sadar yang diperlukan untuk mencapai ketakutan dalam sebuah perjalanan spiritual umumnya dicapai dengan menggunakan suara perkusi, atau dengan bantuan lagu-lagu oleh dukun, dan juga bisa oleh tarian.

Hanya seorang penari dalam keadaan tenang dan damai yang dapat mencapai ketakutan dan akhirnya menjalin kontak dengan yang tak kasat mata dan dunia spiritual, seperti halnya dukun, penyembuh dan jiwa-jiwa bebas lainnya. Wanted Posse ingin melewati batas dari hal-hal yang tak dikenal, tak nyata dan mistis ini, melalui keadaan takut yang beragam. Tapi perjalanan spiritual yang satu ini kembali tanpa ada yang cedera.

Tetapi penampilan grup ini dibandingkan dengan grup-grup hip hop yang dihadirkan tahun-tahun lalu agak kurang greget, penampilan mereka secara koreografi tidak menunjukkan sebagai sebuah grup juara. Tak ada sesuatu yang baru. Bahkan penampilannya cenderung membosankan. Hanya pada saat “Battle”- setelah mereka menyelesaikan koreografinya - jelas kelihatan, penampilan mereka lebih menarik dan menghibur . Penguasaan gerakan-gerakan yang sulit yang tidak terlihat saat mereka membawakan koreografi “Transe”, kini mereka pertontonkan saat battle. Apalagi penonton yang mulanya hanya menjadi penonton pasif ikut naik panggung beradu gerakan-gerakan hip hop dalam battle. Sesi ini malah jauh lebih menarik dan atraktif dibandingkan dengan pertunjukan mereka.

Seperti biasa pertunjukan ini dijubeli oleh banyak penonton penggemar fanatik Hip hop, tiket sudah soldout sejam sebelum pertunjukan. Terlambat sedikit, sayapun tak bakal kebagian kursi. (J)

God Is So Good, Let’s Taste It!

Konser Musik Amal yang diadakan oleh GKI Bekasi Timur ini sudah untuk ketiga kalinya diadakan, Konser pertama pada tahun 2005, kedua tahun 2007 dan yang ketiga tanggal 8 Mei 2010, dan hanya pada konser yang ketiga ini saya memiliki kesempatan untuk menyaksikannya.

Tujuan dari penyelenggaraan konser musik ini adalah menggalang dana untuk pengembangan dan perluasan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh GKI Bekasi Timur.

Konser dibuka dengan alunan sangat merdu dari Mawar Simorangkir yang membawakan lagu “Majesty”. Paduan Suara Anak “Angelicus” yang bersuara bak malaikat surgawi membawakan lagu-lagu daerah dengan sangat ceria diawali lagu dari Minangkabau Ba Din-din dengan gerakan tari saman Aceh, diikuti lagu Batak Sin sin si batu manikam dan lagu dari daerah Bali Warta Malaikat.

Pdt. Ferdy Suleeman, membawakan Firman Tuhan sesuai dengan Tema “God Is So Good – Let’s Taste It! yang terambil dari Mazmur 34:8, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu!”. Ternyata kebaikan Tuhan bukan saja dapat kita dengarkan lewat telinga, tetapi juga dapat kita lihat (dengan mata) dan cicipi (dengan lidah kita). Dengan kata lain, semua bentuk keindahan, kenikmatan, kemerduan, kelezatan adalah anugerah dari Tuhan yang dapat menyatakan kasih dan kebaikan-Nya kepada manusia.

PS Concilio, Band Pure, Henny Purwonegoro yang menjadi MC turut menyumbangkan tiga buah lagu rohani dari daerah Melayu, Betawi dan Jawa. Nah! Lagu Jawa ini bernuansa campursari sangat enak untuk dinikmati sambil menggoyang-goyangkan kaki dan kepala, syairnya mengajak kita untuk mewartakan Injil. “Wartakno yo ayo podho wartakno, Injile Gusti marang sakabehe bangsa, sing pracoyo mratobat ngabektio, Gusti Yesus mesti paring pangapuro. Konser ditutup dengan alunan sangat merdu dari Michael Idol, dan Rio Febrian. (J)

Senin, 12 April 2010

Nonton Wayang “Lahirnya Wisanggeni” di Jakarta

Nonton wayang dulu menjadi tontonan wajib setiap pitulasan (17 Agustus). Sebelum ada hiburan televisi, internet dan hiburan-hiburan multimedia yang bisa di akses dengan mudahnya sekarang ini, wayang menjadi satu-satunya hiburan yang di tunggu-tunggu di lingkungan kami setiap tahunnya, karena memang tidak ada alternatif hiburan lain. Sekarang Wayang sangat jarang dimainkan karena dibutuhkan biaya yang besar untuk menyelenggarakan hajatan tersebut.

Kebetulan di Jakarta pada tanggal 3 April 2010, Keluarga Bakrie menikahkan anaknya Ardie dengan Nia Ramadhani, mengadakan pesta rakyat dengan menggelar wayang kulit semalam suntuk di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Mengambil lakon “Wisanggeni Lahir” dengan dalang Ki Anom Suroto. Tokoh wisanggeni adalah tokoh yang paling saya suka, karena di samping sakti, wisanggeni adalah gambaran tokoh yang tanpa tedeng aling-aling dalam membela kebenaran – katakan ya diatas yang ya dan tidak diatas yang tidak – siapapun yang salah harus dihukum, tidak terkecuali para dewa jika salah ya harus dihukum dan diperangi, sebaliknya siapapun yang benar harus dibela mati-matian.

Wayang dibuka dengan adegan di Kahyangan Joggreng Saloka tempat bersemayam para Dewa. Batara Guru, raja para dewa dihadapkan oleh rengekan Dewi Durga yang menyampaikan keinginan anaknya, Dewasrani untuk memperistri Dresanala, anak Batara Brahma (Dewa Api). Padahal Dresanala sudah diperistri oleh Arjuna. Karena didesak terus oleh dewi Durga, Batara Guru tidak dapat mengelak, dan memerintahkah Batara Brahma untuk memisahkan jalinan kasih antara Arjuna dan Dresanala. Melihat keputusan Batara Guru yang semena-mena, Batara Narada selaku penasehat Batara Guru marah dan mengundurkan diri sebagai penasehat, dan lebih memilih untuk membela Arjuna.

Adegan berganti dengan kemunculan abdi dalem Cangik yang kurus berbanding terbalik dengan anaknya Limbuk yang gemuk (waktu kecil sering menjadi bahan ejekan jika melihat wanita yang kurus kering dengan julukan cangik dan sebaliknya jika gemuk mendapat julukan limbuk). Malam itu cangik dan Limbuk menasihati kedua pengantin baru yang turut hadir bersama orangtuanya Bakrie dan petinggi-petinggi salah satu partai, dengan nasihat-nasihat perkawinan. Kehadiran Pak Gareng – pelawak dari Semarang – yang lucunya minta ampun dapat mengurangi rasa kantuk.

Peperangan para bala tentara Dewasrani dengan para pahlawan Pandawa yang diwakili oleh Hanoman dan Gatotkaca tak terhindarkan. Di sini Ki Anom Suroto digantikan oleh anaknya Bayu Aji, yang memang sangat mumpuni dalam memainkan wayang (seperti Ki Manteb Sudarsono). Adegan perangnya sangat indah, seru dan disana sini diselingi oleh adegan-adegan yang lucu.

Brahma yang mendapat mandat untuk memisahkan anaknya Dresanala dari Arjuna, menyindir Arjuna yang telah lama meninggalkan kerajaan Amarta. Bukan seorang Ksatria jika meninggalkan terlalu lama kerajaannya demi mengurusi urusan sendiri.Arjuna pun tersindir dan tinggal gelanggang colong playu (lari terbirit-birit tanpa berpamitan), Arjuna tidak menyadari bahwa itulah yang diingini Batara Brahma untuk memisahkan dari Anaknya. Setelah Arjuna pergi, Brahma pun menghajar Dresanala yang ternyata sudah mengandung 7 bulan buah cintanya dengan Arjuna. Brahma marah dan memaksa Dresanala untuk menuruti keinginan Batara Guru untuk dinikahkan dengan Dewasrani. Dresanala memohon dengan berurai air mata karena tidak mencintai Dewasrani.Karena tidak menurut Brama menghajar anaknya tersebut.

Malang tak dapat ditolak, Dresanala melahirkan secara prematur - sebelum waktunya. Brahma membawa bayi prematur yang adalah cucunya sendiri tersebut ke dalam kawah Candradimuka. Karena dianggap akan mengotori kahyangan Jonggring Saloka. Dengan tujuan agar anak tersebut mati terpanggang oleh api.

Narada diam-diam mengawasi semua kejadian dan membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama Wisanggeni, yang bermakna "racun api".
Atas petunjuk Narada, Wisanggeni pun membuat ontran-ontran (keributan) di kahyangan Jonggring Saloka. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan kesaktian Wisanggeni. Batara Guru dan Batara Brahma akhirnya bertobat dan mengaku salah.

Ending dari cerita apik ini adalah Narada kembali bertugas di kahyangan. Wisanggeni bisa bertemu dengan Arjuna, ayahnya dan berkumpul kembali dengan Dresanala yang berhasil direbut dari Dewasrani melalui pertarungan yang seru. (J)

Senin, 01 Februari 2010

'LEGION', Pertempuran Antara Malaikat Gabriel dan Michael


Legion, pertama kali terucap dari percakapan antara Yesus dan Iblis. Ketika itu Iblis merasuki tubuh seorang Gerasa. Yesus mengusir roh jahat (Iblis) yang merasuki orang Gerasa “Hai engkau roh jahat! Keluar dari orang ini!” Kemudian Yesus bertanya kepada orang itu: “Siapa namamu?” jawabnya: “namaku Legion, karena kami banyak.” Sebenarnya seberapa banyak sih satu Legion itu?
Legion berasal dari bahasa Latin legeƓn yaitu sekumpulan pasukan tentara yang jumlahnya bervariasi pada masa yang berbeda. Di era kaisar Augustus, satu legion terdiri atas 6.826 orang yaitu 6.100 pasukan berjalan kaki dan 726 pasukan berkuda.

Tidak heran, orang Gerasa itu begitu menakutkan karena memiliki kekuatan 6 ribuan Iblis. Jika dihitung, Iblis yang merasuki orang Gerasa dan kemudian pindah ke babi-babi yang berjumlah dua ribuan, maka setiap ekor babi di rasuki oleh tiga iblis. Wow alangkah ramai dan berisiknya babi-babi itu menguik, lalu terjun ke dalam danau, mati.

Sekarang hadir film berjudul Legion. Legion dalam film ini bukan pasukan Iblis melainkan pasukan malaikat. Untuk apa Legion malaikat datang ke bumi? Untuk memusnahkan manusia. Loh, ada apa dengan manusia sehingga Tuhan sebegitu “sadis” nya ingin memusnahkan manusia di bumi?

Dalam Alkitab, Allah pernah memusnahkan manusia di bumi dan hanya beberapa orang saja yang diselamatkan yakni pada jaman Nabi Nuh. Allah beralasan: Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan, sungguh rusak benar semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi. Berfirmanlah Allah kepada Nuh: “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh kekerasan, jadi aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi...”. Tetapi Allah menyelamatkan Nuh dan keluarganya.

Dengan alasan serupa, Allah akan memusnahkan bumi, tapi tidak dengan air bah melainkan melalui Legion Malaikat yang dipimpin oleh Malaikat Gabriel (Kevin Durand). Malaikat yang biasa menjadi penyampai kabar baik bagi manusia, kali ini menjadi malaikat penyampai kabar duka buat manusia. Tetapi ada satu malaikat, Michael (Paul Bettany) yang tidak setuju dengan pemusnahan manusia bumi, dia menganggap manusia masih punya harapan. Michael pun turun ke bumi mendahului bala tentara surga ke bumi, bukan untuk memusnahkan, tetapi untuk menyelamatkan beberapa keluarga yang layak untuk diselamatkan. Michael menganggap umat manusia hanya tersesat dan masih ada harapan untuk hidup lebih baik.

Satu-satunya harapan Michael adalah jika ia bisa menyelamatkan Charlie (Adrianne Palicki). Konon, Charlie sedang mengandung seorang bayi yang nantinya akan menjadi juru selamat bagi seluruh manusia di bumi.
Bob (Dennis Quaid), tinggal Di tengah gurun yang sepi mengelola sebuah kedai, bengkel dan pengisian bensin bernama Paradise Falls. Dia ditemani oleh anaknya Jeep Hanson (Lucas Black) tinggal di sebuah trailer bersama Charlie perempuan yang sedang mengandung tak jelas siapa yang telah menghamilinya. Charlie sangat membenci bayi yang ada di dalam kandungannya. Di kedai inilah Michael datang untuk menyelamatkan Charlie dan keluarganya.

Siapa sangka, lokasi tempat tinggal mereka “Paradise Fall” menjadi arena perburuan Legion malaikat. Mereka mengejar Charlie agar bayinya tidak lahir ke dunia. Karena konon, bayi yang dikandung Charlie akan menjadi juru selamat bagi seluruh umat manusia. (jangan membayangkan bahwa yang di kandung Charlie adalah JC ya?)
Serbuan legion malaikat yang bagai mayat-mayat hidup itu tak pelak membuat Michael dan penghuni rumah, serta tamu yang kebetulan terjebak di kedai berusaha mempertahankan diri. Mampukah Michael mempertahankan manusia-manusia yang ada di dalam kedai tersebut?

Pertarungan seru antara Malaikat Gabriel dan Michael pun tak terhindarkan, siapa yang akan kalah dan jadi pecundang? Sebaiknya saksikan sendiri serunya pertarungan mereka.

Yang agak mengganggu dalam film ini adalah manusia-manusia yang kerasukan malaikat tidak ada bedanya dengan manusia yang kerasukan iblis, bagai zombi-zombi yang haus darah sama-sama kejam dan menakutkan. Mungkin sutradara dalam film ini lupa mereka kerasukan malaikat bukan kerasukan Iblis. Atau justru ingin menunjukkan seorang malaikat pun bisa menjadi seperti Iblis jika mereka dirasuki oleh nafsu membunuh.

Ingat! ini hanya sebuah cerita fiksi (rekaan) walau mengambil setting/latar belakang sebuah cerita dan memakai tokoh-tokoh dalam Alkitab - Tuhan dan para malaikat-Nya. bebaskan diri anda dari dogma-dogma kitab-kitab agama. Jadi kita tetap menjadi penonton yang netral dan tidak di kotori oleh propaganda film. Selamat menonton! (J)

Jumat, 29 Januari 2010

Naik Kereta Api Tut... Tut... Tut...


Naik kereta menjadi sarana yang nyaman untuk pulang kampung dibandingkan dengan bus, saya sengaja tak membandingkan dengan pesawat karena jarang menggunakan jasa angkutan tersebut. Naik kereta dari yang kelas ekonomi, bisnis sampai eksekutif pernah saya jalani. Masing-masing kereta memiliki keunikan tersendiri.

Naik Kereta Kelas ekonomi, karena harga tiketnya yang murah menjadi sarana angkutan yang paling diminati. Di dalam kereta berjubel semua jenis manusia dengan segala aromanya. Dalam perjalanan anda tidak boleh merasa terganggu dengan genjrengan para pengamen yang datang silih berganti dan kadang membangunkan anda yang pura-pura tidur karena tidak ingin memberikan uang receh. Karena tempat duduk saling berhadapan membuat antar penumpang tidak ada jarak, kita bisa saling menyapa dan beramah-tamah bahkan jika diperlukan saling bertukar dan berbagi makanan.

Pedagang minuman, rokok dan aneka jenis makanan akan datang hilir mudik dan berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Jika anda gerah dan kepanasan tinggal beli kipas dari anyaman bambu langsung kibaskan ke kiri ke kanan, maka hembusan angin surga akan menyejukkan tubuh anda. Jika malam tiba manusia dengan berbagai macam karakter itu akan tergeletak di lantai-lantai kereta dengan hanya beralaskan koran, namun tak mengurangi nyamannya mereka merenda mimpi, seolah lantai kereta dan goncangannya adalah ayunan yang meninabobokan dan gesekan roda kereta dengan rel adalah musik-musik penghantar tidur. Kenyamanan dan mimpi mereka mungkin sama indahnya dengan mereka-mereka yang tidur di hotel-hotel mewah dengan segala fasilitas.

Jangan kaget kereta ini adalah kereta yang penuh kesantunan, selalu mengalah dan memberikan jalan serta mempersilahkan kereta-kereta yang kelasnya lebih tinggi (eksekutif dan bisnis) untuk mendahuluinya. Ibarat pejabat penting yang akan lewat, maka rakyat kecil harus minggir dahulu dan membiarkan kendaraan pejabat lewat, itulah yang terjadi dengan kereta ekonomi, selalu harus mengalah dan dikalahkan karena membayar lebih murah dari kereta yang lain. Berangkat lebih dulu dan sampai di stasiun tujuan belakangan. Pelan-pelan yang penting sampai ke tujuan.

Kereta kelas Bisnis agak lebih nyaman sedikit daripada kelas ekonomi, tempat duduknya lebih empuk dan hanya di duduki oleh dua orang dan ada kipas anginnya. Pedagang tidak terlalu hiruk pikuk, hanya kalau berhenti di stasiun, maka keramaian penjual akan menyergap saling bersahut-sahutan menawarkan dagangannya.

Kereta eksekutif memiliki kenyamanan layaknya naik pesawat, bahkan lebih nyaman jika dibandingkan naik pesawat Air Asia. Karena tempat duduknya lebih longgar antara kursi satu dengan lainnya. Ketika akan naik anda akan disambut di depan pintu oleh pramugari yang cantik serta ramah. Di dalam kereta anda akan merasakan dinginnya AC. Di belakang atau di depan tempat duduk ada televisi yang akan memutar lagu-lagu masa kini dan film-film barat. Kenyamanan lain adalah anda akan mendapatkan selimut dan bantal jika naik di malam hari. Beberapa tahun yang lalu bahkan mendapatkan roti dan minuman gratis – sekarang tidak lagi. Kalau di kereta ekonomi dan bisnis bisa merasakan keramahtamahan penumpang di kereta ekse lebih individualis, susah bertegur sapa jika kita tidak memulai pembicaraan. Hati-hati jika membawa laptop, sebab seringkali ada pencuri-pencuri bergentayangan mengincar laptop anda di saat anda nyaman dalam tidur.

Naik kereta ternyata bisa menunjukkan budaya masyarakat di sekitar kita. Kereta ekonomi dan bisnis menunjukkan masyarakat bawah yang masih ramah dalam bertegur sapa, tidak segan memberi walau bekal mereka hanya cukup untuk diri sendiri. Kereta ekse lebih ekslusif dan lebih mementingkan diri sendiri, sulit bertegur sapa dan asyik dengan dirinya sendiri. Yang terpenting dalam sebuah perjalanan adalah nikmatilah perjalanan apapun jenis keretanya, maka segala sesuatu akan menjadi indah dan menyenangkan. Nah sekali-kali cobalah merasakan naik ketiga jenis kereta tersebut dan rasakan perbedaannya. Naik kereta api tut... tut... tut... siapa hendak turut.(J)

Senin, 11 Januari 2010

Momen Ulang Tahun



Hari ulang tahunku sama dengan ulang tahun Soe Hok Gie. Gie adalah seorang penulis dan aktivis kritis yang selalu mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat dan menjauh dari kebenaran dan keadilan. Ulang Tahun Gie juga diperingati oleh aktivis mahasiswa dengan peluncuran buku dan pendakian di puncak Mahameru.
Ulang Tahunku juga berdekatan dengan Ulang Tahun kelahiran Juru Selamatku JC – walau kelahiranNya tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulannya - setidaknya semua manusia memperingati hari kelahiran-Nya pada tanggal 25 Desember. JC dikenang sebagai pribadi yang teguh membela kebenaran bahkan rela mati demi menegakkan kebenaran.
Lalu bagaimana dengan ulang tahunku? Sudahkah aku menjadi pembela kebenaran? Rasanya masih jauh, aku hanyalah setitik debu yang mudah diterbangkan angin, setitik api yang tidak bisa membakar, setitik cahaya yang belum bisa menerangi, setitik air yang belum bisa menghilangkan dahaga. Ulang Tahunku juga diperingati oleh keluarga besarku di Sekolah Minggu yakni Guru -guru Sekolah Minggu (GSM) yang begitu baik. Bahkan seorang GSM membuat kata-kata yang menyentuh dan membuat air mataku jatuh:

Ya Tuhan, Allah Yang Maha Baik
Terima kasih atas anugerah dan kasih karunia-Mu terhadap sahabatku
Yang sudah setia melayani-Mu bersamaku sampai hari ini
Terima kasih karena Engkau menjadikannya sahabat yang menyenangkan
Bagi kami GSM Delima
Engkau sudah menunjukkan betapa Engkau selalu ada dekatnya selama satu tahun ini
Kami bersyukur dengan keceriaan yang selalu dia tunjukkan pada kami

Jadikanlah dia seorang pelayan-Mu yang membawa berkat bagi banyak orang
Jadikanlah dia anak yang mengasihi orang tuanya
Kiranya kasih dan pemeliharaan-Mu terus menyertainya
Wujudkanlah permohonan doa-doanya, ya Allahku
Karena kami percaya tidak ada hal mustahil bagi-Mu
Kau akan menjadikan semua indah pada waktunya
Dalam nama Yesus Kristus dan penyertaan Roh Kudus
Hamba naikkan doa ini. Amin

Terima kasih untuk Tuhanku yang begitu baik memelihara dan memberkati hidup dan kehidupan, yang selalu mendengar doa dan permohonanku. Terima kasih untuk keluargaku yang masih mengingat ulang tahunku, untuk ibu Eny yang sudah berbagi kebahagiaan dengan kami GSM, untuk Eka yang sudah membuat doa dengan kata-kata yang bagus dan menyentuh, untuk GSM Delima yang selalu membuat keceriaan kapan dan dimanapun, untuk teman dan sahabat yang telah memberi bingkisan ulang Tahun. Aku tak bisa membalas semua kebaikan kalian dan biarlah Tuhan yang membalas kebaikan kalian semua. Amin (J)